Bisa-bisanya Dijadikan Norma Macan Ompong

Oleh: Nasrullah Muhammadong
Dalam suatu kesempatan (untuk kepentingan riset), penulis melakukan wawancara dengan salah satu staf di bagian Perundang-Undangan DPRD Kabupaten Sigi (beberapa tahun lalu). Ia menuturkan, norma yang mengatur tentang jangka waktu 15 hari untuk fasilitasi raperda, berpotensi menjadi lumpuh. Ini sebagai akibat dari perubahan regulasi itu sendiri.

PERUBAHAN PASAL
Norma yang dimaksud oleh responden tadi, yaitu norma yang terdapat dalam Pasal 89 Permendagri No 80/2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Dan Pasal 89 ini, merupakan salah satu pasal yang terimbas perubahan melalui Permendagri No 120/2018.
Untuk lebih jelasnya, kita sandingkan kedua norma di atas. Dan demi kepentingan kolom yang terbatas pula, isi pasalnya, dibuat seringkas mungkin.
Pasal 89 Permendagri No. 80/2015, Ayat (1), berbunyi, Fasilitasi yang dilakukan oleh mendagri bagi provinsi, dan gubernur bagi kabupaten/kota, dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari setelah diterima rancangan perda.
Adapun Ayat (2)-nya: “Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendagri dan gubernur tidak memberikan fasilitasi, maka terhadap rancangan perda dilanjutkan tahapan persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD”.
Pasal 89 di atas, diubah melalui Permendagri No. 120/2018. Perubahannya berbunyi: Ayat (1), fasilitasi yang dilakukan oleh mendagri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota, dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari setelah diterima surat permohonan fasilitasi”.
Ayat (2): “surat permohonan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi: a. dokumen rancangan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota, rancangan Perkada, dan/atau rancangan peraturan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bentuk hardcopy dan softcopy (dengan format pdf); dan b. berita acara pembicaraan tingkat I bagi Fasilitasi rancangan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dengan membandingkan kedua pasal di atas, jelas ada perubahannya. Tapi perubahan yang cukup prinsip, dapat dibaca pada ayat (2)-nya. Apa yang diubah?
Pada ayat (2), Pasal 89 Permendagri No 120/2018, ternyata telah dihapus yang namanya “konsekuensi administratif”. Yaitu, jika mendagri atau gubernur tidak melakukan fasilitasi dalam tenggang waktu 15 hari, maka konsekuensinya, raperda itu dapat dilanjutkan ke tahap persetujuan bersama (antara kepala daerah dan DPRD). Jadi, sekali lagi, bunyi ayat inilah yang dihapus, lalu digantikan dengan redaksi lain.

MENGAPA KONSEKUENSI ADMINISTRATIF?
Sebenarnya apa tujuan dicantumkannya konsekuensi administrtif tersebut? Dapat dipahami, kebutuhan akan regulasi di daerah seringkali mendesak untuk segera diatur melalui Perda (apalagi mengatur soal tata kelola, pelayanan publik dan pengelolaan sumber daya tertentu). Adanya konsekuensi administrasi dimaksud, diharapkan dapat mengakomodasi dinamika tersebut. Yaitu, dengan memberikan jalan keluar agar proses fasilitas raperda, tidak berlarut-larut.
Jadi, adanya konsekuensi administratif itu, bukan untuk menghukum pejabat yang bersangkutan. Melainkan untuk memastikan adanya kepastian hukum dan efisiensi proses legislasi di daerah. Dan juga yang tak kalah pentingnya adalah, untuk menghindari adanya kekuasaan mutlak dari pemerintah atasan dalam menghambat proses legislasi di daerah.

JALAN KELUAR
Apapun namanya, konsekuensi administratif itu, tetap ada dalam Pasal 89 ayat (2) dimaksud. Tinggal diatur jangka waktunya. Misalnya, pihak gubernur tetap dipertahankan dengan jangka waktu 15 hari. Adapun pihak Kemendagri diberi tenggang waktu yang lebih lama. 25 hari, misalnya.
Memberikan batas waktu lebih lama bagi kemendagri, merupakan solusi yang realistis. Karena, skala tanggung jawab mendagri, yaitu mencakup seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya, pihak gubernur (yang lebih dekat dengan kabupaten/kota), diberi batas waktu yang lebih singkat. Ini juga termasuk realistis.

PENUTUP
Batas waktu adalah elemen esensial dalam setiap aturan administratif. Tapi, kalau tak ada juga konsekuensi administratif-nya, norma itu tak lebih sebagai norma simbolik atau norma kosmetik. Yaitu, norma yang hanya dibuat untuk menunjukkan keberadaan aturan yang tampak indah di atas kertas, tetapi tidak memiliki efek nyata di lapangan.
Jadi, kembali. Kalau memang betul apa yang disangkakan di atas, penulis hanya bergumam: “Demi mencari aman atau mau menghindari yang namanya konsekuensi administratif, bisa-bisanya pasal itu dijadikan norma macan ompong”. ***

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.

Pos terkait