Warga Tetap Kritisi Pembangunan ‘Benteng’ Tsunami

BENTENG

PALU – Rencana pembangunan dua mega konstruksi di Teluk Palu sebagai ‘benteng’ tsunami, hampir dipastikan akan terealisasi. Dua mega konstruksi ini, masing-masing coastal protection yang didanai Asian Development Bank (ADB), serta elevated road yang didanai oleh Japan International Cooperation Agency (JICA), didanai dengan mekanisme loan atau utang. 

Salah seorang yang vokal menolak rencana pembangunan ini, adalah pengiat literasi kebencanaan, Moh. Isnaeni ‘Neni’ Muhidin. Pada awal mencuatnya rencana pembangunan ‘benteng’ tsunami ini, Neni mengkampanyekan penolakan tersebut dengan slogan #tolaktanggultelukpalu.

Tidak berhenti sampai di situ, pendiri Perpustakaan Mini Nemu Buku ini juga menginisiasi petisi online yang telah ditandatangani 4 ribu pendukung. Dalam petisi tersebut, Neni membeberkan sejumlah alasan penolakan, seperti wilayah pesisir Teluk Palu yang dilintasi sesar Palu Koro, konstruksi yang dibiayai skema utang, rencana pembangunan tidak partisipatif, hingga alternatif lain yang lebih ramah lingkungan dan terbukti ampuh, yakni mangrove. 

Menanggapi rencana pembangunan ‘benteng’ tsunami yang terus bergulir, hingga kini memasuki proses lelang, Neni mengatakan, dirinya tetap ada di posisi awal, bahwa megaproyek itu orientasinya proyek, dan bukan mitigasi. Mitigasi kata dia, mestinya berbasis aspirasi warga dan ekologi, dan bukan aspirasi Jakarta dan teknokratik.

“Terlebih karena proyek itu sumber dananya dari utang luar negeri. Lalu apa gunanya seri diskusi panel ahli yang merekomendasikan vegetasi?,” ujarnya.

Menurut Neni, solusi vegetasi diabaikan karena dianggap tidak bisa tumbuh di sana. Mangrove dipahami negara sebagai sekadar bakau, padahal mangrove adalah ekosistem yang jenis tumbuhannya beragam dan penanda Teluk Palu.

Talise dan Lere kata dia, dua kelurahan yang pesisirnya akan ditanami tembok itu, adalah nama lokal buat ketapang dan tapak kuda, dua tumbuhan dalam ekosistem mangrove. Juga Donggala, pohon Butun dalam penamaan awam. Kemudian Bakau (Popa), yang menyelamatkan Kabonga di barat teluk dari tsunami 28 September 2018.

Lanjut Neni, ‘benteng’ tsunami di Teluk Palu itu, mengadaptasi infrastruktur serupa di Jepang, yang gagal saat gempabumi dan tsunami 11 Maret 2011. Megaproyek itu dibuat saat banyak soal pascabencana belum kelar, seperti peraturan daerah tata ruang, hunian, jaminan hidup.

Neni menegaskan, pihaknya akan terus menyuarakan penolakan terhadap rencana pembangunan tersebut, juga mempertanyakan kebijakan proyek itu. JEF

Pos terkait