Oleh: Sadrak L. Wutres (Mahasiwa Magister Sejarah UGM)
Pulau Wetar, yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, memiliki luas sekitar 3.675 km² dengan 23 desa yang tersebar di empat kecamatan. Sejak 1980-an, pulau ini menjadi perhatian investor pertambangan karena potensi cadangan emas, perak, tembaga, dan barit yang dinilai cukup besar. Namun, perjalanan panjang eksploitasi sumber daya mineral di Wetar memperlihatkan pola yang berulang: janji kesejahteraan bagi masyarakat lokal, disertai dampak ekologis dan ketimpangan sosial yang kian menguat.
Karena itu, tulisan ini akan saya soroti secara historis, jejak kehadiran tambang di pulau tersebut, serta dampaknya terhadap kemaslahatan masyarakat Pulau Wetar-Lirang, sumber-sumber yang saya gunakan adalah sumber arsip berita koran, dokumen resmi pemerintah, maupun sumber-sumber digital lainnya.
Awal Kehadiran PT Prima Lirang Mining (1985-1990-an)
Eksplorasi awal dilakukan oleh PT Prima Lirang Mining pada 1985. Yusuf Merukh, saat itu Wakil Direktur, menuturkan bahwa metode penambangan masih bersifat konvensional karena keterbatasan infrastruktur. Salah satu lokasi yang dinilai prospektif adalah Lerokis, dengan estimasi cadangan 2,5 juta ton bijih berkadar emas rata-rata 3,5 gram per ton. Setelah tiga tahun eksplorasi, produksi mulai berjalan pada 1990. Menurut Direktur Utama PT Prima Lirang Mining, Gerry Mbatemmoy, hasil studi kelayakan menunjukkan cadangan mineral cukup signifikan: emas, perak, dan barit. Target produksi tahunan ditetapkan sebesar 55.000 troy ounce emas (±1,7 ton), 800.000 troy ounce perak (±16 ton), dan 100.000 ton barit. Untuk menunjang operasional, perusahaan membangun infrastruktur besar, termasuk lori gantung sepanjang 2.500 meter untuk mengangkut material dari tambang menuju lokasi peleburan.
Dari sisi penerimaan daerah, Pemerintah Maluku memperoleh royalti sekitar Rp705 juta pada 1991, dengan porsi 70% masuk ke kas Pemda Provinsi Maluku dan sisanya ke Pemda Maluku Tenggara. Selain itu, perusahaan juga menyumbang pajak bumi dan bangunan sebesar Rp41 juta pada tahun yang sama.
Namun, distribusi tenaga kerja menunjukkan ketimpangan mencolok: dari total 276 pekerja, hanya sembilan orang berasal dari Wetar, sementara sebagian besar didatangkan dari NTT, Dili (Timor Timur), dan luar negeri. Ketimpangan tenaga kerja ini menunjukkan sejak awal, ekonomi tambang beroperasi secara enclave — terpisah dari basis ekonomi masyarakat lokal. Keluhan masyarakat pun segera muncul. Pada 26 Januari 1995, Kepala Desa Lurang melaporkan bahwa limbah olahan tambang dibuang ke laut hanya sekitar 10 meter dari pesisir Telinkdam, menimbulkan kematian ikan dan biota laut. Lahan pembuangan limbah diperkirakan seluas 12 hektar dan mengandung bahan berbahaya seperti sianida, merkuri, dan logam berat.
Gubernur Maluku, Akib Latukonsina, kemudian menurunkan tim teknis untuk meninjau kepatuhan perusahaan terhadap dokumen AMDAL. Kasus ini menjadi preseden awal dari persoalan klasik: konflik antara keuntungan jangka pendek industri ekstraktif dan daya dukung ekosistem pulau kecil.
Peralihan ke Eksploitasi Tembaga (2004-2010)
Setelah operasi emas berakhir, kegiatan pertambangan di Wetar tidak berhenti. Pada 2004–2005, izin eksplorasi tembaga diberikan kepada PT Batutua Kharisma Permai (BKP) dan PT Batutua Tembaga Raya (BTR). Meskipun izin produksi baru keluar pada 2007, aktivitas pengangkutan material tambang diduga sudah berlangsung sejak 2005. Produk tembaga dari Wetar, dengan kadar kemurnian 99,99% (Grade A London Metal Exchange), mulai dijual ke pasar Asia, terutama Thailand. Pada 2010, produksi komersial resmi dimulai. Dalam enam bulan pertama, BTR berhasil menghasilkan 8.909 ton katoda tembaga. Estimasi cadangan bijih mencapai 8,3 juta ton dengan kadar rata-rata 1,4% atau setara 114 ribu ton tembaga. Sumber daya mineral yang lebih luas diperkirakan mencapai 21,7 juta ton dengan kandungan 289 ribu ton tembaga.Investasi perusahaan terus meningkat, dengan klaim total mencapai 135 juta dolar AS. Royalti senilai Rp4,43 miliar dilaporkan telah disetor ke negara. Namun, pertanyaan mendasar tetap sama: sejauh mana keuntungan tersebut kembali ke masyarakat Wetar?
