Kaum FOMO dan Moral Palsu

Oleh: Edmond Leonardo Siahaan (Penulis adalah aktivis 98, Pegiat antikekerasan, Praktisi Hukum)

Ketika awal-awal Gerakan Reformasi 1998, ruang-ruang publik seperti media massa terisi oleh pernyataan-pernyataan pesimis. Tentu, dari kelompok yang sebut saja: bagian dari Orde Baru (Orba), minim literasi, juga yang ingin tampil beda.

Saking pesimisnya, mereka memplesetkan reformasi menjadi: repot nasi.Bukan hanya sikap pesimis pasif yang ditunjukkan, tapi juga aktif tidak mendukung gerakan Mahasiswa-Rakyat itu, bahkan menjadi batu sandungan bagi pergerakan kala itu.

Kerap kali ungkapan itu dibarengi dengan mimik wajah sinis:

“Gerakan repot nasi, seperti mimpi di siang bolong”, ujar kaum sinisme itu.

Kaum pesimis (sebut saja sinisme) yang sudah pasti oportunis itu juga menggambarkan kehidupan pribadi para aktivis yang rata-rata kere itu, sebagai repot nasi, atau hidup susah dan susah makan—tapi punya impian yang seakan-akan tidak akan tercapai, dianggap utopis.

Dalam perjalanannya, sinisme itu harus dibaca sebagai gerakan aktif mendistorsi gerakan demokrasi lewat demonstrasi sepanjang bulan Agustus lalu—sinisme aktif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan demokasi itu sendiri. Dia bagaikan benalu.

Sehingga bukan hal yang mengejutkan, kaum sinisme ini juga aktif mengisi ruang-ruang publik lewat Media Sosial (Medsos). Cuma cara penyebaran, aktor dan kontennya yang makin beragam dari tahun ke tahun, juga merata ke semua golongan umur.

Apa yang terjadi dalam demonstrasi mahasiswa dan rakyat sepanjang bulan Agustus 2025, cibiran dari sinisme juga terjadi. Juga upaya mendistorsi demonstrasi yang makin masif itu—sebagai gerakan anarkis dan hanya penjarahan. Substansi tuntutan rakyat ditutupi seruan-seruan moral: “Perbaiki mulai diri sendiri”—dan berbagai seruan moral lainnya.

Upaya mendistorsi gerakan Mahasiswa, tidak terjadi secara alami—semua dilakukan by design, masif dan sistematis, baik di darat (Baca: offline), maupun di udara (Online) dengan menggunakan Medsos.

Melalui Medsos ini makin hari makin masif, seperti pesan berantai melalui Aplikasi Whatsapp yang berisi: akan terjadi pemadaman listrik dan air, razia tengah malam dan seruan agar jangan keluar malam, rute-rute jalan yang harus dihindari karena akan ada unjuk rasa anarkis.

Menariknya, pesan berantai tentang pemadaman air dan listrik di berbagai kota besar, mencatut nama organisasi telik sandi negara ini: Badan Intelejen Negara atau BIN. Tentu saja pesan berantai yang mencatat nama ini, menjadi pesan yang tidak benar atau hoax.

Bahkan, intelektual liberal seperti Ulil Absar Abdalah pun turut mendistorsi demonstrasi yang memperjuangkan demokrasi ini melalui tulisannya di Kompas (27/8) dengan judul: Ketahanan Politik Kita. Tepat di bawah judul tulisannya, Ullil menuliskan: jangan-jangan, obat untuk mengatasi kelemahan praktik demokrasi di negeri ini justru dengan cara “Mengurangi dosisnya”.

Tidak tergambarkan dalam tulisan itu, mengurangi demokrasi yang dimaksud dari dosis berapa ke dosis berapa.

Medsos tentu saja bagaikan pisau dengan dua mata sisi: menguntungkan gerakan demokrasi sekaligus menguntungkan pihak-pihak yang yang tidak mendukung.

Ada tren baru di dunia Medsos—yang sebenarnya bisa dikategorikan sebagai orang-orang yang apolitis, walau sebenarnya tidak paham apa yang dibuat dalam konten-kontennya. Motivasinya tentu saja bukan atas dasar kesadaran politik, melainkan ikut ramai saja. Mungkin salah satu dipicu oleh monetisasi akun Medsos yang viral.

Minim literasi sudah tentu, apolitis juga sudah pasti, akun-akun pemburu monetisasi ini tidak perlu membuat konten-konten serius yang membuat dahi berkerut dengan membaca atau menelusuri informasi akurat.

Trend baru ini adalah FOMO, singkatan dari: Fear Of Missing Out. FOMO adalah kecemasan akan perasaan yang tertinggal dari tren, informasi, atau pengalaman menarik yang sedang terjadi di lingkungan sekitar. Biasanya kondisi ini diperparah oleh Medsos.

Tidak mengenal kategori usia, orang-orang Fomo ini berlomba-lomba membuat konten moralis palsu, seperti yang disebutkan di atas: seruan aksi damai, jangan rusuh, perbaiki diri sendiri dan lain sebagainya.

Para pengidap FOMO ini tidak akan pernah melihat duduk persoalan secara struktural, bukan hanya gagap tapi gagal berpikir secara struktural itu. Sehingga, seruan-seruan moralnya terkesan: hanya seruan moralis palsu.

Tren lainnya, seperti tak ingin ketinggalan momen, pasca terjadinya pembakaran gedung DPRD diberbagai daerah, Pemerintah Daerah (Pemda) pun membuat poster, spanduk, flyer yang isi yang juga menyerukan aksi damai.

Sementara warganet makin aktif membuka Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)—yang isinya kegiatan menghambur-hamburkan dana di tengah Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan penghematan. Tentu itu ibarat pepatah lama: menepuk air di dulang, terpercik di muka sendiri.

Tapi melihat perkembangan dukungan masyarakat luas, sudah bisa dipastikan bahwa rakyat yang telah jenuh dengan kehidupan ekonomi-politik-penegakan hukum yang makin jatuh ke titik nadir—membuat mereka mendukung gerakan demonstrasi yang ada saat ini.

Sementara para oportunis yang sinisme ini, tinggal menunggu waktu gerakan demonstrasi demokratik ini membuahkan hasil—dan seperti biasa, mereka adalah pemakan tulang para pejuang demokrasi. Ketika gerakan demokrasi berbuah, mereka akan berada paling depan membicarakan tentang demokrasi, hak-hak dasar masyarakat sipil—seakan-akan mereka turut berjuang di Gerakan Reformasi 1998 dan Demonstrasi Agustus 2025 ini.

Pos terkait