Oleh: Nasrullah Muhammadong
DI TENGAH gegap gempita perjuangan kemerdekaan, di sebuah ruang sidang yang dipenuhi oleh para pemikir terbaik bangsa, Bung Karno berdiri tegak. Tanggal 1 Juni 1945 menjadi saksi bisu saat sang orator ulung itu menggoreskan tinta emas dalam sejarah Indonesia.
Dengan suara lantang dan penuh keyakinan, beliau memaparkan sebuah visi yang akan menjadi fondasi bagi negara yang masih dalam kandungan ibu pertiwi. Dengan kecerdasan yang memancar, beliau merangkai butir-butir pemikiran yang jernih dalam pidatonya. Dan untuk pertama kalinya, ia mengucapkan kata sakti: “Pancasila”, ketika itu.
Kata Pancasila menggelinding dari bibirnya, dan laksana mutiara, kata itu jatuh di tengah heningnya sidang BPUPKI. Karena kata itu cukup menghentak dan menggetarkan, tak pelak, gemuruh tepuk tangan pun memenuhi seluruh isi ruang sidang. Boleh dikata, disaat itu, sang orator laksana nahkoda. Ia berhasil merumuskan kompas bagi perahu besar yang bernama Indonesia. Perahu yang penumpangnya terdiri dari beratus suku, beragam agama, dan berbagai golongan. Semuanya harus berlayar bersama, untuk menuju ke satu cita-cita.
PERINGATAN 1 JUNI
Seiring berjalannya waktu, antara tahun 1950 hingga 1965, peringatan 1 Juni, dirayakan secara kenegaraan. Nuansa revolusioner tetap menyertai. Kemeriahan pawai rakyat dan pertunjukan seni di berbagai sudut desa dan kota, selalu digelar besar-besaran.
Di setiap pidato perayaan 1 Juni itu, Bung Karno selalu mengaitkannya dengan perjuangan revolusi, anti-imperialis dan persatuan nasional. Lihat saja, beberapa judul pidato yang beliau bawakan pada peringatan 1 Juni tersebut. “Pancasila dan Nation Building” (Pidato 1 Juni 1961, di Istana Negara); “Pancasila, Alat Pemersatu Melawan Nekolim” (1 Juni 1964, di Surabaya); Atau “Kembali ke Api Pancasila” (1 Juni 1965, menjelang runtuhnya Orde Lama). Beberapa arsip pidato ini, dapat ditemukan pada buku “Di Bawah Bendera Revolusi” (Jilid II).
Di balik pidato-pidato yang selalu menggelegar itu, beliau juga berkata, bahwa aku bukanlah pencipta Pancasila, melainkan sebagai penggali saja. Ada yang berpendapat, bahwa pernyataan itu sekadar ungkapan kerendahan hati Bung Karno. Ini terutama ditujukan kepada kawan-kawan seperjuangannya, agar pengorbanan mereka tetap dipandang sejajar dengan beliau.
Andaikan Bung Karno tetap dipandang sebagai penggali Pancasila, sudah tentu pidato yang cukup menggelegar pada 1 Juni 1945 itu, bukanlah cangkulannya yang pertama. Penggalian itu jauh sebelum kemerdekaan. Penggalian yang dipenuhi dengan pengalaman dan proses perenungan yang mendalam.
MASUK ORDE BARU
Di tahun-tahun awal Orde Baru (1966-1969), peringatan 1 Juni masih ada, tetapi dengan nuansa yang sangat berbeda dengan era Sukarno. Peringatan dilakukan secara sederhana, tanpa upacara kenegaraan.
Namun, sejak 1967, ketika Bung Karno resmi dilengserkan, dengan cara halus, rezim Orba mulai membatasi perayaan 1 Juni. Referensi 1 Juni dari kurikulum sekolah dihapus. Dan media massa diawasi bila memuat liputan terkait peringatan 1 juni di kalangan masyarakat.
Dan puncaknya, setelah Bung Karno wafat, tepatnya di tahun 1970, Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), mengeluarkan telegram atau surat Instruksi, agar peringantan 1 Juni ditiadakan.
Ada dua buku penulis rekomendasikan untuk dibaca, jika ingin memahami lebih dalam soal Kopkamtib dan penghapusan peran Soekarno dalam Pancasila. Yaitu, The Army and Politics in Indonesia (2007), karya Harold Crouch. Buku ini menjelaskan peran Kopkamtib di awal Orde Baru. Dan buku, Membongkar Manipulasi Sejarah, (2009), karya Asvi Warman Adam. Buku ini menguraikan rekayasa sejarah Orde Baru, termasuk upaya menghapus peran Sukarno dari Pancasila.
MENGAPA DILARANG?
Mengapa rezim Orba melarang atau begitu takut atas peringatan 1 Juni kala itu? Tentu Pancasila harus dipahami sebagai milik negara, bukan dikaitkan dengan sosok tertentu. Alasan lain, peringatan 1 Juni dapat membangkitkan kembali pengaruh politik Sukarno, termasuk dapat membuka ruang kritik terhadap rezim yang baru berjalan.
Dengan memutus hubungan antara Pancasila dan Sukarno, rezim ketika itu ingin menegaskan, bahwa Pancasila, sekali lagi, adalah versi Orba yang anti-komunis, dan pro-stabilitas. Dan di sisi lain, Orba lebih menekankan peringatan Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober). Ini untuk mengenang perjuangan melawan G30S/PKI.
Untuk lebih memperkokoh ideologi negara tersebut, dilakukanlah metode sosialisasi dengan mempromosikan Eka Prasetya Pancakarsa (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila/P4). Metode ini, tentu digunakan sebagai bentuk indoktrinasi. Jika anda membaca buku pelajaran sejarah di era Orba, hampir tidak ada penekanan pada Pidato 1 Juni 1945. Sebaliknya, yang diajarkan adalah soal Eka Prasetya Pancakarsa, yang kaku dan dogmatis.
Setelah Orba jatuh, narasi seimbang tentang Pancasila dan Sukarno mulai pulih. Dan pada tahun 2016, Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres No. 24/2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, sekaligus mengembalikan peran Bung karno dalam sejarah Pancasila. ***
Penulis adalah Pengajar Pancasila di Lingkungan Universitas Tadulako, Palu.