Bahasa Hukum: Seni Merumuskan Tanpa Menghakimi

Oleh: Nasrullah Muhammadong

Dalam lampiran II UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, di situ (di Angka 242), diuraikan beberapa pedoman penggunanaan bahasa peraturan perundang-undangan.

Dijelaskan, bahasa peraturan perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada  kaidah tata bahasa Indonesia. Namun bahasa peraturan perundang-undangan, juga  mempunyai corak tersendiri.

Lalu, bagaimana corak atau ciri-cirinya? Dijelaskan (dalam Angka 243), antara lain: a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan; b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam  mengungkapkan tujuan atau maksud).

Jamak, Tapi Ditulis Tunggal

Namun, ada juga yang menarik ketika dijelaskan, bahwa salah satu ciri dari bahasa peraturan perundang-undangan yaitu, penulisan kata yang bermakna jamak, selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal. Juga diberikan contoh dalam lampiran itu. Jika bermakna “buku-buku” (atau jamak), hendaknya ditulis tunggal saja, yaitu “buku” (dalam bunyi peraturan).

Kesannya, itu adalah penyimpangan dari kaidah bahasa Indonesia. Padahal telah disebutkan tadi, bahasa peraturan, tunduk pada  kaidah tata bahasa Indonesia. Jikalau demikian, mari kita analisis.

Bahasa hukum, tentu mengutamakan keringkasan dan kepadatan norma. Termaksuk efisiensi dan hemat kata (vide angka 243 Huruf b tadi). Dapat diberikan contoh. Norma yang menggunakan kata tunggal: “Setiap orang yang memalsukan dokumen, dipidana dengan pidana penjara…”. Norma ini dapat dipahami, berlaku untuk satu dokumen atau banyak dokumen.

Beda halnya jika menggunakan kata ulang atau jamak. “Setiap orang yang memalsukan dokumen-dokumen, dipidana dengan pidana penjara…”. Tentu penafsirannya yaitu, norma ini hanya berlaku, jika banyak dokumen yang dipalsukan.

Dari contoh di atas, dapat dipahami, menulis kata tunggal “buku” dalam bahasa peraturan, ini dapat mencakup satu atau lebih buku (tergantung konteks norma yang ada).

Jadi, bentuk kata tunggal dipilih, bukan karena melanggar kaidah bahasa, tetapi karena mengikuti kaidah legal drafting yang menekankan efisiensi, ketegasan, dan fleksibilitas interpretasi hukum. Hukum tidak menuliskan yang tidak perlu, tetapi cukup menyiratkannya jika sudah dapat dipahami.

Tidak Emosional

Masih di Angka 243 tadi. Dalam bagian huruf c, ditegaskan, bahasa peraturan perundang-undangan, harus objektif dan tidak emosi dalam  mengungkapkan tujuan atau maksud. Mengapa harus begitu?

Norma hukum tentu harus diterapkan kepada semua pihak, tanpa dipengaruhi oleh rasa “benci” atau “simpati”. Hukum bukan alat untuk mengungkapkan sentiment, melainkan mengatur perilaku secara rasional.

Sebagai contoh. “Pemerintah wajib memberantas praktik busuk dan tidak beradab dalam birokrasi.” Ini tentu kalimat yang subyektif dan emosional.

Agar kelihatan obyektif, dapat diubah: “Pemerintah wajib melakukan penataan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas aparatur negara untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.”

Jadi, bahasa hukum harus netral, dan hanya menyatakan ketentuan hukum secara jelas tanpa hiperbola atau ungkapan yang memancing interpretasi subjektif.

Kata yang Layak

Ada beberapa perda yang menggunakan istilah, baik itu “wanita tuna susila”, maupun “pekerja seks komersial”. Dari kedua istilah ini, kalau disuruh pilih, mana yang lebih elok atau etis dipakai? Penulis sendiri lebih memilih  istilah “pekerja seks komersial”, ketimbang “wanita tuna susila”. Mengapa? 

Penggunaaan istilah pekerja seks komersial, tentu tidak langsung melekatkan nilai moral (baik/buruk), tetapi lebih menjelaskan fungsi sosial dan ekonomi dalam aktivitasnya. Begitu pula kesannya tidak berbau stigma. Sebaliknya, Istilah “wanita tuna susila” bermakna kehilangan kesusilaan. Ini tentu mengandung penilaian moral, yang dalam bahasa hukum, kesannya tidak objektif.

Tapi kedua istilah ini, masih dipandang baik, jika dibandingkan dengan kata “pelacur’ atau “pelacuran”. Istilah “pelacur’ atau “pelacuran”, juga masih dipakai dalam beberapa perda. Istilah ini tentu memiliki konotasi negatif yang sangat kuat secara sosial dan emosional. Dengan kata lain, kata ini bersifat menghakimi moralitas dan tidak netral. Dalam konteks hukum, kata-kata seperti ini, bisa mengganggu objektivitas penerapan hukum, karena memicu stigma.

Tentu masih banyak contoh lainnya yang dapat kita bijaki ketika melakukan diksi dalam bahasa peraturan. Misalnya, “anak yang berhadapan dengan hukum”, tentu lebih elok ketimbang “anak nakal”. Lebih etis menggunakan istilah “tuna wisma”, daripada kata “gelandangan”, dan seterusnya.

Di sini penulis kembali mengamati lampiran II UU No 12/2011, terkait pedoman penggunanaan bahasa peraturan perundang-undangan dimaksud. Seharusnya, di poin pedoman tersebut, diberikan pula penegasan, bahwa penggunaan bahasa peraturan, juga  memperhatikan ragam bahasa yang berkembang, baik dalam perspektif etis, keadaban, nondiskriminasi, serta layak untuk dijadikan bahasa norma. ***

Penulis adalah Pengajar Perancangan Peraturan Perundang-undangan, pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.

Pos terkait