Oleh: Arief Azizy
Musim haji selalu membawa suasana sakral. Dari rumah-rumah kampung hingga perkantoran elit, orang saling mengucap “semoga mabrur” kepada mereka yang hendak berangkat. Spanduk bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Haji” membentang di gang-gang sempit, bahkan di depan pos ronda yang catnya mulai pudar.
Di Indonesia, haji adalah ritual akbar, tapi juga tak jarang menjadi panggung sosial. Pertanyaannya: benarkah kita berangkat untuk Tuhan, atau demi gelar dan gengsi?
Tiap tahun, ratusan ribu orang Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Data dari Kementerian Agama RI, seperti dikutip Kompas (21 Mei 2025), menyebut total jemaah haji Indonesia tahun ini mencapai 241.000 orang, terbanyak di dunia. Angka ini mencerminkan kuatnya semangat religius masyarakat. Namun, di balik angka fantastis itu, ada ironi yang tak kalah besar: mengapa jumlah orang berhaji bertambah, tapi wajah sosial kita tak kunjung membaik?
Lalu lintas korupsi tetap padat, empati makin macet, dan toleransi sering rem mendadak. Di media sosial, para haji baru ramai mengunggah momen tawaf dan doa di Multazam, tapi di dunia nyata tak sedikit yang masih abai terhadap tetangga yang kesusahan. Apakah haji hanya menjadi dokumentasi spiritual di Instagram, bukan transformasi dalam relasi sosial?
Ali Shariati dalam Haji menulis, “Haji adalah revolusi rohani—peleburan ego dalam semesta ke-Tuhanan.” Tapi revolusi macam apa jika sekembalinya ke tanah air, kita justru makin gemar menghakimi, makin keras kepala, makin sukar senyum? Di Indonesia, gelar “Haji” kadang lebih penting daripada kualitas sebagai manusia. Di papan nama, undangan, dan baliho pencalonan, gelar itu menonjol, bahkan lebih dari kredibilitas moral.
Ini yang oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh, vokalis grup musik Letto sekaligus pemikir muda, disebut sebagai simbolisme spiritual yang kehilangan substansi. Kita sibuk memamerkan hasil, tapi melupakan proses. Sibuk menunjukkan bahwa kita sudah “beribadah”, padahal ibadah sejati justru tak bisa diperlihatkan kecuali melalui perubahan sikap dan kepekaan sosial.
Simbol Agama Menjamur, Perilaku Memburuk
Celakanya, simbol agama semakin menjamur di ruang publik, tapi perilaku sosial kita justru memburuk. Banyak yang kembali dari haji, tapi tetap curang dalam dagang, keras dalam berdiskusi, dan mudah marah atas hal-hal remeh. Ritual telah dijalani, tapi spiritualitas tertinggal. Kita seperti lupa, bahwa haji sejati bukan soal menyentuh Hajar Aswad, melainkan menyentuh hati sesama.
Kepulangan dari Mekkah seharusnya seperti kepulangan manusia dari rahim pengalaman suci—lebih lembut, lebih sadar, dan lebih jujur. Tapi kenyataannya, sebagian justru pulang dengan euforia status. Ada yang memaksakan nama “Haji” di depan usahanya, dari “Toko Haji Sukses” hingga “Warung Haji Sehat.” Seolah Tuhan sudah selesai ditemui, dan kini saatnya dipamerkan di banner.
Kita hidup dalam zaman ketika agama menjadi komoditas dan panggung popularitas. Media sosial menegaskan ironi ini. Selfie saat wukuf, video menangis di Raudhah, hingga testimoni bahwa “di sana terasa beda” menyebar begitu masif. Tapi setelah semua konten dikonsumsi, apakah masyarakat juga ikut mencicipi nilai-nilai spiritualnya?
Pemerintah pun mestinya tidak sekadar mengurus paspor, koper, dan kloter. Pendidikan pasca-haji mesti jadi perhatian serius. Tak cukup dengan ceramah formal, dibutuhkan ruang diskusi, bimbingan sosial, dan ekosistem yang membuat jamaah menyadari tanggung jawabnya bukan hanya pada Tuhan, tapi juga pada masyarakat. Jika haji hanya jadi urusan privat, maka ia kehilangan taring sosialnya.
