Oleh: Tza Rizal Pahlawan
(Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada)
Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu perwujudan jaminan atas negara hukum demokratis. MK merupakan ujung tombak harapan masyarakat terhadap Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan hak konstitusionalnya. Hal ini dikarenakan salah satu kewenangan MK yang dianggap dapat mampu mengubah dinamika ketatanegaraan melalui keberlakukan suatu UU. Kewenangan yang dimaksudkan tersebut adalah kewenangan pengujian UU terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).
Melalui kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945 tersebut tentunya menjadikan MK sebagai lembaga negara yang dapat mengawal serta melindungi konstitusi UUD 1945 (The Guardian of The Constitution). Selain itu, MK juga dipandang sebagai lembaga negara panafsir tertinggi atas norma-norma yang termuat dalam konstitusi UUD 1945 (The Sole Interpreter of Constitution) (Abdul Rahman Maulana Siregar, 2017 : 101). Secara yuridis, kewenangan MK dapat dilihat dan diketahui melalui ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Jaminan konstitusionalitas tersebut tentunya merupakan salah satu alasan keleluasaan MK dalam menguji suatu UU terhadap UUD 1945.
KEWENANGAN PENGUJIAN FORMIL DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No.
24 Tahun 2003 tentang MK) bermaksud menguraikan kedudukan, kewenangan, dan prosedural (hukum acara MK) pengujian UU. Ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan bahwa “Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: (a) pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau (b) materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Melalui ketentuan tersebut maka dapat diinterpretasikan kewenangan pengujian UU di MK meliputi kewenangan formil maupun materiil suatu UU. Kedua pengujian tersebut kembali diperjelas dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang). Pasal 1 angka 1 PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menerangkan bahwa “Pengujian adalah pengujian formil dan/atau pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”.
Sementara itu, untuk mengetahui lebih tegas mengenai pengertian pengujian formil dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (3) PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menerangkan bahwa yang dimaksudkan “Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Kewenangan pengujian formil di MK ditujukan terhadap pembentukan UU yang harus dilakukan secara demokratis dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Pada dasarnya, aspek prosedural pembentukan UU merupakan hal penting yang mesti dilaksanakan dan dijamin keberadaanya. Prosedural pembentukan hukum dimaksudkan untuk mencapai tiga fungsi utama terhadap suatu UU, di antaranya meliputi fungsi penegakan hukum; fungsi pelaksanaan dan penerapan hukum; dan fungsi pembentukan hukum. Dalam proses pembentukan UU harus diterapkan suatu asas keterbukaan yang mempunyai makna jaminan atas partisipasi masyarakat dalam pembentukannya. Prinsip partisipasi masyarakat melalui asas keterbukaan tersebut ditegaskan dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011 tentang P3).
Secara jelas dan tegas, kewenangan pengujian formil di MK merupakan pengujian yang bertujuan untuk menilai bertentangan atau tidaknya proses pembentukan UU terhadap asas maupun hukum yang berlaku. Keberhasilan suatu UU dapat diukur melalui uji publik yang melibatkan peran serta masyarakat dalam pembentukannya. Prof. Mahfud M.D mengatakan bahwa pembangunan hukum atau kaidah politik hukum Indonesia mengenal adanya rambu-
rambu atau koridor dengan adanya kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani. Sehingga dengan demikian hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis. Hal tersebut berarti bahwa dalam prosedur pembentukan hukum harus memperhatikan serta melibatkan aspirasi dan partisipasi masyarakat secara luas melalui proses dan mekanisme yang adil, transparan, dan bertanggung jawab. Pembentukan hukum harus dapat mencegah adanya tindakan manipulatif hingga transaksi gelap dari proses pembentukan hukum tersebut (Mahfud MD, 2013 : 9).
Oleh karenanya, kehadiran UU No. 12 Tahun 2011 tentang P3 dianggap sebagai pelindung atas pelaksanaan asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU. Sementara itu, kehadiran MK dan kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945 merupakan pelindung hak konstitusional masyarakat yang telah diabaikan dalam proses pembentukan serta materi muatan UU yang mencederai hak konstitusional masyarakat. Sehingga atas dasar tersebut MK dalam hal ini dianggap sebagai pengawal dan pelindung konsitusi UUD 1945 sekaligus keberlangsungan demokrasi.
DISKURSUS KENEGARAAN ATAS PUTUSAN UJI FORMIL UU CIPTA KERJA
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Putusan MK No. 91/PUU- XVIII/2020 tentang Cipta Kerja) menekankan adanya pentingnya pemenuhan aspek formalitas terhadap setiap pembentukan UU. Sehingga dengan demikian prinsip partisipasi masyarakat menjadi terjamin dan bermakna dalam proses pembentukan UU. Dalam putusan tersebut Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil. Hal tersebut dikarenakan pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan tata cara atau metode yang pasti, baku, standar, dan keterpenuhan asas-asas pembentukan UU sebagaimana dimaksud dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang P3. Kecacatan formil tersebut juga dikarenakan pembentukan UU Cipta Kerja juga mengabaikan asas keterbukaan atau partisipasi masyarakat. Selain itu, terjadi perubahan penulisan terhadap beberapa substansi setelah persetujuan dari DPR dan Presiden.
Dalam Amar Putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak
putusan diucapkan”. Merujuk pada putusan perkara a quo MK tidak melakukan pembatalan UU secara langsung tetapi MK hanya menunda keberlakuan UU Cipta Kerja. Penundaan keberlakuan UU Cipta Kerja tersebut berlangsung selama jangka waktu perbaikan UU Cipta Kerja, yaitu selama dua tahun. Selain itu, pada putusan perkara a quo terdapat celah ambiguisitas terhadap makna yang menyatakan “….segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas”. Ambiguisitas yang dimaksud adalah tidak adanya batasan tindakan atau kebijakan apa saja yang boleh atau tidak dilakukan dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja tersebut. Berdasarkan ambiguisitas putusan perkara a quo tersebutlah yang tentunya menjadi diskursus kenegaraan saat ini.
Menurut Sri Soemantri hak pengujian formil yang dimiliki MK merupakan wewenang untuk menilai suatu undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif telah sesuai prosedur atau tidak sebagaimana telah ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan. Apabila terbukti undang-undang yang diuji mempunyai kecacatan prosedur atau proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka sebagai konsekuensinya adalah pembatalan undang- undang tesebut secara keseluruhan. Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa keberhasilan menjalankan prosedur hukum oleh hakim adalah salah satu ciri dari negara hukum. Prof. Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa suatu hukum haruslah berjalan sesuai prosedur yang telah ditentukan karena apabila hukum tersebut menyimpang dari prosedurnya maka berpotensi menimbulkan gugatan dari masyarakat serta mencederai keadilan itu sendiri (Cekli Setya Pratiwi, 2013 : 172).
Berdasarkan uraian ahli di atas maka jelas bahwa suatu produk hukum yang cacat dapat diketahui dari proses pembentukannya sendiri. Sehingga dengan adanya prinsip tersebut maka kedudukan keadilan prosedural sama mempunyai kesamaan dengan kedudukan keadilan substansial. Merujuk pada perkara a quo, Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tersebut dapat dikatakan sebagai putusan yang kurang tegas karena tidak membatalkan secara langsung atas keberlangsungan UU Cipta Kerja. Hal ini tentunya mereduksi ketegasan konsekuensi pembatalan dalam aspek pengujian formil UU. Hal tersebut mengingat bahwa konsekuensi pembatalan tersebut merupakan konsekuensi bijak dan tegas terhadap pemenuhan prosedur dalam pembentukan UU (termasuk pemenuhan partisipasi masyarakat). ***