Matano Iniaku: Ketika Desa Sunyi di Tepian Danau Menjadi Inspirasi Keberlanjutan Nasional

PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale) sebagai penerima penghargaan tertinggi kategori Kinerja Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM). FOTO : HUMAS PT VALE

JAKARTA, MERCUSUAR – Tepuk tangan bergema di ruangan utama malam penganugerahan Penghargaan Subroto 2025. Ketika nama PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale) disebut sebagai penerima penghargaan tertinggi kategori Kinerja Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM), sorot kamera mengarah pada Budiawansyah, Chief Sustainability & Corporate Affairs Officer PT Vale, yang maju menerima penghargaan dari Dr. Ing. Tri Winarno, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dalam sambutannya menegaskan arah baru pembangunan energi:
“Sektor ESDM tidak lagi hanya berbicara tentang produksi, tetapi tentang bagaimana energi dan sumber daya alam dapat memberi nilai tambah, memelihara lingkungan, dan mengangkat kesejahteraan rakyat. Inilah makna keberlanjutan yang sesungguhnya.”

Namun esensi penghargaan ini tidak berhenti di panggung Jakarta. Jauh dari hiruk pikuk ibu kota, ada sebuah kisah sunyi yang menjelma menjadi ikon pemberdayaan nasional Matano Iniaku, program yang lahir dari jantung masyarakat di tepian Danau Matano.

Dusun Matano sebuah wilayah kecil di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur dulunya hanya dikenal sebagai kampung yang terpisah dari dunia. Untuk menuju ke sana, warga harus naik perahu rakit selama satu jam. Air bersih melimpah di alam, namun tak pernah sampai ke rumah. Tanah subur yang mengelilingi desa kian menipis karena tata kelola pertanian yang belum berkelanjutan. Pada masa itu, tidak ada jaringan internet yang menghubungkan warga dengan dunia luar.

Padahal, di bawah permukaan Danau Matano yang jernih, tersembunyi mata air yang seharusnya menjadi berkah. Wilayah ini juga dialiri Sungai La Waa sumber daya alam yang melimpah namun terabaikan.

Kondisi tersebut baru berubah ketika PT Vale meluncurkan program Matano Iniaku, sebuah inisiatif yang berangkat dari prinsip sederhana: mendengarkan warga sebelum membangun. Tidak ada proyek instan; yang ada adalah percakapan panjang, perencanaan bersama, dan pelibatan aktif setiap keluarga.

Program ini membangun jaringan pipanisasi air bersih yang kini mengalir ke rumah-rumah warga. Dari yang sebelumnya mengangkut air dengan jeriken, kini masyarakat menikmati air layak konsumsi langsung dari sumber terdekat — sebuah perubahan fundamental yang memengaruhi kesehatan, ekonomi, dan kualitas hidup.

Dan Matano pun berubah.
Dari wilayah yang nyaris tak terpeta, kini menjadi model pemberdayaan berbasis enam modal pembangunan: natural, social, individual, intellectual, infrastructure, dan cultural capital. Pendekatan sistemik ini menjadi alasan mengapa Matano Iniaku disebut-sebut sebagai referensi program PPM berskala nasional.

Dampak yang Terasa: Lahan Pulih, Ekonomi Hidup, Budaya Bertumbuh

Perubahan di Dusun Matano bukan sekadar cerita inspiratif; ia terbukti dalam angka dan fakta.

1. Lingkungan yang Pulih
Rehabilitasi 200 hektare daerah aliran sungai (DAS) membuka jalan bagi kembalinya ekosistem yang sehat. Debit Sungai La Waa meningkat hingga 0,6 m³/detik. Emisi berhasil ditekan sebesar 22.538 ton CO₂eq — angka yang merefleksikan kontribusi nyata terhadap mitigasi perubahan iklim.

2. Ekonomi yang Tumbuh dari Akar Rumput
Pendapatan kelompok rentan meningkat signifikan, kini mencapai Rp1–4 juta per bulan. Sumbernya berasal dari agroforestri, eco-creative center, hingga wisata alam. Matano kini menjadi ruang ekonomi baru yang menyerap tenaga kerja lokal.

3. Akses Dasar yang Tidak Lagi Mewah
Speedboat ambulans, jaringan telekomunikasi melalui menara BTS, dan air bersih yang mengalir 24 jam — layanan dasar yang dulu mustahil kini menjadi bagian dari keseharian.

4. Kelembagaan Lokal yang Kuat
Pembentukan Pokdarwis, KWT, kelompok tani, serta relawan pemadam kebakaran (Redkar) memperkuat kohesi sosial. Lebih dari sekadar organisasi, ini adalah wadah regenerasi pemimpin lokal.

5. Budaya yang Bertahan dan Berdaya
Tradisi Padungku dan ritual Jaga Air direvitalisasi, menyatukan warga dan menumbuhkan kembali kesadaran ekologis.

Dengan investasi sosial lebih dari Rp5 miliar, program ini mencatat Social Return on Investment (SROI) 1:1,08 — bukti bahwa pendekatan berbasis masyarakat mampu melahirkan dampak yang bertahan lama.

Endra Kusuma, Direktur Hubungan Eksternal PT Vale Indonesia, menyebut Matano Iniaku sebagai perjalanan bersama.
“Matano Iniaku adalah kisah tentang mendengarkan. Kami belajar bahwa perubahan sejati lahir ketika perusahaan dan masyarakat berjalan bersama, bukan berseberangan. Penghargaan Subroto ini adalah milik seluruh warga Luwu Timur.”

Sementara itu, Budiawansyah menegaskan bahwa penghargaan tersebut memperkuat komitmen PT Vale terhadap praktik pertambangan rendah karbon berbasis PLTA.
“Merupakan kebanggaan bagi kami untuk terus berkontribusi pada hilirisasi dan tanggung jawab sosial-lingkungan. Penghargaan ini mendorong kami melangkah lebih jauh.”

Jejak Panjang Komitmen yang Konsisten

Penghargaan Subroto 2025 bukanlah titik awal, melainkan kelanjutan dari konsistensi PT Vale. Perusahaan sebelumnya meraih:

  • Subroto 2018 – Manajemen Lingkungan Terbaik
  • Subroto 2019 – Perlindungan Lingkungan Pertambangan
  • Subroto 2022 – Program Pemberdayaan Masyarakat Terinovatif (Kesehatan)
  • Subroto 2024 dan 2025 – Kinerja PPM

Rangkaian penghargaan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan slogan bagi PT Vale, melainkan budaya kerja yang tertanam dalam strategi jangka panjang perusahaan.

Dari danau yang kembali jernih, lahan yang kembali hijau, hingga masyarakat yang menemukan kembali harapan, PT Vale mempraktikkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai komitmen moral.TIN

Pos terkait