PETOBO, MERCUSUAR – Para penyintas di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan tetap menyatakan menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke tempat wilayah lain, selain di wilayah Petobo, sementara Pemerintah Kota (Pemkot) Palu menegaskan tidak dapat membebaskan lahan warga untuk alasan pembangunan Hunian Tetap (Huntap) di kelurahan setempat, karena akan bertentangan hukum.
“Kami masyarakat Petobo tetap di Petobo, selamanya di Petobo!,Kami tidak mau pindah dari Petobo,” tegas salah seorang warga Umar, mewakili penyintas lainnya, saat pertemuan dengan Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid, guna membahas persoalan hunian tetap (Huntap), Minggu (30/5/2021).
Hal senada dikatakan, Ahmad G Lemba, salah satu tokoh Pemuda Kelurahan Petobo bahwa mereka tidak ingin di relokasi ke kawasan relokasi yang sudah disiapkan pemerintah, karena masih ada lahan cukup luas di kelurahan tersebut.
Menurut dia, lahan yang semula direncanakan menjadi tempat pembangunan huntap untuk warga setempat masih bisa dilakukan upaya negosiasi oleh pemerintah.
“Pemerintah memiliki kewenangan melakukan upaya negosiasi ulang, paling tidak harga yang dipatok Rp500 ribu per meter bisa ditekan sehingga pembiayaannya tidak membengkak. Pada intinya warga terdampak yang kehilangan rumah atas dampak gempa dan likuefaksi 2018 lalu tidak mau di relokasi,” kata Ahmad.
Sementara, Wali Kota Palu, Hadianto mengatakan, Pemkot hanya dapat memberikan empat pilihan wilayah yakni warga memilih Huntap yang ada di Pombewe, Kabupaten Sigi, dan untuk Huntap di wilayah Palu terdapat di Kelurahan Talise Valangguni dan Kelurahan Duyu dan untuk proses pembangunan membutuhkan waktu delapan bulan.
Olehnya dia meminta untuk mempertimbangkan hal itu, karena pihaknya diberi waktu mengambil keputusan oleh Kementrian PU/PR hingga 18 Juni mendatan, harus segera diselesaikan.
“Sekitar 300-400 rumah yang siap untuk kita tempati di Pombewe,tapi itu tentunya kembali pada warga sekalian,”jelasnya.
Kemudian pilihan selanjutnya, direlokasi ke Huntap di Talise atau Tondo. Opsi keempat, direlokasi di wilayah Ngatabaru, yang juga merupakan wilayah Sigi.
“Bagi saya bukan masalah wilayah, akan tetapi bagaimana masyarakat bisa memiliki tempat tinggal yang lebih layak,”ucapnya.
Terkait upaya pembebasan lahan seluas sekira 115 hektare, di area 800 meter perbatasan Kota Palu dan Sigi, Pemkot Palu sendiri tidak dapat menyetujui hal tersebut, karena membutuhkan waktu yang cukup lama dan nilainya terlalu tinggi yakni Rp.500 ribu per meter.
“Kami sudah menghitung biaya pembebasan lahan membutuhkan dana Rp100 miliar lebih,”jelas Hadianto. ABS