Oleh: Romi Lamusa (Mahasiswa Magister Linguistik FIB UGM)
Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Golkar terpilih, Bahlil Lahadalia menjadi sorotan publik di media sosial terkait pidato yang disampaikannya pada saat Musyawarah Nasional ke-XI Partai Golkar yang digelar di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Pada pidatonya itu, Bahlil berbicara soal “Raja Jawa”. Istilah yang disampaikan Bahlil ini kemudian ramai diperbincangkan, baik itu dalam komentar netizen di media sosial maupun berita elekronik.
Dikutip dari Detiknews, Bahlil tak menyebut siapa sosok “Raja Jawa” yang ia maksud. Teka-teki soal “Raja Jawa” kini jadi gunjingan politik, siapakah dia?
Bahlil melempar candaan soal “Raja Jawa”, sejurus setelah ia menegaskan sikap Golkar mendukung penuh pemerintahan dengan lebih “paten” lagi. Dia mewanti-wanti para kader agar tak bermain-main dengan “Raja Jawa” itu.
“Soalnya, Raja Jawa ini, kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu aja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu,” kata Bahlil, sebagaimana dikutip dari Detiknews.
Selain itu, dikutip dari KOMPAS.com, Bahlil merespons mengenai siapa “Raja Jawa” yang dimaksudnya. Dirinya mengaku hanya bercanda mengenai “Raja Jawa”. Dia tidak membeberkan siapa “Raja Jawa” yang dimaksud. “
Oh enggak, itu candaan politik saja. Candaan-candaan politik itu. Bukan statement politik ya,” ujar Bahlil.
Dari kedua berita di atas, tidak dapat disimpulkan maksud metafora “Raja Jawa” yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Golkar itu. Akan tetapi, lema “Raja Jawa” memiliki maksud dan tujuan. Apalagi hal itu disampaikan dalam kegiatan politik. “Raja Jawa” memiliki banyak arti.
Raja adalah seorang pemimpin yang memimpin salah satu kerajaan dengan sistem monarki atau secara garis keturunan, sedangkan Jawa adalah salah satu pulau atau suku yang berada di negara Indonesia. Maka dari itu bisa dapat disimpulkan bahwa “Raja Jawa” adalah seorang raja yang memimpin sebuah kerajaan di Jawa.
Namun, sesuai fakta dalam sejarah, sistem pemerintahan monarki yang dipimpin oleh raja atau sultan, saat ini masih digunakan adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta adalah satu-satunya daerah yang dinobatkan sebagai Daerah Istimewa yang dipimpin oleh Sultan sebagai kepala daerah (gubernur) sampai saat ini. Yogyakarta dinobatkan sebagai Daerah Istimewa oleh Presiden Soekarno pasca Sultan Yogyakarta menyatakan sikap untuk bergabung dengan Republik Indonesia.