Itu Bentuk Rentenir dari Negara: Benarkah?

Oleh: Nasrullah Muhammadong

Ketika kuliah S1 dulu, ada yang namanya mata kuliah hukum pajak. Salah satu materi yang selalu saya ingat, berbunyi begini: “segala peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah, yang tidak berdasarkan undang-undang adalah perampokan”.

Singkat cerita, ketika menjadi dosen, saya sempat diberikan tugas mengasuh mata kuliah hukum pajak (terutama di Fakultas Ekonomi Untad). Salah satu materi pembuka yang diberikan kepada mahasiswa, seperti yang ditulis tadi: “segala bentuk peralihan kekayaan (baik itu pajak atau pungutan lainnya), tanpa dilandasi UU, adalah bentuk perampokan dari negara.

Ungkapan yang cukup bombastis di atas, dapat ditemukan dalam buku berjudul: “Asas dan Dasar Perpajakan”, karya Prof. Rochmat Soemitro SH. Mengapa beliau berkata demikian? Alasannya sebagai berikut. DPR itu hasil pilihan rakyat. Jika lembaga perwakilan itu telah menyetujui suatu UU Pajak, ini berarti pungutan pajak sudah disetujui oleh rakyat.

Berdasarkan pendapat ini, kalau sudah disetujui (apalagi dibuat dalam bentuk UU), berarti unsur negatifnya telah hilang, entah itu bentuk perampokan, penggarongan, perampasan, dan seterusnya.

PAJAK DAN SILA PANCASILA

Ada lagi materi hukum pajak yang menarik dari buku tersebut. Yaitu, diuraikannya keterkaitan antara pajak dan sila-sila dalam Pancasila. Ringkasnya, sebagai berikut:

Sila ke-1, soal Ketuhanan. Dalam kitab suci Al Quran, misalnya, zakat adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang beriman, dengan nilai tertentu. Pajak, meskipun berbeda sumbernya seperti yang tadi, tetap memiliki sifat serupa. Yaitu, sebagai sebuah kewajiban demi “kepentingan umum”. Kewajiban membayar pajak, menunjukkan bahwa, orang beragama tidak hanya fokus pada kepentingan pribadi tetapi juga peduli terhadap masyarakat.

Sila ke-2, soal Kemanusiaan. Apa yang diterapkan dalam UU, tidak boleh melampaui batas perikemanusiaan. Orang gelandangan, orang miskin, bila dikenakan pajak, berarti melanggar perikemanusiaan. Sebab untuk memelihara hidupnya sendiri sudah tidak ada biaya, apalagi untuk membayar pajak.

Sila ke-3, soal Persatuan. Uang pajak yang dikumpulkan secara gotong-royong oleh rakyat untuk membiayai kepentingan umum, merupakan usaha bersama, dan itu juga sebagai tali pemersatu yang sangat kuat. Di samping digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, pajak juga digunakan untuk membiayai pertahanan negara. Misalnya membeli alat persenjataan, dan sebagainya. Ini dilakukan, agar negara tidak lemah, tetapi tetap kuat dan bersatu melawan ancaman, baik dalam maupun luar.

Sila ke-4, soal Kerakyatan, Musyawarah dan Perwakilan. Ini, masih terkait dengan prinsip, pungutan pajak, harus mendapat persetujuan dari rakyat (melalui wakilnya di DPR). Rakyat juga berhak mengawasi penggunaan pajak tersebut. Misalnya, setiap awal tahun, pemerintah menyusun RAPBN yang diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi UU. Setelah tahun anggaran berakhir, pemerintah diwajibkan menyampaikan laporan pertanggungjawaban dalam bentuk perhitungan anggaran kepada DPR untuk disahkan.

Dan terakhir, Sila ke-5, soal Keadilan. Pendapatan negara dari pajak, umumnya diperoleh dari sebagian kecil masyarakat yang diwajibkan membayar pajak. Adapun, sebagian besar rakyat, seperti anak-anak, wanita, atau kelompok lain dengan penghasilan di bawah ambang batas “pendapatan tidak kena pajak,” tidak dikenakan kewajiban ini. Meskipun begitu, hasil pajak tetap digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama (termasuk kelompok yang tidak membayar pajak tadi).

PERBEDAAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Masih dengan buku Rochmat Soemitro, di atas. Dikatakan, pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah, tanpa ada imbalan secara langsung dapat ditunjuk. Sebaliknya, kalau retribusi, ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Maksudnya?

Penulis coba berikan tafsir atau contoh, seperti ini. Orang yang membayar pajak, tidak bisa menuntut kepada negara, atas uang yang telah disetornya, cuma karena ia kurang mendapatkan pelayanan fasilitas dari negara. Karena, sesuai dengan tadi, “negara tidak memberikan kenikmatan secara langsung kepada pembayar pajak” dimaksud. Sebagai contoh, anda membayar pajak, setelah itu jalan di kompleksmu rusak. Anda tidak bisa menuntut pengembalian uang pajak, gara-gara jalan yang rusak tadi. Mengapa? Karena di sini tidak ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Yang dapat kita tuntut hanyalah pelayanan publik yang tidak becus dijalankan oleh pemerintah.

Hal di atas, tentu berbeda dengan retribusi. Seseorang bisa saja menggugat, bila tidak memberikan pelayan yang sesuai dengan apa yang ia bayarkan. Anda membayar retribusi sampah, misalnya. Namun, sampahnya tidak diangkut-angkut juga. Komplain dapat diajukan ke instansi terkait. Bila perlu menuntut pengembalian uang. Di sini, ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk.

BAGAIMANA DENGAN PPN 12 PERSEN?

Sudah menjadi konsumsi publik, pemerintah telah mengumumkan, bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen, mulai 1 Januari 2025. Langkah ini diklaim sebagai pelaksanaan amanat dari UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Namun, rencana kenaikan tarif PPN tersebut menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Meskipun itu amanat UU, banyak yang khawatir, jika kebijakan ini semakin mencekik rakyat, yang saat ini sudah tercekik akibat lemahnya daya beli.Kalau memang nantinya pemberlakuan UU HPP ini semakin membebani masyarakat, kita diingatkan lagi dengan pernyataan (atau semacam teori) dari Rochmat Soemitro tadi. Yaitu, “segala bentuk pajak atau pungutan lainnya, tanpa disertai UU, itu adalah perampokan”.

Sebelumnya, kita kutip dulu tulisan Hery Prasetyo Laoly (29/11/2024), berjudul: “Menyoal Penerapan PPN 12 Persen” (di salah satu portal): “Seperti halnya rentenir yang selalu menyasar orang-orang yang sedang mengalami kesulitan atau keluarga berpendapatan rendah. Negara ini tampaknya tidak jauh berbeda seperti rentenir. Pajak tinggi akan terus menghantui kehidupan rakyat miskin”.

Kembali ke persoalan tadi. Pemberlakuan PPN 12 persen, jelas bukan perampokan, karena ada UU-nya. Tapi, persoalannya, bagaimana kalau UU-nya, dianggap menindas rakyat? Apalagi tak ada aspirasi rakyat di situ, karena UU-nya dibuat ugal-ugalan? Dari kenyataan seperti ini, haruskah kita buat pendapat baru lagi: “Segala bentuk pajak atau pungutan lainnya yang dilandasi dengan UU yang zalim, itu adalah bentuk rentenir dari negara”. Benarkah?

***Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.

Pos terkait