Oleh: Nasrullah Muhammadong
MAHASISWA KKN Fakultas Hukum Untad, pada 12 Juli 2025, meminta kami (selaku dosen fakultas hukum), untuk melakukan pelatihan penyusunan peraturan desa (Perdes) di lokasi mereka. Salah satu desa yang kami kunjungi, yaitu Desa Palamaki Kecamatan Kulawi Selatan.
Penulis, bersama dua dosen lainnya (yaitu, Leli Tibaka dan Mohammad Safrin), memberikan materi dengan tema masing-masing. Adapun penulis memberikan materi, terkait hal-hal yang bersifat umum soal Perdes.
Dalam pemaparan itu, penulis menjelaskan, bahwa dulu, Perdes masuk dalam hierarki atau tata urutan perundang-undangan. Bahkan dimasukkan sebagai bagian dari peraturan daerah. Ini dapat dibaca dalam Tap MPR No III/2000 dan UU No 10/2004.
Tapi, dengan berlakunya UU No 12/2011, Perdes tidak lagi disebut secara eksplisit di dalamnya. Tapi secara implisit, Perdes terkandung di dalam Pasal 8 UU 12/2011 (pasal yang memuat peraturan yang bersifat non hierarkis).
Pembatalan Perdes
Raperdes yang telah disepakati oleh kades dan BPD, selanjutnya disampaikan kepada bupati/walikota, untuk dievaluasi. Tujuan evaluasi adalah, untuk mengetahui apakah Raperdes itu bertentangan atau tidak dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
Tidak semua Raperdes, dievaluasi. Namun yang dievaluasi, hanya Raperdes tentang APB Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa. Keempat bidang ini, memang dianggap rentan (dapat) menimbulkan konflik hukum. Contohnya, APB Desa yang tidak transparan, pungutan liar, atau tata ruang yang tumpang tindih dengan izin investasi. Jadi, sekali lagi, harus dievaluasi.
Bagaimana jika Bupati/Wali Kota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu yang telah ditentukan (yaitu paling lama 20 hari)? Menurut Permendagri No 111/2014, Perdes itu langsung dinyatakan berlaku dengan sendirinya. Di sini terlihat, permendagri ini menganut ajaran fiktif positif. Yaitu, permohonan itu dianggap disetujui, jika pihak yang dimohonkan, tidak memberikan tanggapan dalam waktu yang ditentukan.
Kembali. Setelah bupati/walikota melakukan evaluasi sesuai dengan waktu yang ditentukan, maka kades wajib memperbaikinya. Waktu perbaikan, paling lama 20 hari. Jika kades tidak menggubrisnya, dan tetap menetapkan Raperdes itu menjadi Perdes, maka bupati/walikota berwenang membatalkan Perdes itu melalui keputusannya.
Kewenangan untuk membatalkan Perdes itu, terlihat juga dalam proses klarifikasi. Klarifikasi maksudnya, Perdes yang telah diundangkan, dikaji lagi, apakah bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Di sini terlihat, ada pemeriksaan berlapis. Mungkin asas kehati-hatian lebih dikedepankan.
Kembali ke soal tadi. Perdes yang telah ditetapkan dan diundangkan, disampaikan oleh kades kepada bupati/walikota untuk diklarifikasi. Penyampaian paling lambat 7 hari sejak diundangkan. Jika hasil klarifikasinya menyatakan Perdes bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi, maka bupati/walikota membatalkan Perdes tersebut, melalui surat keputusannya.
Soal Pidana dan Denda Babi
Dalam pelatihan penyusunan Perdes dimaksud, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Misalnya, apakah dalam perdes, dapat dicantumkan sanksi pidana? Dalam UU No 12/2011, dinyatakan, ketentuan pidana hanya dimuat dalam bentuk UU dan Perda. Jadi, dalam Perdes cukup diterapkan sanksi administrasi, minimal ada sanksi moralnya.
Ada lagi pertanyaan. Apakah dalam Perdes dapat dicantumkan sanksi denda berupa babi? Dalam UU 6/2014, desa yang berstatus desa adat, perdes-nya dapat disesuaikan dengan hukum adat setempat, dengan syarat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara.
Terkait dengan denda babi. Dalam budaya lokal atau suku tertentu, babi dipandang memiliki nilai sakral dalam penegakan sanksi hukum adatnya. Tapi problemnya, bagi penganut agama tertentu (yang mungkin juga minoritas dalam lingkungan desa itu). Boleh jadi, itu dipandang haram. Di sini, kita masuk ke wilayah pluralisme hukum. Jadi, perlu kehati-hatian.
Mungkin solusi alternatifnya yaitu: (1) membayar denda dengan memberikan uang yang setara dengan harga babi pada saat itu; dan (2) menetapkan hewan lain, seperti kambing atau domba, yang sifatnya netral agama.
Andaikan mau dipaksakan, cantumkan klausul dalam Perdes itu, bahwa, “denda babi hanya berlaku bagi yang secara sukarela menerimanya sebagai bagian dari kesepakatan adat.” Hukum adat yang baik adalah, hukum yang menjaga harmoni, dan tidak mengorbankan kerukunan.***
Penulis adalah Pengajar Hukum Pemerintahan Desa di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu