BARU, MERCUSUAR – Wakil Wali Kota Palu, dr. Reny A. Lamadjido, meresmikan Tugu Mandura, pada pembukaan Kampung Baru Fair (KBF) 2023, Jumat (28/4/2023) malam. Pada momen peresmian, wawali didampingi mantan Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, Bupati Sigi, Irwan Lapatta, Rektor Untad, Prof. Dr. Ir. Amar, ST., MT, Ketua KONI Sulteng, M. Nizar Rahmatu, serta sejumlah pimpinan OPD lingkup Pemprov Sulteng dan Pemkot Palu.
Tugu Mandura sendiri terletak di simpang tiga Jalan Agus Salim dan Jalan HOS Tjokroaminoto, Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat. Tugu ini menjadi ikon baru bagi kelurahan tersebut dan menjadi semakin ikonik, dengan ragam hias motif Kelor Palu dan Taiganja.
Wawali mengatakan, tugu yang pengerjaannya rampung di akhir tahun 2022 ini, merupakan bagian dari upaya penataan kota yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu. Kehadiran tugu ini semakin memperkuat identitas religi kawasan tersebut.
Mandura sendiri dipilih menjadi ikon, berkaitan dengan pelaksanaan tradisi Lebaran Mandura di kawasan tersebut. Lebaran Mandura sendiri pada hakikat pelaksanaannya, tidak berbeda jauh dengan pelaksanaan Lebaran ketupat, di sejumlah daerah lain di nusantara, yaitu dilaksanakan setelah menggenapi pelaksanaan puasa Syawal, selama enam hari pasca Hari Raya Idul Fitri. Hal yang membedakan adalah jika di daerah lain di nusantara menggunakan ketupat sebagai ikon kuliner pada momen tersebut, maka di wilayah Kampung Baru, Mandura yang menjadi ikon pada momen tersebut.
Mandura sendiri merupakan makanan khas di wilayah Lembah Palu dan sekitarnya, yang biasa disajikan pada saat hari-hari besar Islam, seperti Hari Raya Idulfitri dan Iduladha. Mandura terbuat dari beras ketan (pulut) dengan tiga varian warna yakni putih, merah dan hitam. Di wilayah Lembah Palu dan sekitarnya, Mandura biasanya disantap dengan kuliner khas Kaili lainnya seperti Uta Dada (sayur santan dengan daging ayam), Gore-gore (sambal goreng daging), Duo Sole (ikan kecil yang digoreng saos), Uta Kelo (sayur daun kelor bersantan), serta aneka kuliner lainnya.
Mandura ini, selain menjadi makanan khas lebaran di sekitaran Lembah Palu, juga menjadi makanan khas lebaran di daerah Sulawesi Selatan. diperkirakan, Mandura ini merupakan hasil akulturasi budaya dengan para pendatang dari Sulawesi bagian selatan, yang berdiaspora ke Lembah Palu dan sekitarnya, sejak abad ke 17.
Ada beberapa esensi maknawi dari pelaksanaan tradisi yang telah berumur ratusan tahun tersebut. Tokoh masyarakat Kelurahan Baru, KH Qasim Saleh pada 2016 lalu menjelaskan, secara maknawi, Mandura yang terbuat dari ketan yang memiliki sifat perekat, yang memiliki makna, manusia boleh berbeda status sosial, tapi dipersatukan oleh satu kekuatan yakni silaturahmi, layaknya Mandura yang dibungkus berlapis-lapis dan sedemikian rupa. Hal ini kata dia yang menjadikan Mandura sebagai simbol perekat silaturahmi, persatuan dan persaudaraan.
Adapun tiga warna ketan yang digunakan dalam proses pembuatan mandura, yakni ketan warna putih, hitam dan merah, memiliki filosofi maknanya sendiri-sendiri. Tokoh agama sekaligus tokoh adat Kelurahan Baru, Ust Husein H Muh Saleh, pada pelaksanaan Lebaran Mandura tahun 2016 lalu mengatakan, warna putih melambangkan kesucian, merah melambangkan keberanian, dan hitam melambangkan kebijaksanaan.
Esensi maknawi inilah yang agaknya membedakan pelaksanaan Lebaran Mandura dan Lebaran Ketupat di daerah lainnya di nusantara. Mandura bagi masyarakat Kelurahan baru, tidak hanya dipandang sebagai makanan khas yang selalu disajikan pada momen hari raya, tetapi nyatanya memiliki makna esensial yang jika dikaji, memiliki nilai – nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Kini, seiring perkembangan zaman, esensi pelaksanaan Lebaran Mandura, tidak lagi hanya sekedar akulturasi budaya saja, tetapi hakikatnya lebih kepada momen perekat silaturahmi dan persatuan antara masyarakat di Kelurahan Baru dan sekitarnya. Lewat kehadiran Tugu Mandura tersebut, semoga esensi perekat silaturahmi ini tetap lestari. JEF