Walhi Inisiasi Festival Danau Rano Balaesang

IMG-20200221-WA0025

PALU, MERCUSUAR – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) bersama masyarakat Desa Rano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, menginisiasi sebuah festival rakyat bertajuk Festival Danau Rano Balaesang. 

Festival rakyat tersebut, rencananya akan berlangsung dua hari, pada 29 Februari hingga 1 Maret 2020, bertempat di Desa Rano.
Pada agenda briefing dengan sejumlah media di Kota Palu, yang dilaksanakan Walhi Sulteng, Kamis (20/2/2020), Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Juli menjelaskan, festival ini menjadi salah satu momentum bagi masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung, untuk merawat ingatan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan wilayah kelolanya.

Selain itu, festival ini juga dilaksanakan dengan harapan dapat mendorong komitmen Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala, untuk mendukung pembangunan pascabencana berbasis kearifan lokal yang berkelanjutan, di desa- desa di Kecamatan Balaesang Tanjung.

Desa Rano sendiri, yang terletak di tepi Danau Rano, merupakan salah satu desa tua di wilayah Tanjung Manimbaya, yang didiami oleh suku asli setempat, yakni To Balaesan. Sejarawan Untad, Wilman D Lumangino, Kamis (20/2/2020) menjelaskan, pemukiman awal To Balaesan terletak di sekitar Danau Rano, lalu kemudian menyebar ke wilayah lainnya di sepanjang Tanjung Manimbaya, seperti Kamonji, Ketong, dan Manimbaya.

“Wilayah lain seperti Walandano dan Palau, awalnya dihuni oleh orang Pendau, lalu Pomolulu dihuni oleh orang Bajo. Desa lain seperti Malei, baru terbentuk di akhir abad ke-19,” ujarnya.

To Balaesan dan Danau Rano, adalah sebuah korelasi ruang yang membentuk kearifan lokal di sekitarnya. Tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Rano, yakni mengelilingi danau, atau dalam bahasa lokal disebut Mompalit Rano, misalnya, yang merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat setempat atas hasil danau yang melimpah, adalah bukti kearifan lokal yang hadir dari korelasi ruang tersebut.
Selain danau, masyarakat juga memanfaatkan hasil alam lainnya, seperti hasil hutan.

Pemanfaatan hasil hutan pun, diatur dalam peraturan adat, untuk menjaga kelangsungan hutan, agar tetap terjaga dan tetap memberikan manfaat bagi generasi selanjutnya.
Kearifan lokal yang hadir dalam korelasi kultural inilah, yang menurut Juli, akan menjadi kekuatan festival rakyat tersebut.

Mengambil tajuk, Hutan Hijau, Danau Lestari, Masyarakat Sejahtera, Walhi dan masyarakat setempat ingin agar korelasi kultural yang hadir dalam wilayah kelola rakyat di Desa Rano, dilindungi dan dijamin oleh komitmen pemerintah daerah.
Mengusung tema tersebut, festival ini sendiri akan diramaikan dengan aneka kegiatan, seperti workshop, diskusi terarah (FGD), talkshow, pagelaran seni, serta aneka pameran, seperti pameran produk komunitas, kedai kopi Rano, stan makanan tradisional, serta stan yang memamerkan aneka buah-buahan dari Desa Rano. Dalam rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan selama dua hari di lapangan sepakbola Desa Rano ini, Walhi Sulteng dan masyarakat setempat juga akan mendesak komitmen Pemerintah Kabupaten Donggala, terkait perlindungan wilayah kelola rakyat, dan pembangunan pascabencana berbasis kearifan lokal, serta komitmen menghadirkan akese transportasi, komunikasi dan informasi yang layak bagi masyarakat di wilayah Kecamatan Balaesang Tanjung.
Dalam rangkaian kegiatan festival ini, juga akan dilaksanakan tradisi Mompalit Rano, yang merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Rano dengan mengelilingi danau, sebagai ungkapan syukur atas hasil danau yang melimpah. JEF

Pos terkait