Oleh: Mohamad Rivani, S.I.P., M.M.
Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah (BPS Sulteng) merilis angka pertumbuhan ekonomi Sulteng pada triwulan I 2025 terhadap triwulan I 2024 sebesar 8,69 persen (y-o-y).
Pertumbuhan ini jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I 2025 yang sebesar 4,87 persen, lebih tinggi secara kuantitatif.
Namun, apakah pertumbuhan ekonomi sulteng ini berdampak signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan? Yang mana pada tahun 2024 sebesar 11,04 persen atau sebanyak 358,33 ribu orang.
Jika ditelisik lebih dalam, maka jelas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi sulteng yang tumbuh 8,69 persen di triwulan I 2025 tidak signifikan menurunkan angka kemiskinan, karena pertumbuhan tertinggi bukan di sektor pertanian yang notabenenya adalah sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar di daerah ini. Hal ini terlihat dari struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sulteng menurut lapangan usaha pada triwulan I 2025, dimana industri pengolahan membentuk 40,19 persen dan pertanian hanya sebesar 17,12 persen, padahal sektor ini yang seharusnya yang menjadi penopang ekonomi sulteng karena paling banyak menyerap tenaga kerja dan sektor paling vital dalam menyediakan pangan nasional dan daerah dalam menghadapi situasi politik global yang sulit diprediksi, dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan krisis pangan dunia.
Pertumbuhan ekonomi yang sebesar 8,69 persen apakah telah memuaskan masyarakat sulteng dan pemerintah daerah? saya rasa ini juga masih tanda tanya, karena pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh sektor industri pengolahan yang tidak dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat, bahkan baru-baru ini ramai di media sosial bagaimana Gubernur Sulteng, Anwar Hafid dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI Bersama Mendagri menyatakan ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diperoleh dari Industri Pengolahan Nikel di Morowali dan Morowali Utara, hal ini juga mengindikasikan ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap sektor pertambangan yang dirasa belum bisa memberikan rasa keadilan melalui fiskal yang diterima oleh daerah.
Menurut Gubernur, sangat timpang dan perlu ditinjau kembali DBH yang seharusnya diterima oleh sulteng, karena 570 Triliun yang masuk ke negara, hanya 200 miliar yang kembali ke sulteng sebagai daerah penghasil, sebuah angka yang masih jauh dari proporsional, karena efek kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari sebuah industrialisasi tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima. Kalau ini dibiarkan terus menerus, maka sulteng akan meredup ke depannya, karena sektor pertanian yang terus tergerus digantikan oleh industri pengolahan yang mungkin 10-15 tahun akan datang akan habis menurut prediksi dari beberapa pengamat ekonomi, sementara sektor ini tidak dapat diperbaharui seperti layaknya sektor pertanian.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mau jadi apa sulteng ke depan kalau hanya mengandalkan sektor yang akan habis dan tidak dapat diperbaharui? sementara sektor yang dibutuhkan orang banyak semakin tergerus dan mungkin kurang dilirik oleh generasi muda saat ini. Dibutuhkan peran aktif pemerintah untuk mengatasi dan mencari jalan keluar dari masalah ini, sehingga sulteng dapat menjadi salah satu daerah penghasil komoditas pertanian yang unggul dan berdaya saing.
Diperlukan Langkah kongkret berupa stimulan kepada para petani, anak muda calon petani milenial sulteng agar mau dan pandai berusaha disektor ini, sehingga semakin memperbanyak tenaga kerja yang dapat mengurangi angka pengangguran di sulteng yang tercatat sebesar 49,61 ribu orang, hasil dari pengukuran survey Angkatan kerja nasional (SAKERNAS) periode Februari 2025.
Mengapa harus Kembali ke pertanian? Ungkapan itulah yang menarik sesuai dengan topik di atas. Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di sulteng dengan persentase sebesar 40,58 persen pada tahun 2023. Akan tetapi sektor pertanian khususnya tanaman pangan mengalami penurunan produksi pada tahun 2024.
Tahun 2023 sulteng berhasil menghasilkan beras sebesar 484.836 Ton, namun pada tahun 2024 justru menurun sebesar 35,081 ton menjadi 449.755 ton. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah daerah utamanya Dinas Pertanian, agar sektor pertanian kembali menjadi primadona, sehingga bisa menggeser sektor industri pengolahan, yang secara substansi tidak begitu menguntungkan masyarakat dan pemerintah daerah.
Khusus untuk tanaman pangan, penerapan teknologi modern, mulai dari proses perencanaan penggunaan lahan, penanaman, pengendalian hama, dan pemanenan hasil pertanian perlu di intensifkan dan dikembangkan sehingga para petani ataupun calon petani paham, begitu juga dengan bibit dan pupuk serta sarana pendukung lainnya harus tersedia dan murah, hal ini dapat meningkatkan produksi pertanian dari tahun ke tahun.
Kemudian pada proses pemasarannya, diperlukan pasar yang jelas dan menguntungkan, yang salah satunya bisa diupayakan oleh Dinas Terkait, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi petani dari sistem ijon. Agak sulit memang tapi percayalah kalau ini yang kita lakukan maka kesejahteraan petani akan terus meningkat.
Kita ketahui bersama bahwa nilai Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman pangan di sulteng tahun 2024 sebagai salah satu proxy dalam mengukur tingkat kesejahteraan petani masih belum melampaui indeks 100 yaitu di angka 95,38 yang artinya petani di sektor ini tidak imbang antara nilai yang diterima dan nilai yang dibayar dengan kata lain belum sejahtera. Walaupun memang angka ini dinamis dan kadang cepat berubah entah naik maupun turunnya.
Untuk lebih menggairahkan geliat aktivitas pertanian di sulteng, sebagai bagian dari Upaya dalam pengentasan kemiskinan dan mengurangi jumlah angka pengangguran, pemerintah dapat memberdayakan bukan hanya kelompok tani tetapi juga stakeholder lainnya, semisal pengurus/remaja masjid maupun lembaga keagamaan lainnya agar mau menjadi petani yang “Maju dan Berkelanjuta”. Komoditas yang di tanam dapat bervariasi jenisnya, baik itu tanaman pangan, perkebunan, maupun holtikultura yang cenderung lebih mudah dan cepat menghasilkan, hal ini sejalan dengan visi gubernur sulteng periode 2025-2030 yaitu “Berani Wujudkan Sulawesi Tengah Maju dan Berkelanjutan”.
Olehnya mari sama-sama kita Kembali dan memajukan sektor pertanian yang mulai ditinggalkan anak muda karena dinilai tidak menjanjikan dan cenderung ketinggalan zaman, padahal sektor ini adalah sektor yang paling mulia karena menyediakan pangan yang menjadi sumber makanan bagi semua orang dimuka bumi ini. Ayo Bersama-sama bertani mulai dari sekarang. ***
(Penulis adalah pegawai BPS Kab Donggala, pemerhati masalah sosial dan ekonomi Sulawesi Tengah)