Oleh: Syafinuddin Al-Mandari (Peneliti Rumah Restorasi Indonesia)
Banyak orang yang mungkin menyimpulkan bahwa Anies Baswedan menolak proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang kini sedang berjalan di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Itu dapat disimak pada sesi perdana Debat Capres 2024 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), 12 Desember 2023.
Pernyataan Anies Baswedan memang sangat jelas bahwa dirinya lebih memilih untuk membenahi kota daripada berpindah. Baginya, berpindah saja tidaklah cukup. Berpindah bukanlah satu-satunya jawaban. Membenahi atau melakukan perbaikan adalah dimensi terpenting dalam keberlanjutan kota.
Pernyataan Anies Baswedan seharusnya dilihat dalam kerangka metode dan proses, bukan produk (hasil). Itu sebabnya, pernyataan tersebut sebaiknya dibaca sebagai sebuah diskursus tentang cara paling elegan untuk sampai pada suatu kebijakan, yakni pindah atau tetap beribu kota di DKI Jakarta.
Menurut Anies Baswedan, ada proses yang belum sempurna dalam kebijakan tersebut. Ringkasnya, Anies Baswedan melihat sebuah kerangka proses pengambilan kebijakan publik yang mendahulukan kekuasaan lalu menerbitkan aturan atau undang-undang.
IKN Nusantara sebenarnya dalam persepektif Anies Baswedan belum sampai pada urusan setuju atau tidak setuju. IKN adalah obyek yang masih harus melalui suatu dialog publik yang sangat-sangat matang.
Bukan Tabu
Membicarakan kepindahan ibu kota tak boleh dikesankan seperti tabu. Indonesia pernah mengalami perpindahan ibu kota. Daerah-daerah yang pernah menjadi ibu kota itu adalah Jakarta (17 Agustus 1945-4 Januari 1946), Yogyakarta (4 Januari 1946-19 Desember 1948), Bukittinggi (19 Desember 1948-27 Desember 1949, Yogyakarta (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), lalu kembali ke Jakarta sejak 17 Agustus 1950 sampai sekarang.
Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dengan demikian, sebenarnya bukan hal baru apalagi tabu. Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957 bahkan pernah berencana memindahkan lagi ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Itu tidak dalam situasi darurat seperti alasan perpindahan sebelumnya.
Era Soeharto juga pernah tercetus rencana yang sama. Pada 15 Januari 1997 melalui Kepres No. 1/1997 Presiden Soeharto melirik Jonggol, Bogor sebagai ibu kota baru.
Lama setelah mengendap, kajian itu muncul kembali di Universitas Indonesia. Rangkaian kajian kembali dilakukan di antaranya oleh Centre for Indonesian Urban Studies (Cirus) yang didirikan oleh Andrinof Chaniago.
Gagasan pemindahan ibu kota kembali menjadi topik utama. Jauh sebelum Jokowi menjadi presiden sebenarnya pembicaraan tentang ini sudah pernah ramai dibicarakan dalam banyak putaran diskusi yang dihadiri para aktivis, akademisi, dan praktisi lintas profesi.
Tergesa-gesa
Akhirnya ketika dalam periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi pemerintah memulai kajian tersebut di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Ujungnya, pada 18 Januari 2022 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU No. 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Meski melalui rangkaian pembahasan yang panjang disertai tinjauan dalam banyak perspektif masih banyak keraguan yang menyelimuti langkah pemerintah itu. Ada pro-kontra. Kemantapan langkah pemerintah termasuk dukungan DPR yang terakhir melalui revisi UU No. 2/2022 yang diambil dalam Sidang Paripurna DPR, 13 Oktober 2023, Anies Baswedan masih memandang penting pematangan.
Focal point kritik Anies Baswedan adalah ketergesaan lahirnya UU IKN. Dapat dimaklumi, sebab ini telah membuat keterbelahan yang berujung pada sejumlah efek buruk. Rendahnya dukungan investor jika dibandingkan dengan ekspektasi Presiden Jokowi, munculnya segregasi yang cenderung membuat stigma antipemerintah atau mungkin yang lebih lunak adalah oposisi. Efek yang paling buruk adalah ancaman mangkrak yang akan menjadi inefisiensi raksasa di dalam sejarah pembangunan bangsa ini.
Ini berarti bahwa Anies Baswedan sedang membaca IKN dengan kaca mata prosesnya. IKN dilihat dalam aspek proses, masih tergolong tergesa-gesa dan seharusnya bisa lebih dimatangkan. Selain itu, Jakarta juga harus tetap dibenahi untuk menjadikannya sebagai kota penting yang melayani keperluan warganya bahkan warga bangsa yang terkoneksi di sekelilingnya dengan sebaik-baiknya.
Pesan penting Anies Baswedan dalam penyertaannya itu ialah tentang perlunya setiap kebijakan sebesar IKN diambil dengan tingkat kematangan diskursus yang sempurna dan proses pelibatan publik seluas-luasnya. Perkara pindah ibu kota dalam tingkat kedaruratan rendah seharusnya juga mencapai kematangan planning yang sempurna.