Sejumlah akademisi menyoroti dokumen AMDAL yang tidak diperbarui sejak 2016, sementara pencemaran lingkungan akibat air asam tambang (acid mine drainage) dilaporkan merusak aliran sungai mati seperti Kali Kuning. Dari sisi ekonomi politik, pola “ekstraksi tanpa transformasi” terlihat jelas, perusahaan berhasil memasukkan produk tambang ke pasar global, tetapi nilai tambah lokal, pengolahan lanjutan (forward linkages), serta diversifikasi ekonomi daerah nyaris tidak berkembang.
Kontroversi CSR dan Ketimpangan Sosial (2010-2025)
Untuk meredam resistensi masyarakat, perusahaan menjalankan program tanggung jawab sosial (CSR), terutama di Desa Uhak dan Lurang, dua desa yang berada di lingkar tambang. Program ini mencakup bantuan dana sebesar Rp100–150 juta per tahun, pelatihan pertanian dan peternakan, beasiswa pendidikan, hingga pembangunan fasilitas publik. Namun, distribusi CSR yang hanya menyasar dua desa dari total 23 desa menimbulkan kecemburuan sosial. Menurut salah satu warga yang saya wawancarai, bantuan CSR tidak hanya menciptakan ketergantungan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen hegemoni: ia meredam kritik terhadap aktivitas perusahaan, termasuk dugaan pengiriman limbah tambang dalam jumlah besar ke Surabaya.
Karena itu bagi saya sendiri, CSR tidak semata-mata berfungsi sebagai “pemberdayaan,” melainkan juga strategi kooptasi politik lokal. Ini memperlihatkan bagaimana perusahaan tambang tidak hanya beroperasi dengan modal dan teknologi, tetapi juga dengan mengendalikan struktur sosial, distribusi informasi, dan relasi kuasa di desa.
Krisis Ekologis dan Insiden Kapal Tongkang (2025)
Puncak persoalan terbaru terjadi pada 26 Agustus 2025, ketika kapal tongkang milik PT BKP/BTR patah di Dermaga Kali Kuning, Wetar. Akibatnya, ±10.100 ton ore tambang tenggelam bersama satu unit ekskavator. Peristiwa ini menimbulkan potensi pencemaran serius oleh logam berat, oli, dan bahan kimia, serta ancaman langsung terhadap ekosistem pesisir, terumbu karang, dan sumber mata pencaharian nelayan. Masyarakat menolak menyebut insiden ini sebagai “kecelakaan biasa.” Bagi mereka, kejadian ini mencerminkan kelalaian operasional dan lemahnya pengawasan pemerintah. Insiden ini juga menyingkap problem lebih besar: absennya mekanisme accountability dalam industri ekstraktif di daerah kepulauan, yang membuat masyarakat pesisir menanggung risiko ekologis secara terus-menerus.
Refleksi: Ekstraksi Tanpa Transformasi
Jejak panjang pertambangan di Wetar sejak 1990-an memperlihatkan wajah kapitalisme ekstraktif di Indonesia: eksploitasi sumber daya alam berskala besar yang beroperasi secara terisolasi dari ekonomi lokal, minim investasi pada sektor pendukung, dan tidak menghasilkan pembangunan yang inklusif. Manfaat ekonomi tidak terdistribusi merata, sementara beban sosial-ekologis ditanggung oleh masyarakat pesisir. Lebih jauh, keterlibatan elite lama dalam kepemilikan saham perusahaan menunjukkan kesinambungan patronase dan oligarki ekonomi. Praktik CSR selektif digunakan bukan semata-mata untuk pemberdayaan, melainkan untuk meredam resistensi sosial.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di tambang Wetar, membuat saya melihat tiga hal penting. Pertama, logika ekstraktif membuat daerah kaya sumber daya justru rentan menjadi resource curse kaya secara potensi, miskin secara pembangunan. Kedua, hubungan antara perusahaan, negara, dan masyarakat berjalan timpang: negara lebih berpihak pada akumulasi modal ketimbang perlindungan warga dan ekosistem. Ketiga, pembangunan berkelanjutan di pulau kecil tidak mungkin terwujud jika orientasi kebijakan hanya berfokus pada devisa, tanpa memperhitungkan keadilan ekologis dan sosial.
Pada akhirnya, pengalaman Wetar menunjukkan bahwa eksploitasi tambang di daerah kepulauan rentan menghadirkan ketimpangan struktural, krisis ekologis, dan marginalisasi masyarakat lokal. Menurut saya, jika pola ini terus berlanjut, Pulau Wetar akan tercatat bukan sebagai “pulau penghasil tembaga dan emas,” melainkan sebagai pulau yang dikorbankan demi logika kapitalisme ekstraktif.