Fiskal, Stimulus, dan Ketahanan Ekonomi

Oleh: Edi Setiawan

KETAHANAN ekonomi Indonesia diuji oleh berbagai tekanan global yang semakin kompleks. Perlambatan ekonomi Tiongkok, lemahnya permintaan dari Eropa, serta kebijakan suku bunga tinggi di Amerika Serikat membuat prospek ekspor Indonesia tertekan. Ditambah lagi, volatilitas harga energi dan pangan global memperbesar risiko inflasi domestik.

Menghadapi tantangan tersebut, pemerintah Indonesia berupaya memperkuat perekonomian melalui kebijakan fiskal ekspansif. Stimulus jumbo dengan nilai lebih dari Rp500 triliun pada 2025 menjadi salah satu senjata utama untuk menjaga laju pertumbuhan, meningkatkan konsumsi, dan mendukung sektor riil.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 mencapai 5,1% (yoy), sedikit di bawah target 5,3%. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi penggerak utama, menyumbang lebih dari separuh produk domestik bruto (PDB). Namun, pertumbuhan investasi hanya 3,8%, sedangkan ekspor mulai stagnan akibat penurunan permintaan global. Deretan Stimulus Jumbo Berbagai stimulus telah digulirkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan merangsang sektor-sektor strategis. Salah satunya adalah subsidi Rp7 juta per unit untuk motor listrik dengan target penjualan 50 ribu unit pada 2025.

Kebijakan ini diharapkan mempercepat adopsi kendaraan ramah lingkungan, terinspirasi dari keberhasilan Tiongkok yang berhasil meningkatkan penetrasi mobil listrik hingga 25% pada 2024 melalui insentif masif. Pemerintah juga meluncurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) senilai Rp600 ribu untuk sekitar 10 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta. Selain itu, diskon tarif listrik bagi 24 juta rumah tangga berdaya 450 VA dan 900 VA diharapkan menjaga kestabilan konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah. Insentif lainnya termasuk subsidi sebagian iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) untuk 1,5 juta pekerja sektor padat karya.

Tak ketinggalan, diskon tarif tol dan tiket penerbangan ke destinasi pariwisata prioritas turut diharapkan mendorong pergerakan masyarakat, meningkatkan belanja, serta mempercepat pemulihan pariwisata domestik. Kebijakan ini terinspirasi dari Jepang yang sukses memulihkan sektor wisata lewat program “Go To Travel Campaign”. Investasi Asing dan Domestik Selain stimulus fiskal, keberlanjutan ekonomi juga ditopang oleh investasi, baik asing maupun domestik.

Data Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan realisasi investasi asing langsung (FDI) pada 2024 mencapai Rp678 triliun, tumbuh 1,2% dari tahun sebelumnya. Meski positif, angka tersebut masih di bawah potensi Indonesia yang memiliki pasar besar, tenaga kerja produktif, serta kekayaan sumber daya alam.

Sementara itu, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tercatat sebesar Rp552 triliun pada 2024, tumbuh 5,5% dibanding 2023. Sektor manufaktur, infrastruktur, dan energi menjadi kontributor utama investasi domestik. Ini menunjukkan adanya optimisme pelaku usaha lokal, meskipun mereka masih menghadapi hambatan birokrasi, tingginya biaya logistik, dan kompleksitas perizinan.

Untuk menarik lebih banyak FDI dan mendorong PMDN, pemerintah harus memastikan kepastian hukum, memperbaiki kualitas regulasi, serta mempercepat penyederhanaan prosedur perizinan. Reformasi Undang-Undang Cipta Kerja sudah menjadi langkah awal yang baik, tetapi implementasi yang konsisten di lapangan menjadi kunci utama untuk meningkatkan kepercayaan investor. Ketepatan Sasaran Stimulus Besarnya alokasi stimulus menuntut akurasi dalam penyaluran.

Studi LPEM UI (2024) mengungkapkan sekitar 32% bantuan sosial sebelumnya tidak tepat sasaran karena lemahnya validasi data. Subsidi motor listrik, misalnya, dikhawatirkan lebih banyak dimanfaatkan kalangan menengah ke atas yang secara ekonomi relatif lebih mapan. Fenomena serupa terjadi pada diskon tol dan penerbangan yang cenderung digunakan oleh masyarakat urban berpenghasilan lebih tinggi.

Di sisi lain, kelompok berpendapatan rendah yang paling rentan justru tidak memperoleh manfaat optimal. Amerika Serikat dapat dijadikan contoh keberhasilan distribusi stimulus, dengan memanfaatkan integrasi data perpajakan dan social security number, sehingga akurasi penerima bantuan mencapai lebih dari 90%.

Risiko Fiskal dan Beban Masa Depan Selain masalah distribusi, stimulus jumbo juga membawa risiko fiskal jangka panjang. Defisit APBN 2025 diperkirakan mencapai 2,8% dari PDB atau sekitar Rp609 triliun, dengan total belanja negara Rp3. 400 triliun. Rasio utang pemerintah per Mei 2025 sudah mencapai 40,1% dari PDB, naik dari 38,5% pada 2023. Sebagai perbandingan, Malaysia memiliki rasio utang 61% pada 2024, tetapi dengan tax ratio yang lebih tinggi (sekitar 14,5%), sehingga mereka memiliki ruang fiskal lebih leluasa.

Tax ratio Indonesia masih tertahan di level 10,4% pada 2024, tertinggal dari rata-rata ASEAN (14–16%) dan jauh di bawah rata-rata negara OECD (sekitar 33%). Jika tidak segera memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan, ketergantungan pada utang akan membatasi belanja produktif di masa depan. Urgensi Reformasi Struktural Stimulus jumbo bukanlah solusi permanen, melainkan alat transisi menuju ekonomi yang lebih produktif.

Target pemerintah untuk menaikkan kontribusi industri pengolahan dari 19,3% menjadi 25% terhadap PDB dalam lima tahun ke depan, misalnya, membutuhkan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Digitalisasi layanan perpajakan, perbaikan administrasi, serta penguatan penegakan hukum sangat penting untuk memperluas penerimaan negara.

Korea Selatan menjadi contoh sukses, dengan meningkatkan tax ratio hingga 20% dalam dua dekade terakhir melalui digitalisasi sistem pajak dan penguatan audit. Sinergi Daerah dan Sektor Swasta Realisasi belanja daerah hingga Mei 2025 baru mencapai 29% dari pagu, menandakan perlunya perbaikan eksekusi di level lokal. Keterlibatan pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat sangat penting agar dampak stimulus terasa merata. Kemitraan publik-swasta (PPP) dan pembiayaan inovatif (blended finance) juga harus diperluas untuk mendanai proyek infrastruktur strategis tanpa membebani APBN. Singapura telah memanfaatkan model PPP untuk mempercepat proyek infrastruktur hijau, sekaligus menarik investor global.

Stimulus jumbo bukan sekadar angka besar, tetapi harus menjadi penggerak transformasi ekonomi yang inklusif dan berdaya saing. Keberhasilan kebijakan ini ditentukan oleh ketepatan sasaran, efektivitas pelaksanaan, serta sinergi dengan peningkatan investasi, baik asing maupun domestik.

Saatnya menjadikan stimulus sebagai katalis reformasi struktural, bukan hanya konsumsi jangka pendek. Perpaduan kebijakan fiskal yang sehat, stimulus tepat sasaran, dan penguatan investasi akan memperkokoh fondasi menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bergandengan tangan agar setiap rupiah stimulus benar-benar menjadi modal masa depan bangsa, bukan sekadar beban fiskal generasi berikutnya. ***

Penulis adalah Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA

Pos terkait