Oleh:
Tofan Mahdi
(Mahasiswa Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina Jakarta)
Ketika Amerika Serikat, sebuah negara adidaya, kelabakan menghadapi lonjakan kasus positif Covid-19, situasi sebaliknya terjadi di Indonesia. Dalam kurun tiga pekan terakhir, kasus positif terus menurun. Ada harapan bahwa bangsa kita bisa melewati masa-masa
yang berat, termasuk menghadapi pandemi covid-19 yang terjadi sejak Maret 2020.
Sebagai bangsa, Indonesia memiliki potensi dan kapasitas yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan banyak negara lain di dunia. Tidak saja kapasitas dalam menangani pandemik covid-19, tetapi juga kapasitas dalam bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Ketika negeri jiran Malaysia terkaget-kaget melihat penurunan positivity rate covid-19, jauh sebelum pandemi negara-negara maju pun khawatir dengan potensi sumber daya ekonomi yang dimiliki Indonesia. Kekhawatiran negara-negara maju bahwa Indonesia akan menjadi sentra pangan dan energi dunia, bisa dirasakan dengqn munculnya berbagai hambatan perdagangan internasional.
Pun, negara-negara di dunia juga iri dengan konsep berbangsa dan bernegara di negara kita. Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia menjadi role model dalam menciptakan harmoni dalam kehidupan masyarkat yang beragam suku bangsa dan agama.
Tiga potensi besar tersebut jika disadari secara kolektif oleh segenap rakyat Indonesia dan pemerintah mampu merumuskan satu cetak biru kebijakan yang komprehensif, maka sulit untuk tidak percaya bahwa Indonesia adalah masa depan baru peradaban dunia.
Pasca Pandemi
Kita bersiap hidup pasca pandemi. Dalam kurun dua bulan terakhir (sejak pertengahan Juli 2021), positivity rate covid-19 di Indonesia terus menurun. Menurut data dari Satgas Nasional Covid-19, rata-rata kasus positif harian pada 18 Juli 2021 adalah 50 ribu orang, pada 11 September 2021 turun menjadi 5 ribu orang. Di Amerika Serikat, rata-rata kasus positif harian pada 11 September adalah 146 ribu orang, sedangkan di Malaysia mencapai 19.350 orang.
Sukses Indonesia mengatasi gelombang kedua covid dengan relatif cepat ini karena sinergitas kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang efektif, program vaksinasi yang terus bergulir, dan tingkat disiplin dan kesadaran masyarakat akan bahaya virus covid-19 yang semakin membaik. Memontum ini harus terus dijaga ketat. Jangan sampai terjadi euforia seakan-akan Indonesia telah keluar dari pandemi. Bahaya tetap mengintai. Herd immunity akan terbentuk jika vaksinisasi berjalan sesuai target dan masyarakat tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Mengutip Kompas.com (11/9/2021), Presiden Joko Widodo meminta seluruh pihak mulai menyiapkan transisi dari masa pandemi ke endemi karena Covid-19 belum diketahui kapan akan hilang. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi saat meninjau vaksinasi di SLB Negeri 1 Yogyakarta, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta.
Momentum baik di mana positivity rate terus turun harus dipertahankan. Disiplin prokes bagi masyarakat juga ditegakkan dengan penerapan aturan yang ketat. Kegiatan ekonomi mulai dibuka dengan hati-hati, tentu saja diawali dengan sektor-sektor esensial. Pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga harus menjadi prioritas. Mengenalkan pelaku UMKM dengan teknologi komunikasi digital akan membantu pemulihan bisnis UMKM dan meminimalisir risiko tertular virus. Pemberdayaan UMKM pasca pandemi akan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca krisis akibat pandemik covid-19.
Ketika banyak negara lain masih sibuk mengerem lonjakan positivity rate covid-19, Indonesia sudah menyiapkan peta jalan dari pandemik menjadi endemik. Kita bangga dan ini adalah modalitas pertama.
Pusat Energi Dunia
Modalitas kedua adalah sumber daya alam yang besar dan dapat diperbarui. Kita ambil satu contoh tentang penggunaan biodiesel untuk menggantikan bahan bakar berbahan baku fosil. Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia tidak akan kekurangan bahan baku untuk menghasilkan bahan bakar nabati mulai biodiesel, green fuel, juga bio avtur.
