Oleh: Halim HD.
Apa yang anda pikirkan tentang politisi dan pengelola daerah yang memiliki posisi elite pada suatu jabatan? Banyak orang dengan gampang, spontan berkomentar bahwa mereka adalah para pemimpin yang telah dipilih oleh warga dalam pilkada melalui dukungan suatu partai. Ada juga yang berusaha untuk tampil secara independen, non-partai, tapi rasanya semuanya hampir gagal.
Hal yang terakhir ini menarik, karena begitu kuatnya partai di dalam masyarakat sehingga seseorang tanpa melalui partai sangat sulit untuk bisa menjadi elite pengelola daerah. Kekuatan partai di dalam masyarakat dalam menggiring seseorang menjadi elite lokal merupakan suatu bukti, bahwa masyarakat kita sesungguhnya memiliki kesadaran politik yang tinggi. Melalui kesadaran itu pula masyarakat ingin membuktikan bahwa harapan mereka di dalam berpartisipasi pada proses pembangunan bukan sekedar memilih tapi juga bagaimana aspirasi yang mereka miliki bisa ditampung dan diwujudkan di dalam pembangunan daerah.
Ketika bicara tentang sejauh mana aspirasi warga dan masyarakat diwujudkan, di situ kita menemukan sejumlah masalah. Kita sering mendengar ungkapan anggota masyarakat yang sesungguhnya sangat sederhana harapannya namun sulit untuk diwujudkan, misalnya bagaimana sampah tidak tercecer di jalanan, bagaimana pepohonan rindang bisa tetap hadir di tengah-tengah kota dan tidak digusur, ditebang oleh kepentingan pembangunan yang tak memperhitungkan ekosistem perkotaan. Semua masalah bisa diluapkan ke hadapan satu dengan lainnya di dalam obrolan warga di warung atau sesama tetangga. Yang jadi soal, adakah kaum politisi mendengarkan suara-suara itu? Adakah kuping mereka memiliki radar yang peka yang bisa menangkap getaran yang paling halus dari aspirasi dan suara warga?
Kita juga bisa mendengarkan suara yang lain dari pihak politisi. Kata mereka, warga itu banyak maunya, banyak permintaannya dan terlalu banyak keluh kesah. Gerutu dan kritik kaum politisi ini juga mungkin ada benarnya. Tapi gerutu dan kritik kaum politisi itu selalu dengan tangkas ditangkis oleh warga, bahwa memang sudah tugasnya kaum politisi dan elite local yang mengelola suatu daerah-kota harus banyak mendengarkan dan menampung idea warga dan diharapkan diwujudkan. Bukankah kaum politisi digaji miliaran setiap tahunnya dari pajak dan uang pembangunan dari pengelolaan sumber daya alam (SDA)? Perdebatan bisa menjadi panjang dan, rasa-rasanya sih sulit untuk bertemu dalam kesepakatan untuk menjadikan gagasan sebagai suatu proyek bagi masyarakat. Pertanyaannya kenapa sulit untuk mempertemukan antara gagasan warga dengan kaum politisi dan elite lokal?
Saya kira, salah satu masalah adalah karena masing-masing bertahan dengan posisi gagasannya, dan kurang atau bahkan tak membuka kepada kemungkinan lain yang membuat keduanya bisa berkomunikasi dengan baik, berdialog dengan enak, dan yang terpenting, bagaimana suatu data yang disampaikan oleh warga bisa menjadi bahan bagi kaum politisi untuk diolah dan dijadikan inspirasi penyusunan rencana kerja.
Dalam konteks itulah saya ingin menyampaikan bahwa salah satu kelemahan warga di dalam melontarkan gagasannya selalu bersifat umum. Mari kita ambil kasus tentang kehidupan kesenian di daerah-kota. Banyak warga menganggap bahwa kehidupan seni tradisi sekarang mengalami kemerosotan, dan pada sisi lainnya warga menyatakan bahwa serbuan budaya “asing” kian merajalela.
Lontaran pernyataan umum ini tak sepenuhnya keliru. Yang jadi masalah, ketika bicara tentang kondisi seni tradisi misalnya, kita membutuhkan suatu bukti yang lebih konkrit melalui beberapa pertanyaan, jenis seni tradisi yang mana, dan di mana dan sejauh manakah pengelola seni tradisi memang mengalami kesulitan?
Repotnya, tentu saja pertanyaan ini tak mudah untuk dirumuskan oleh orang awam. Dalam kaitan inilah dibutuhkan orang perantara, atau Lembaga yang memegang wewenang untuk melakukan monitoring dan penilaian.
Jika suatu kondisi kesenian dan kehidupan kebudayaan mengalami krisis, atau bahkan mengalami degradasi, sesungguhnya hal itu bukan hal yang langka. Kesenian dan kebudayaan adalah suatu kondisi yang akan terus berubah dan bahkan menghilang. Yang jadi masalah bagi kita adalah bagaimana menciptakan jejaring informasi dan analisa dan rumusan masalah yang sedang dihadapi.
Berkaitan dengan hal ini, mungkin kita harus kembali menengok posisi- fungsi instansi yang berkaitan dengan hal itu: dinas kebudayaan, dinas pariwisata, instansi yang menangani pendidikan, juga lembaga kesenian seperti Dewan Kesenian (DK), yang semestinya wajib untuk selalu melakukan monitoring, evaluasi serta rumusan arahan dari suatu analisa untuk kembali menyusun rencana kerja perbaikan kehidupan kesenian dan kebudayaan.
Di antara itu, harapan kita kepada kaum politisi, pengelola partai dan elite lokal, agar lebih memahami masalah masalah yang ada di dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan. Kepekaan mereka kepada masalah kebudayaan ini kita harapkan bisa ikut membantu dalam memahami dan mencari solusi bagi perkembangan kebudayaan yang akan datang, khususnya kondisi seni tradisi yang sedang mengalami gerusan zaman.
Dalam konteks itulah sudah seharusnya menjadi tanggungjawab moral dan politik bagi kaum politisi untuk secara mendalam memahami masalah kebudayaan, bukan hanya dalam kaitannya dengan pelestarian tapi juga memahami nilai-nilai budayawi sebagai dasar bagi rumusan pembangunan lokal. Sebab, pembangunan dalam aspek apapun tanpa dasar nilai-nilai kebudayaan hanya menghasilkan produk artifisial, sesuatu yang palsu dan
mengarah kepada manusia yang tak otentik. ***
Penulis adalah Networker-Organizer Kebudayaan