Oleh: Sadrak L. Wutres (Mahasiswa Magister Sejarah UGM)
Pada momen peringatan 90 tahun Gereja Protestan Maluku (GPM), saya tergerak untuk bertanya: sejauh mana gereja yang lahir dari rahim sejarah ini benar-benar memberi dampak nyata bagi umatnya? Pertanyaan itu membawa saya menelusuri jejak perjalanan GPM, dari masa krisis ekonomi 1930-an, pendudukan Jepang, awal kemerdekaan, hingga konflik sosial 1999. Saya percaya, GPM adalah gereja yang dibentuk di tengah badai krisis, dan karena itu pula ia ditempa untuk tangguh.
Krisis Ekonomi 1930-an
Ketika GPM resmi berdiri sebagai gereja mandiri pada 6 September 1935, dunia tengah diguncang depresi ekonomi. Banyak yang bertanya: mengapa kemandirian justru diputuskan di saat yang sulit? Jawaban saya, justru karena krisis itulah GPM ditempa untuk berani mandiri. Dalam arsip-arsip yang saya temukan, Sidang Proto-Sinode IV tahun 1934 memutuskan pendirian perkebunan jemaat. Tujuannya jelas: menopang hidup pendeta, membantu jemaat yang kekurangan pangan, dan bila ada lebih dijual untuk kas jemaat. Namun kenyataannya, GPM belum sepenuhnya lepas dari subsidi Belanda.
Dalam tulisannya H. Kraemer, De Huidige Stand Van Het Christendom In Nederlandsch-Indié (‘S-Gravenhage: Boekencentrum Nv., 1937) sebagaimana dikutip dalam disertasi Johan Robert Saimima, Nasionalisme Indonesia Masyarakat Kristen Maluku, 1935-1966: Perlawanan GPM terhadap RMS mencatat bahwa, pada 1932 gereja masih menerima ƒ1.248.637, dan pada 1936 turun drastis menjadi ƒ685.900 untuk membayar gaji 43 pendeta, 31 pendeta pembantu, dan 7 guru agama.
Meski begitu, saya melihat kekuatan utama GPM justru ada pada jemaatnya. Laporan keuangan di Klasis Lease memperlihatkan betapa konsistennya pemasukan dari kolekte, sumbangan, hingga uang katekisasi. Data Jemaat Itawaka misalnya tahun 1923 pada bulan januari menunjukkan pemasukan bulanan sebesar ƒ9.646 gulden, tidak hanya di tahun tersebut, bahkan tahun-tahun setelahnya, dengan sistem pelaporan keuangan yang sangat lengkap. Bagi saya, inilah bukti bahwa persembahan jemaat menjadi pilar kehidupan gereja sejak awal.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika Jepang menduduki Maluku (1942–1945), semua pendeta Belanda ditawan. Kepemimpinan lalu diambil alih pendeta lokal: Pdt. F. Siwabessy (1942–1943) dan kemudian Pdt. S. Marantika (1943–1946). Saya menilai inilah titik balik penting: GPM mulai dipimpin penuh oleh orang Maluku sendiri. Tetapi masa itu juga dipenuhi derita. Van den End mencatat lebih dari 150 pendeta dan penginjil dibunuh. Di Emplawas, Klasis Babar Timur, lebih dari 700 jemaat tewas. Di Buru Selatan, seperti ditulis Edison Hukunala, kekerasan juga merenggut banyak nyawa.
Namun, di tengah penderitaan itu, GPM tidak berhenti melayani. Sidang Sinode 1942 menegaskan: pelayanan harus terus berjalan karena Kristus adalah Kepala Gereja, dan tidak ada kuasa dunia yang bisa memadamkan iman jemaat (Roma 8:38–39). Bagi saya, ini adalah bentuk resiliensi institusional yang lahir dari spiritualitas penderitaan.
Awal Kemerdekaan dan Krisis Baru
Setelah Jepang kalah, Indonesia merdeka. Tapi GPM kembali bergulat dengan krisis. Pada 1945–1950, kepemimpinan sempat dipegang lagi oleh pendeta Belanda. Arsip 1947 menunjukkan bagaimana GPM meminta bantuan dana perbaikan gedung. Namun pada 1950, subsidi Belanda dihentikan, dan pada saat yang sama meletus pergerakan RMS yang meluluhlantakkan Maluku. Saya membaca catatan Pdt. Max Syauta yang menyebut GPM mengalami krisis keuangan serius. Tetapi justru dari krisis itulah muncul gagasan tentang sistem keuangan gereja yang lebih mandiri.
Tahun 1983 lahirlah sistem perencanaan PIP-RIPP, dan pada 2002 muncul wacana 70%-30% sharing dana. Walau gagal, ide itu tetap menjadi pijakan pembaharuan sistem finansial GPM.
Konflik Sosial 1999-2000
Krisis berikutnya datang pada 1999. Maluku terbakar konflik horizontal. GPM kehilangan banyak hal: jemaat jadi pengungsi, gedung-gedung hancur, dan keuangan jebol. Data Pdt. Max Syauta menunjukkan defisit besar: pengeluaran melonjak, pemasukan merosot drastis. Namun, saya percaya dari puing-puing konflik itulah gereja belajar kembali membangun solidaritas. Setelah konflik, GPM tidak hanya membenahi sistem keuangan, tetapi juga mengambil peran penting dalam rekonsiliasi sosial di Maluku.
Merenungi perjalanan ini, saya sampai pada kesimpulan: sejak awal, GPM memang lahir dari krisis, dibentuk oleh krisis, dan bertahan berkat krisis. Dari sisi teori organisasi, GPM mengalami path dependency: sejak awal terbiasa bertahan lewat kombinasi subsidi, persembahan jemaat, dan solidaritas. Dari sisi iman, GPM tetap setia melayani di tengah penderitaan.
Hari ini, pada usia 90 tahun dengan tema “Gereja yang menabur, bertumbuh, dan berbuah karena kasih Tuhan” (Markus 4:1-9), saya kembali pada pertanyaan awal saya: sejauh mana gereja yang lahir dari rahim sejarah ini benar-benar memberi dampak nyata bagi umatnya?
Bagi saya, jawabannya ada pada keberanian GPM untuk tidak berhenti di titik bertahan, melainkan bergerak melampaui krisis, menabur harapan baru, menumbuhkan solidaritas lintas batas, dan berbuah dalam pelayanan yang sungguh-sungguh menjawab pergumulan masyarakat Maluku hingga hari ini.