Produksi minyak sawit nasional, menurut data Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), yang mencapai 52 juta ton pada 2020 lalu akan menjamin pasokan bahan baku bioenergi. Mandatori biodiesel B30 yang ditetapkan pemerintah membawa multiplier effect (dampak berganda) yang baik bagi perekonomian nasional. Yaitu menjaga stabilitas harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar dunia, meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit karena harga tandan buah segar (TBS) yang tinggi dan stabil, serta menghemat devisa pemerintah karena berkurangnya volume impor minyak bumi. Data dari Aprobi (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia) menyebutkan, dengan program mandatori B30, pemerintah Indonesia bisa menghemat devisa hingga USD 8 miliar (sekitar Rp 112,8 triliun) pada tahun 2019.
Ini yang membuat negara-negara di Eropa kelabakan. Negara-negara Eropa merupakan produsen minyak nabati pesaing sawit seperti bunga matahari dan biji rapa. Meskipun gagasan awal renewable energy berbasis tanaman minyak nabati berasal dari Eropa, namun kehadiran minyak sawit dalam konstelasi bioenergi dunia dianggap sebagai sebuah ancaman. Karena itu sawit didiskriminasi. Kebijakan RED II (Renewable Energy Directive II), mengharuskan minyak sawit dikeluarkan secara bertahap dari daftar bahan baku untuk biofuel di negara-negara anggota Uni Eropa hingga tahun 2030. Kriteria indirect land use change (ILUC) atau penggunaan lahan secara tidak langsung yang dipakai sebagai pendekatan dalam menghitung emisi karbon dalam perkebunan kelapa sawit dinilai catat metodologi.
Isu kedua yang digunakan sebagai penghambat masuknya minyak sawit dalam pasar biofuel di Uni Eropa adalah isu deforestasi. Ini juga tidak relevan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI merilis data bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % pada periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Data ini dirilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata (Ditjen PKTL) KLHK pada 3 Maret 2021.
Potensi minyak sawit Indonesia yang besar adalah ancaman bagi negara-negara maju. Karena itu didiskriminasi. Namun demikian, pada saat yang sama, pemerintah dan pelaku usaha di sektor minyak sawit juga harus meneguhkan komitmen terkait aspek keberlanjutan. Kebijakan moratorium sawit yang akan habis pada bulan ini eloknya diperpanjang untuk menjaga keleatarian lingkungan dan meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit. Khususnya produktivitas perkebunan rakyat yang mencapai 41 persen dari total 16,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Indonesia juga telah memiliki standar sertifikasi keberlanjutan yang bersifat wajib yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Kelapa sawit adalah salah satu potensi besar yang dimiliki Indonesia. Tetapi sawit bukan satu-satunya. Indonesia masih memiliki banyak sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan agar negara ini menjadi sentra energi dunia. Ada gas alam, panas bumi, air, dan angin. Tinggal bisa tidak kita memanfaatkannya.
Harmoni Sosial
Modal Indonesia yang ketiga untuk bisa menjadi pusat peradaban dunia di masa depan adalah harmoni kehidupan masyarakat di tengah keragaman etnis, suku bangsa, dan agama. Di masa lalu, banyak bangsa yang terbelah karena perbedaan terkait dengan SARA. Dan Indonesia hingga lebih tiga perempat abad sejak merdeka mampu menjaga harmoni hingga hari ini.
Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, Indonesia harus menjadi contoh konkret bahwa Islam adalah rahmad bagi semesta alam (Islam rahmatan lil alamin). Islam yang damai, meneladani, dan melindungi semua kelompok masyarakat. Bagaimana bisa terwujud? Kerjasama yang baik dan sinergis antara pemerintah dengan masyarakat. Harmoni dalam kehidupan masyarakat harus terjamin di dalam undang-undang.
Benturan kepentingan politik tidak boleh merusak harmoni kehidupan sosial masyarakat. Harus ada sanksi yang lebih terhadap ujaran kebencian apalagi kejahatan karena kebencian. Tentu kita belajar dari sejarah. Runtuhnya Nazi Jerman misalnya, bukan karena tidak memiliki sistem persenjataan perang yang canggih, tetapi karena negara membiarkan bahkan memfasilitasi terjadinya kejahatan karena kebencian (crime by hate) di kalangan masyarakat.
Tentu kita harus mampu menjaga harmoni ini. Lolos dari ujian pandemi, mengembangkan semakin serius sumber daya alam potensial untuk kesejahteraan masyarakat, dan menjaga harmoni sosial adalah tiga pilar untuk mewujudkan Indonesia menjadi masa depan baru peradaban dunia. Semoga. (*)