SULAWESI TENGAH dikenal sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, terutama di sektor pertambangan. Emas, batuan, dan berbagai mineral lainnya tersebar di banyak wilayah. Kekayaan ini di satu sisi menjadi harapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun di sisi lain menghadirkan persoalan serius. Maraknya pertambangan tanpa izin (PETI), di beberapa wilayah, menjadi gambaran nyata bahwa pengelolaan tambang belum sepenuhnya tertata dengan baik.
Upaya yang dilakukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah bersama Satgas Tambang patut diapresiasi. Penyisiran dan inventarisasi aktivitas PETI merupakan langkah penting dalam rangka penataan, termasuk sebagai dasar pengusulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Gagasan penetapan WPR sejatinya dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi penambang rakyat sekaligus mengurangi praktik tambang ilegal yang merugikan negara dan merusak lingkungan.
Namun demikian, penetapan WPR dan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Tidak semua wilayah yang selama ini ditambang secara ilegal layak ditetapkan sebagai WPR. Ada wilayah yang secara geologis rawan, berada di kawasan lindung, dekat permukiman, atau memiliki risiko bencana tinggi. Wilayah seperti ini seharusnya ditutup dan dipulihkan, bukan dilegalkan melalui kebijakan yang keliru.
Pengalaman berbagai daerah menunjukkan bahwa kebijakan tambang yang mengabaikan aspek lingkungan dan kebencanaan sering kali berujung petaka. Banjir bandang, longsor, pencemaran sungai, dan konflik sosial adalah harga mahal yang harus dibayar. Jangan sampai Sulawesi Tengah mengulangi kesalahan yang sama. Impian menjadi kaya dari tambang bisa berubah menjadi derita berkepanjangan jika tata kelolanya abai dan hanya mengejar keuntungan sesaat.
Karena itu, penetapan WPR harus berbasis kajian yang matang dan menyeluruh. Aspek lingkungan, keselamatan, daya dukung wilayah, serta dampak sosial-ekonomi masyarakat sekitar harus menjadi pertimbangan utama. Pemerintah daerah tidak boleh hanya melihat tambang sebagai sumber pendapatan, tetapi juga sebagai amanah yang harus dikelola secara bertanggung jawab demi generasi mendatang.
Peran masyarakat juga sangat penting dalam proses ini. Warga setempat perlu dilibatkan sejak awal, bukan sekadar menjadi objek kebijakan. Partisipasi masyarakat akan membantu memastikan bahwa penetapan WPR benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, bukan justru membuka ruang baru bagi kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial. Pengawasan bersama antara pemerintah, aparat, dan masyarakat menjadi kunci agar aktivitas pertambangan berjalan sesuai aturan.
Pada akhirnya, penetapan WPR di Sulawesi Tengah adalah pilihan kebijakan yang sarat risiko sekaligus peluang. Jika dilakukan dengan bijak, WPR dapat menjadi jalan keluar dari PETI dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun jika dilakukan tanpa kehati-hatian, kekayaan tambang justru bisa menjadi bumerang. Sejahtera tak kunjung datang, sementara musibah mengintip seperti jamur di musim hujan. Karena itu, bijak dan berhati-hatilah dalam menetapkan WPR dan IPR. TMU







