BENCANA alam yang kembali melanda Sumatra menjadi pengingat bahwa negeri ini belum sepenuhnya siap menghadapi gelombang musibah yang datang silih berganti. Di tengah puing rumah yang hancur, keretakan infrastruktur, dan duka yang menyelimuti para penyintas, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah negara sudah cukup hadir untuk warganya? Jawabannya, dengan melihat kondisi lapangan dan keluhan masyarakat, jelas masih jauh dari memadai.
Para penyintas yang kehilangan tempat tinggal, anggota keluarga, mata pencaharian, dan rasa aman, tidak boleh dibiarkan menanggung beban ini sendirian. Mereka membutuhkan uluran tangan pemerintah dan para dermawan secara cepat, tepat, dan berkelanjutan. Negara tidak sekadar dipanggil untuk menunjukkan simpati, tetapi untuk menunaikan kewajiban konstitusional yang sudah diatur dengan tegas dalam Undang-Undang Penanganan Bencana.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB), yang menjadi landasan hukum komprehensif untuk menangani bencana alam, non-alam, dan sosial, mencakup masa pra-bencana meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, saat tanggap darurat, hingga pasca-bencana berupa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hak-hak penyintas, mulai dari bantuan kebutuhan dasar hingga pemulihan jangka panjang, adalah mandat hukum yang tidak boleh ditunda atau dinegosiasi.
Dalam fase tanggap darurat, respons cepat sangat dibutuhkan. Namun setelahnya, agenda rehabilitasi dan rekonstruksi tidak boleh menunggu terlalu lama. Jeda yang berkepanjangan hanya akan memperburuk keadaan masyarakat yang sudah rapuh. Pemerintah pusat dan daerah harus bergerak serentak, memastikan pembangunan kembali infrastruktur dan pemulihan ekonomi dilakukan dengan pendekatan yang terpadu.
Di samping itu, faktor psikologis penyintas sering kali terabaikan. Padahal, trauma yang mereka alami dapat menghambat proses pemulihan jangka panjang. Pendampingan psikologis, dukungan sosial, serta ruang yang aman untuk bercerita dan menguatkan diri harus menjadi bagian integral dari proses rehabilitasi.
Namun semua upaya itu akan sia-sia jika akar masalah tidak disentuh. Banyak bencana terjadi semakin parah karena degradasi lingkungan yang dilakukan secara ugal-ugalan. Pembalakan liar, pertambangan tak terkendali, dan alih fungsi lahan tanpa kajian lingkungan yang memadai telah menyebabkan daerah-daerah rawan berubah menjadi bom waktu bencana.
Oleh karena itu, penegakan hukum atas tindak pidana lingkungan harus tegas dan konsisten. Jangan ada lagi pihak-pihak yang merusak lingkungan dibiarkan melenggang bebas. Negara harus membuktikan keberpihakannya kepada rakyat dengan menjadikan perusak lingkungan sebagai musuh bersama.
Lebih dari itu, pemerintah harus berhenti mengeluarkan izin usaha yang tidak ramah lingkungan atau melanggar tata ruang. Pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan keselamatan masyarakat. Ketika izin diberikan tanpa pertimbangan lingkungan yang ketat, maka pemerintah turut berperan dalam menciptakan bencana berikutnya. Sudah saatnya keberlanjutan ekologis ditempatkan sebagai pondasi utama dalam setiap kebijakan pembangunan.
Harapan kita sederhana tetapi mendesak. Semoga semua upaya pemulihan dapat berjalan beriringan. Dengan ketegasan dan keseriusan pemerintah, ditambah dukungan masyarakat dari berbagai lapisan yang terus bergandengan tangan, para penyintas dapat segera bangkit. Mereka berhak atas masa depan yang layak, aman, dan bermartabat.
Sumatra, seperti daerah-daerah lain yang pernah diguncang bencana, perlu kita pulihkan bersama, agar kehidupan dapat kembali berdenyut sebagaimana sediakala. ***







