Oleh: Ir. Drs. Abdullah, MT (Dosen Prodi Teknik Geofisika Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Tadulako, Palu)
Kabupaten Mamasa terbentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 2002, sebagai pemekaran dari Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas). Setelahnya, Kabupaten Polmas berubah nama, berdasarkan PP No. 74 Tahun 2006, menjadi Kabupaten Polewali Mandar (Polman). Ketika Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) terbentuk, berdasarkan UU No. 26 Tahun 2004, sebagai pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), kedua kabupaten tersebut menjadi bagian dari Provinsi Sulbar. Ibukota Kabupaten Mamasa adalah Mamasa, yang dalam tulisan ini disebut Mamasa Kota, terletak di Kecamatan Mamasa. Wilayah Kabupaten Mamasa jauh dari perairan laut atau tidak mempunyai garis pantai. Topografi wilayahnya berundulasi atau bergelombang kuat. Di mana-mana terlihat gunung dan lembah. Topografi wilayah yang datar – landai, yang cukup luas, tidak ditemukan di wilayah Kabupaten Mamasa.
Ada 3 macam bencana, yakni bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial. Wilayah Kabupaten Mamasa termasuk wilayah yang rawan bencana alam. Beberapa jenis bencana alam yang pernah terjadi di wilayah ini, dan sudah berulang kali terjadi, bahkan masih berpotensi terjadi lagi pada masa yang akan datang, adalah bencana gempabumi, longsor, banjir, banjir bandang, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan lain-lain.
GEMPABUMI MAMASA DAN GEMPABUMI PADAGIMO
Gempabumi Donggala Sulteng dengan magnitudo 7,4 terjadi pada 28 September 2018 jam 18:02 Wita. Gempabumi ini memicu beberapa jenis bencana alam yang terjadi secara bersamaan, yakni bencana gempabumi sendiri, bencana tsunami, bencana likuefaksi, bencana downlift (penurunan permukaan tanah secara cepat) dan bencana longsor di wilayah PADAGIMO (Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong) Provinsi Sulteng. Karenanya, gempabumi tersebut sering juga disebut gempabumi PADAGIMO. Sekitar 1 sampai 2 bulan sesudah terjadinya gempabumi PADAGIMO, wilayah Kabupaten Mamasa diguncang lebih dari 200 kali gempabumi dengan kisaran magnitudo antara lebih dari 3 sampai lebih dari 5 magnirudo.
Mengingat dampak mengerikan yang diakibatkan oleh gempabumi PADAGIMO Sulteng, maka setiap terjadi gempabumi di Kabupaten Mamasa, warganya pun, khususnya warga Mamasa Kota dan sekitarnya, langsung dilanda ketakutan. Hal ini berlangsung cukup lama karena gempabumi Mamasa terjadi berulangkali selama beberapa hari.
Gempabumi PADAGIMO dipicu oleh aktivitas Sesar Palu-Koro, yang merupakan salah satu sesar atau patahan (fault) paling aktif di dunia. Adapun gempabumi Mamasa, dipicu oleh aktivitas Sesar Saddang. Dinamakan Sesar Saddang karena sesar tersebut memotong Sungai Saddang di Sulbar. Sungai Mamasa, yang membelah Mamasa Kota, merupakan salah satu anak Sungai Saddang, Arah aliran keduanya hampir sejajar, sama-sama dari arah utara. Sebagaimana Sungai Saddang, Sesar Saddang juga memotong Sungai Mamasa di Sulbar. Di Lembah Bakaru Kabupaten Pinrang Sulsel, aliran Sungai Mamasa dibendung untuk PLTA Bakaru. Selanjutnya, Sungai Mamasa menyatu dengan Sungai Saddang di Kabupaten Enrekang Sulsel. Setelahnya, nama Sungai Mamasa tidak lagi muncul dan aliran Sungai Saddang membelok ke arah barat. Di Benteng Kabupaten Pinrang Sulsel, aliran Sungai Saddang dibendung, menjadi Bendungan Benteng, untuk tujuan irigasi. Selanjutnya, Sungai Saddang bermuara ke Selat Makassar setelah melewati wilayah pesisir Kabupaten Pinrang. Di wilayah ini dan sekitarnya, Sungai Saddang lebih dikenal dengan nama Sungai Lasape.
