Oleh: Nasrullah Muhammadong
Beberapa hari lagi, tepatnya 10 Desember 2025, kita akan memperingati hari Hak Asasi Manusia Sedunia (Hari HAM). Hari HAM bermula dari momen bersejarah pada tanggal 10 Desember 1948. Saat itu, Majelis Umum PBB secara resmi mengadopsi Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Deklarasi tersebut dirumuskan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB, di bawah pimpinan Eleanor Roosevelt. Deklarasi ini, memuat 30 pasal, dan merangkum beragam hak mendasar (mulai dari kebebasan pribadi hingga jaminan perlindungan hukum).
Perdebatan soal HAM
Tiga tahun sebelum DUHAM lahir, tepatnya pada 1945, founding fathers kita, telah berdebat, apakah HAM dapat dimasukkan ke dalam konstitusi, ataukah tidak.
Ketika itu, Sukarno berkata dalam sidang BPUPKI: “Saya minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu. Janganlah dimasukkan dalam UUD kita yang dinamakan ‘rights of the citizen’ (hak warga negara, pen), sebagai yang dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya.
Di bagian akhir, beliau berkata: “Maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya.”
Pandangan Sukarno didukung oleh Soepomo. Soepomo (di antaranya) menyatakan: “…dalam UUD, kita tidak bisa memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan…akan tetapi jikalau hal itu kita masukkan, sebetulnya pada hakekatnya UUD itu berdasar atas sifat perseorangan…”.
Pandangan Sukarno-Soepomo di atas, mendapat tentangan dari Moh. Hatta dan Moh. Yamin. Hatta (antara lain) berkata: “… ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan kepada, misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya…tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat.”
Yamin juga berpandangan (antara lain), “…aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan yang harus diakui dalam UUD.”
Dari perbedaan pandangan di atas, dapatlah kita petakan. Kubu Sukarno-Soepomo (menolak memasukkan klausul tentang HAM), dan Hatta-Yamin (menganjurkan klausul itu, tetap ada).
Sukarno-Soepomo menolak, karena HAM itu dianggap berasal dari paham liberalisme Barat yang individualistik. Bagi mereka, konstitusi harus lebih mencerminkan semangat kolektif Indonesia. Yaitu, kekeluargaan (integralistik), gotong royong, dan keadilan sosial.
Sebaliknya, Hatta-Yamin, meminta agar hak-hak dasar warga negara tetap dijamin dalam UUD. Hal itu dilakukan, demi mencegah agar negara tidak menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Bagi mereka, perlindungan kemerdekaan warga, adalah sebuah keharusan universal dalam setiap konstitusi. Dan itu bukan semata-mata karena HAM berasal dari ideologi liberal.
Karena dipandang adanya perbedaan pendapat, akhirnya dalam sidang BPUPKI itu, diambillah jalan tengah atau kompromi yang cukup cerdas. Yaitu, tetap mencantumkan klausul soal HAM/hak warga negara. Tapi itu tidak terlalu banyak. Cukup tujuh pasal saja.
Perdebatan fonding fathers di atas, lebih lengkap dapat dibaca dalam buku: Lahirnya UUD 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan” (RM. A.B. Kusuma: 2009),
Mengadopsi Klausul
Dalam sub judul ini, penulis akan memulai pembahasan dari situasi terkini dulu, selanjutnya ditarik ke belakang. Kita mulai dari soal pencantuman HAM dalam UUD 1945 (hasil amendemen kedua, tahun 2000).
Menarik tulisan Satya Arinanto (Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia: 2003). Bahwa, materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945, sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal, atau setidak-tidaknya, memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, juga hampir sama, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Setelah memahami soal pengabdosian HAM tadi, selanjutnya kita simak tulisan Moh. Yamin (“Proklamasi dan Konstitusi R.I.”, dalam Jimly Asshiddiqie: 2008), sbb: “UUD RIS 1949, termasuk konstitusi pelopor di dunia yang mengadopsi ketentuan DUHAM secara utuh dan lengkap sebagai tindak lanjut deklarasi PBB tahun 1948. Setelah Indonesia kembali ke negara kesatuan, dan UUDS 1950 disusun, dengan sedikit perubahan, maka seluruh pasal tentang HAM itu dipindahkan dari rumusan UUD RIS 1949, menjadi rumusan UUDS RI Tahun 1950”.
Atas tulisan Moh. Yamin di atas, Jimly Asshiddiqie, memberikan, komentar: “Penilaian Moh Yamin ini sangat masuk akal, karena ketika menyusun naskah UUD RIS dan naskah UUDS Tahun 1950, bangsa Indonesia secara langsung dapat memanfaatkan adanya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 itu”.
Selanjutnya, tulis Jimly: “Karena itu masuk akal jika materi hak asasi manusia dalam deklarasi universal itu secara utuh diadopsi baik ke dalam rumusan UUD RIS 1949 maupun dalam rumusan UUDS 1950, dan menyebabkan Indonesia dapat digolongkan sebagai negara pertama dalam sejarah yang secara langsung menindaklanjuti Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi: 2008).
Jika DUHAM Lebih Dulu
Atas penilaian Prof. Jimly di atas, kita dapat mengatakan, bahwa waktu dan konteks sejarah, sangat memainkan peranan penting. Andaikan UUD 1945 ditetapkan setelah lahirnya DUHAM, sangat mungkin klausul HAM di dalamnya akan jauh lebih komprehensif dan sistematis.
Termasuk perdebatan sengit di antara founding fathers tentang perlu-tidaknya HAM dimasukkan, mungkin tidak akan terjadi. Atau setidaknya, intensitasnya akan berkurang, karena sudah ada acuan normatif internasional yang dapat diterima secara global ketika itu.
Pengaruh globalisasi dan standar internasional terkait HAM, memang tak bisa dielakkan. Tapi sejarah konstitusi kita telah menunjukkan sebuah evolusi yang wajar. Dari sebuah kompromi nasional (yang lahir dari debat internal), menuju sintesis yang lebih matang.
UUD 1945 hasil amenden, memang telah merangkul norma global terkait HAM. Tetapi, proses adopsinya, tetap menyesuaikan dengan karakter dan kepribadian bangsa Indonesia. ***
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum, Universitas Tadulako, Palu.