Kita butuh lebih banyak haji yang tak cuma mabrur secara individu, tapi juga bermakna bagi orang lain. Bukan haji yang merasa lebih suci dan sok paling benar, tapi haji yang membuka diri, menjadi jembatan, bukan dinding. Haji yang memahami bahwa Tuhan tak butuh label, tapi amal nyata.
Haji seharusnya menjadikan kita manusia yang kembali dengan “mata baru”—melihat kesenjangan sosial sebagai panggilan, bukan godaan. Melihat kemiskinan bukan sebagai beban negara semata, tapi sebagai tanggung jawab moral. Karena pada akhirnya, ritual keagamaan tidak akan pernah cukup menyelamatkan kita, jika tidak menyentuh lapis terdalam dari kemanusiaan kita.
Bukan Garis Akhir
Jika ibadah haji benar-benar kita hayati sebagai latihan menjadi manusia, maka pulangnya kita akan menghadirkan harapan: bahwa negeri ini tak hanya penuh dengan orang yang rajin beribadah, tapi juga penuh dengan mereka yang bersedia menyalakan kembali api kemanusiaan yang nyaris padam.
Haji bukanlah garis akhir, tapi titik balik. Maka, mari kita sambut para jemaah yang pulang bukan hanya sebagai “Pak Haji” dan “Bu Haji”, tapi sebagai manusia baru yang akan menjadi energi moral bagi bangsa yang tengah lelah dan terluka. Sebab seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, “Kau boleh pandai setinggi langit, tapi selama kau tak memperjuangkan kemanusiaan, kau hanya makhluk yang tak berguna.”
Namun sayangnya, tidak semua orang pulang dari haji dengan tekad untuk menjadi pribadi baru. Sebagian justru kembali dengan mentalitas lama, atau bahkan lebih buruk: merasa lebih tinggi dari sesama karena telah “naik kelas spiritual”. Inilah penyakit laten dari keberagamaan yang terjebak pada formalitas dan ritual. Kita begitu sibuk membangun pencitraan religius, tapi abai membangun integritas sosial.
Di desa-desa, masih banyak dijumpai fenomena bahwa orang yang belum berhaji seakan berada di kasta kedua. Ucapan mereka kurang didengar, pendapatnya diremehkan, dan kiprahnya tak dihitung, hanya karena belum sempat menunaikan rukun Islam kelima. Padahal, kita tahu betul, kemuliaan bukan terletak pada seberapa jauh seseorang menempuh perjalanan spiritual, tetapi sejauh apa ia mampu menjadikan hidupnya berarti bagi sesama.
Membangun Spiritualitas yang Membumi
Pasca-haji, yang seharusnya dibangun adalah spiritualitas yang membumi. Seperti konsep “Islam Transformatif” yang diusung Prof. Kuntowijoyo, agama seharusnya tidak hanya hadir sebagai sistem simbol dan tata ibadah, melainkan sebagai kekuatan transformatif yang menyentuh aspek sosial, budaya, dan politik secara etis. Dengan kata lain, pulang dari haji semestinya pulang dengan misi: menjadi motor perubahan sosial dari lingkup terkecil—rumah tangga, tetangga, hingga masyarakat luas.
Kita butuh lebih banyak “manusia pasca-haji” yang bukan hanya rajin berdoa, tapi juga hadir ketika warga sedang dilanda bencana, menjadi penengah di tengah konflik, menjadi juru damai di ruang keluarga, serta berani bersuara ketika melihat ketimpangan dan ketidakadilan. Sebab, sebagaimana pesan spiritual Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
Maka, kembali dari haji berarti kembali menjadi manusia—bukan hanya manusia ritual, tetapi manusia sosial yang utuh.***
Penulis adalah Peneliti ASAis (Associate Social Affair Islamic Studies) GusDURian Corner Kediri