Rahmat Triyono (Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG) (ANTARA, 09 November 2018) menjelaskan bahwa “Meningkatnya aktivitas gempa di wilayah Mamasa, ada 2 sebab. Pertama, struktur Sesar Saddang memang dikenal sebagai sesar aktif, tetapi sudah lama tidak memicu aktivitas gempa yang signifikan. Sehingga, wajar jika saat ini Sesar Saddang dalam fase akumulasi stress maksimum dan saatnya melepaskan energinya yang dimanifestasikan sebagai aktivitas gempa yang beruntun kejadiannya. Kedua, ada dugaan bahwa meningkatnya aktivitas kegempaan di Mamasa terpicu oleh gempa kuat di Palu-Donggala magnitudo 7,4”, pada 28 September 2018 yang dipicu oleh aktivitas Sesar Palu-Koro.
SEBARAN GUNUNGAPI DI INDONESIA
Indonesia memiliki 129 gunungapi, atau 13% dari jumlah gunungapi di seluruh dunia. Dari 129 gunungapi tersebut, 80 diantaranya berbahaya.
Menurut PV-MBG (2007), berdasarkan aktivitasnya, klasifikasi gunungapi di Indonesia terdiri atas 3 tipe, yakni:Tipe-A: Gunungapi yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.Tipe-B: Gunungapi yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara. Tipe-C: Gunungapi yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkat lemah.
Terdapat 13 gunungapi di Pulau Suawesi. Gunungapi di Pulau Sulawesi hanya terdapat di Provinsi Sulut dan Provinsi Sulteng. Dalam hal ini, 12 gunungapi di Sulut (lokasinya relatif saling berdekatan) dan 1 gunungapi di Sulteng (lokasinya di tengah-tengah Teluk Tomini).
Selain itu, pada saat tulisan ini disusun (Mei 2024), kemungkinan ada gunungapi di Indonesia yang tipenya sudah berubah, dari B ke A atau C ke A.
TIPE MATAAIR PANAS
Sumber air panas atau mataair panas adalah mataair yang terbentuk dari keluarnya air tanah, yang telah dipanaskan secara geotermal (panas bumi) di bawah permukaan bumi, melalui retakan kerak bumi. Ada 2 tipe mataair panas, yakni: Mataair panas vulkanik: muncul di kawah atau kaldera gunungapi dan/atau sekitar gunungapi melalui retakan-retakan kerak bumi. Kadar atau konsentrasi belerangnya tinggi dan baunya menyengat. Mataair panas tektonik: muncul di retakan kerak bumi pada jalur sesar, baik sesar priimer maupun sesar sekundernya. Kadar belerangnya rendah sehingga baunya tidak menyengat.
Terdapat sejumlah mataair panas di Kabupaten Mamasa, beberapa di antaranya terdapat di Mamasa Kota dan sekitarnya. Beberapa di antara mataair panas tersebut telah dikelola menjadi obyek wisata dengan membuat pemandian air panas alam.
Seorang warga Mamasa, Grace Saroinsong (62 tahun), menceritakan pengalamannya berkunjung ke mataair panas di sekitar Kota Manado Sulut dan mataair panas di sekitar Mamasa Kota Sulbar. “Menurutnya, mataair panas di Sulut, bau belerangnya sangat menyengat. Sangat berbeda dengan mataair panas di Mamasa Kota dan sekitarnya, bau belerangnya lemah, bahkan di kolam permandian air panas, sering tidak dirasakan.
”Hal tersebut menunjukkan bahwa mataair panas di sekitar Kota Manado Sulut bertipe vulkanik dan mataair panas di Kabupaten Mamasa Sulbar bertipe tektonik. Mataair panas di Kabupaten Mamasa, kemungkinan besar muncul dari retakan-retakan kerak bumi yang merupakan indikasi jalur sesar Sesar Saddang sebagai sesar primer dan/atau retakan sesar-sesar sekunder di sekitarnya.
BENCANA HOAKS
Hoaks adalah berita viral yang tidak sesuai dengan fakta. Bencana hoaks adalah bencana yang menimpa seseorang, atau sekelompok orang dan/atau bencana yang menimbulkan kerugian atau kerusakan karena beredarnya berita hoaks yang dipercayai oleh banyak orang.
