Dua dekade dia mengelola ekonomi di Indonesia, tidak dapat menaikkan market share ekonomi Islam yang cenderung stabil rendah. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas (85 persen) penduduknya Muslim.
Sebaliknya, bisakah kita berharap kepada seorang Thomas Djiwandono, selain masyarakat sudah memasalahkan (a) kapasitas, (b) pendidikan, (c) pengalaman, dan (d) hubungan istimewa (baca: nepotisme)-nya dengan Prabowo akan melahirkan kebijakan yang mendukung kemajuan ekonomoi Islam? Apalagi Thomas Djiwandono bukan seorang Muslim. Memang ke-Islam-an seseorang (seperti halnya Sri Mulyani) tidak menjamin bahwa yang bersangkutan tidak atau pro dengan ekonomi Islam.
Tetapi keyakinan yang dianut Djiwandono membuat kita terlalu sulit untuk berharap bahwa akan lahir kebijakan-kebijakan ekonomi nasional yang bernafaskan Islam dalam bentuk substansif. Dalam periode kedua Jokowi ini, rasanya masih ada sedikit hiburan bahwa Wapres Ma’ruf Amin, selain bergelar ‘Kyai’, juga mempunyai perhatian cukup besar kepada ekonomi Islam, walau masih lebih terkesan dalam bentuk seremonial saja.
Nah, apa yang nanti bisa diharapkan dari Wapres yang, ternyata di ruang kerjanya sangat banyak mainan, dan mengindikasikan kualitas sebenarnya siapa dia? Jadi, pantaskah kita pesimistis dengan prospek ekonomi Islam di masa depan dengan kualitas Menteri Keuangan seperti itu, dan kaliber Wapres yang memang jauh panggang dari api? Semoga saja dalam hal ini saya salah.
Waalahu a’lam bisshowab.
*Muhammad Akhyar Adnan PhD., MBA., SE., Ak., CA., CRP., CIB., adalah Dosen Program Studi (Prodi) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.