Oleh: Nasrullah Muhammadong
Arab jahiliyah ketika itu, adalah tanah yang retak oleh tirani. Tabiat kaum Quraisy pada umumnya adalah penimbun harta. Sementara rakyat jelata dicekik riba, perang, dan kebodohan. Pun masyarakat Makkah pada waktu itu, digerakkan oleh kapitalisme pedagang (merchant capitalism). Sumber-sumber ekonomi, alat produksi, dan jalur perdagangan, dipegang secara monopoli dari oligarki suku yang menguasai.
Struktur ekonomi yang timpang tersebut, pada akhirnya melahirkan relasi patron-klien. Yaitu, banyak orang miskin atau budak bergantung pada kaum kaya Quraisy. Dari rahim kontradiksi material inilah, lahir berbagai penyimpangan moral. Perjudian, perbudakan, diskriminasi terhadap perempuan (hingga praktik penguburan bayi perempuan), semuanya menjadi bara yang membakar moral.
Revolusioner dan Humanis
Di tengah gelapnya jahiliah ketika itu, lahirlah Muhammad, sang pemimpin besar yang revolusioner. Dengan cahaya kejujuran dan kesederhanaannya, Muhammad hadir dengan membawa resep transformatif. Ini dilakukan untuk menyembuhkan penyakit struktural masyarakat jahiliyah yang terguncang oleh pertentangan kelas tadi.
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad pada awal-awalnya, adalah gerakan protes sosial atas ketidakadilan. Ia juga menawarkan tatanan masyarakat alternatif yang egaliter dan berkeadilan. Termasuk, bebas dari penghisapan manusia oleh manusia lainnya. Tak heran, bila gagasan-gagasan revolusioner Muhammad, untuk pertama kalinya diterima oleh kaum mustada’fin (kaum tertindas).
Muhammad juga seorang humanis. Muhammad adalah pejuang bagi orang-orang miskin, dan ia begitu dekat dengan orang-orang miskin. Terkadang beliau makan bersama fakir miskin. Bila bertemu, dipeluk dan diciumnya mereka.
Begitu pula, demi menyenangkan perasaan kaumnya yang terpinggirkan, rasulullah terkadang berkelakar dengan mereka. Bahkan, dalam sebuah hadits diceritakan: ”sampai terlihat gusinya”. Saking dekatnya dengan orang miskin, sampai-sampai beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah aku orang miskin, dan matikanlah aku bersama orang-orang miskin”.
Muhammad tentu bertolak belakang dengan sosok yang satu ini (walaupun kedua-duanya sering berbicara tentang rakyat miskin). A. Makmur Makka, dalam bukunya: ”Pakaian kebesaran” (1999), menulis: Ketika Krushchev menjadi orang nomor satu di Uni Soviet, ia pernah mengejek Stalin, dengan berkata: ”Tahu apa Stalin mengenai rakyat?”
Selanjutnya, Krushchev berkata: “Apa yang digembor-gemborkan sebagai pejuang rakyat, hanya bohong. Stalin tidak pernah bertemu dengan rakyat, Stalin tidak pernah turun ke Kolchoz. Ia hanya mengenal rakyat melalui film, dan itulah yang diceritakannya selama ini mengenai rakyat”.
Michael H. Hart
Michael H.Hart. Dalam bukunya, ” The 100 a rangking of the most influentid persons in History” (2005; Terjemahan) , menulis: ”Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama dalam seratus tokoh yang berpengaruh di dunia, mungkin mengejutkan sebagian pembaca, dan mungkin menjadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, bahwa dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama, maupun ukuran duniawi”.
Selanjutnya ditulis: “Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menyebarkan dan menegakkan salah satu agama terbesar di dunia, agama Islam. Dan, pada saat yang bersamaan, tampil sebagai seorang pemimpin yang tangguh, tulen dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar”.
Gema Pembebasan
Nabi Muhammad tidak hanya datang dengan ajaran tauhid untuk memurnikan akidah, tetapi lebih dari itu. Beliau membawa misi profetik pembebasan dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan penindasan yang membelenggu manusia.
Refleksi maulid nabi bukanlah sekadar ritual mengenang. Ia adalah pengingat akan spirit kenabian yang revolusioner. Semangat melawan segala bentuk kezaliman struktural yang masih bersemayam dalam wajah yang berbeda di era modern.
Al-Quran (S. Ali Imran: 104) juga mengingatkan kita, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Ini adalah mandat bagi kita semua, terutama yang menyaksikan ketimpangan di sekitarnya.
Sekali lagi, gema sejarah perjuangan nabi, khususnya dalam melawan ketidakadilan, adalah suara yang tak pernah redup dari masa lalu. Ia adalah denyut nadi yang terus berdetak dalam setiap langkah kita dalam membela kaum mustadhafin, hingga hari ini.
Penulis adalah Direktur Yayasan Pelita Bangsa, Sulawesi Tengah