Urban News Indonesia (04 November 2018) memberitakan “Terjadinya gempabumi kurang lebih 10 kali dalam sehari di Mamasa, menimbulkan kekhawatiran masyarakat setempat. Gempa yang datang bertubi-tubi memunculkan berbagai asumsi di tengah warga akan hal buruk yang mungkin terjadi. Menurut laporan warga, berita berhembus di masyarakat Mamasa bahwa gempa diakibatkan oleh aktivitas gunungapi yang akan meletus di sekitar wilayah Mamasa. Kabar dari mulut ke mulut itu sontak menambah ketakutan warga akan kemungkinan terjadinya letusan gunungapi”.
Meskipun berita tersebut sudah dibantah dan dijelaskan oleh BMKG Majene bahwa gempa yang terjadi di wilayah Mamasa bukan diakibatkan oleh aktivitas gunungapi (URBAN News Indonesia, 04 November 2018), akan tetapi warga yang sudah terlanjur termakan oleh berita viral yang menakutkan tersebut, tidak lagi memperdulikan penjelasan tersebut. Mereka sudah terlanjur diliputi rasa ketakutan. Mereka membayangkan lahar panas akan membanjiri Mamasa Kota dan sekitarnya jika ada gunung di sekitar Mamasa Kota meletus. Bayangan seperti ini pasti menakutkan dan meresahkan. Karena, siapakah yang tidak takut dengan ancaman digulung oleh lahar panas? Akibatnya, banyak warga Mamasa Kota yang mengungsi. Sebagian warga mengungsi ke puncak-puncak gunung di sekitar Mamasa Kota dengan alasan bahwa lahar panas tidak mungkin mendaki ke puncak-puncak gunung tersebut. Sebagian lagi mengungsi ke berbagai tempat antara Mamasa Kota dengan Polewali yang dianggap cukup jauh dari Mamasa Kota, bahkan ada yang mengungsi sampai di Polewali. Juga, sebagian mengungsi ke Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulsel.
Setelah beberapa hari di pengungsian, dan tidak ada gunung yang meletus di sekitar Mamasa Kota, mereka pun kembali ke rumahnya masing-masing di Mamasa Kota dan sekitarnya. Dalam perjalanan pulang, beberapa orang di antara pengungsi tersebut mengalami kecelakaan lalulintas, sebagaimana diberitakan oleh FAJAR.CO.ID (13 November 2018) dan KOMPAS.com (13 November 2018).
Berdasarkan info dari kedua sumber berita tersebut, truk 6 roda yang ditumpangi puluhan pengungsi asal Mamasa Kota, pada Selasa pagi/13 November 2018, jatuh ke jurang sedalam lebih dari 10 m, Sangat menyedihkan, karena kecelakaan tunggal tersebut menyebabkan 5 korban tewas dan 10 korban luka termasuk sopir, 2 diantaranya dalam kondisi kritis.
PENUTUP
Korban tewas dan luka, sebagaimana disebutkan di atas, termasuk korban berita hoaks, atau korban bencana hoaks. Sebenarnya, hal seperti ini tidak akan terjadi jika jauh sebelumnya warga Kabupaten Mamasa sudah diberi pengetahuan bahwa tidak ada gunungapi di wilayah Kabupaten Mamasa.
Dengan bekal pengetahuan tersebut, mereka akan serentak menolak jika ada yang menginfokan bahwa ada gunungapi di wilayah Kabupaten Mamasa. Mulai saat ini, warga sudah harus diberitahu tentang berbagai fenomena alam (geologi dan hidro-meteorologi) di wilayahnya masing-masing, terutama fenomena yang berpotensi menimbulkan bencana alam. Hal ini sangat penting karena merupakan bagian dari mitigasi bencana atau pengurangan risiko bencana, sebagai upaya untuk mencegah atau meminimalkan dampak bencana jika terjadi bencana alam.
Pertanyaan “Adakah gunungapi di Mamasa?” Jawaban ilmiahnya, di Pulau Sulawesi, gunungapi hanya ada di Sulut dan Sulteng. Artinya, di Gorontalo, Sulbar, Sulsel dan Sultra tidak ada gunungapi.
Dari uraian tentang tipe mataair panas, di ketahui bahwa semua mataair panas yang ada Mamasa Kota dan sekitarnya termasuk tipe mataair panas tektonik yang tidak ada hubungannya dengan gunungapi. Hal ini sejalan dengan penjelasan BMKG Majene, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa gempa yang terjadi di wilayah Mamasa bukan diakibatkan oleh aktivitas gunungapi.Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “Tidak ada gunungapi di Mamasa”. Tidak ada gunungapi di wilayah Kabupaten Mamasa, bahkan di seluruh wilayah Provinsi Sulbar.