Keunikan Lembaga Negara

Oleh: Nasrullah Muhammadong

Ada beberapa yang unik dari kedudukan maupun penamaan lembaga negara pasca di-amandemen-nya UUD 1945. Keunikan itu, khususnya terjadi pada lembaga negara independen. Dikatakan unik, karena tidak lazim dalam penempatan kedudukan serta penulisan nama lembaga itu sendiri. Namun bukan berarti ketidaklaziman itu menciptakan kekacauan sistem hukum. Di balik itu semua, tentu ada maksud dari penyusun konstitusi itu sendiri.

APAKAH DIRENDAHKAN?

Siapa yang tidak mengenal lembaga Kejaksaan? Inilah salah satu lembaga penegak hukum yang paling ditakuti, khususnya dikalangan para koruptor. Kata orang, tidak usah menjadi tersangka. Baru dipanggil menjadi saksi saja, yang bersangkutan tidak bisa tidur.

Namun siapa sangka kalau lembaga ini, justru tak dicantumkan namanya dalam UUD 1945. Justru yang tertulis dalam konstitusi hanyalah lembaga penegak hukum seperti “Kepolisian”. Ini juga berlaku bagi KPK. Lembaga yang memiliki kewenangan ekstra atau superbody ini, juga tidak dicantumkan namanya dalam UUD 1945.

Tentu timbul pertanyaan. Jika KPK dan Kejaksaan tidak dicantumkan namanya dalam konstitusi, apakah kedua lembaga negara ini dipandang lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan kepolisian? Untuk menjawab pertanyaan tadi, teori dari A. V. Dicey dan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dapat dijadikan pisau analisa. Menurut Dicey, hukum konstitusi itu tidak semata-mata bersumber pada hukum konstitusi yang tertulis saja, tetapi juga berdasarkan pada berdasarkan konstitusi yang tidak tertulis. Adapun Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan, hukum konstitusi dalam arti yang tertulis pun, tidak hanya menyangkut teks undang-undang dasar, tetapi juga undang-undang tertulis dapat menjadi sumber hukum tata negara (2005).

Dari pandangan di atas, dapat dijawab, bahwa Kejaksaan dan KPK meskipun tidak disebutkan dalam UUD 1945, namun keberadaannya tetap dipandang penting oleh konstitusi (constitutional importance). Dengan kata lain, meskipun kedua lembaga negara tersebut hanya diatur melalui UU, namun kedudukannya tetap dipandang sejajar dengan Polri. Seperti kata Jimly Asshiddiqie tadi. Hukum konstitusi tidak sebatas UUD, namun juga berupa UU. Tentu di dalam UU tersebut mencantumkan hal-hal yang bersifat prinsip-fundamental hukum ketatanegaraan.

MENGAPA TIDAK DIATUR?

Pertanyaan selanjutnya muncul. Mengapa lembaga seperti Kejaksaan dan KPK tidak diatur dalam konstitusi? Keresahan atas pertanyaan diatas, pernah diungkapkan oleh Prof. Dr. Saldi Isra. Ia mengatakan, kejelasan posisi kejaksaan dalam konstitusi dipandang perlu. Mengingat hasil studi terhadap ratusan konstitusi negara lain, di mana kejaksaaan adalah lembaga yang diatur tegas oleh mayoritas konstitusi-konstitusi negara tersebut, tidak terkecuali konstitusi negara Asia Tenggara. Sehingga, lanjut Saldi, gagasan tersebut hanya dapat diwujudkan dengan cara mendorong perubahan kelima UUD 1945. Sehingga, ke depan kejaksaan dapat dijadikan lembaga yang disebut secara eksplisit dalam UUD 1945.

Namun Jimly Asshiddiqie memiliki pendapat lain. Ia menunjuk Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Kata beliau, disinilah pentingnya ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang membuka ruang bagi diakuinya “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Selanjutnya Jimly menyatakan: “Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk berdasarkan undang-undang tersebut, seperti Kejaksaan, KPK, dan Komnas HAM, dapat disebut memiliki “constitutional importance” sebagai lembaga-lembaga konstitusional di luar UUD 1945 (2007).

Jadi, Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tetap memiliki peran penting. Yaitu memberi ruang untuk diakuinya secara konstitusional lembaga-lembaga lain, yang fungsinya (tentu) berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Dan, tidaklah mungkin semua lembaga harus dicantumkan dalam konstitusi. Bila itu terjadi, sudah pasti UUD 1945 disetiap periode pemerintahan, akan mengalami tambal sulam.

Namun bagi lembaga yang sifatnya permanen seperti “Kejaksaan”, ke depan, memang diharapkan dapat masuk ke dalam konstitusi (seperti saran Saldi Isra). Ini tentu berbeda dengan KPK.

Lembaga KPK memang tidak penting untuk dimasukkan dalam UUD 1945. Karena sejak awal pembentukannya, KPK didesain sebagai lembaga ad hoc, atau bersifat sementara. Jika Indonesia sudah reda dari situasi korupsi, barulah lembaga ini dapat dibubarkan. Dan kewenangannya, dapat diserahkan kepada lembaga Kejaksaan dan Polri. Intinya, jumlah lembaga independen, khususnya yang tidak permanen, ke depan, dapat dikurangi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

HURUF KECIL: APA MAKSUDNYA?

Coba sekali-kali buka kitab UUD 1945. Di situ terlihat, kalau lembaga negara yang berposisi sebagai eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ditulis dengan huruf besar atau kapital pada setiap awal katanya. Seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, dan seterusnya. Tidak demikian halnya dengan dua lembaga ini. Semuanya ditulis dengan huruf kecil, yakni: “komisi pemilihan umum” dan “bank sentral”. Dalam sosialisasi hasil amandemen UUD 1945 di Hotel Silae Beach (yang pernah penulis ikuti), dijelaskan begini. Bahwa di dalam konstitusi ada lembaga negara yang secara langsung disebutkan namanya. Ciri khasnya dapat dilihat pada bentuk penulisan dengan menggunakan huruf besar pada setiap awal katanya. Contohnya, seperti tadi: Presiden, Mahkamah Konstitusi, dan seterusnya. Sebaliknya, untuk penulisan “komisi pemilihan umum” dan “bank sentral” (yang seluruhnya menggunakan huruf kecil), itu tidak dimaksudkan menunjuk pada nama lembaganya. Namun hanya menunjuk pada sifat atau fungsinya. Dengan kata lain, institusinya tidak disebut. Yang disebut hanyalah sifat atau fungsinya.

Jika demikian, bagaimana memahami namanya? Ternyata oleh para penyusun UUD 1945, hal itu diserahkan kepada pembuat UU untuk memberikan namanya.

Mari kita buktikan. Dalam UU tentang Pemilu, tertulis, “Komisi Pemilihan Umum’. Oleh penyusun UU tersebut, tetap mengikuti redaksi sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945 (yaitu “komisi pemilihan umum”). Namun, dalam UU Pemilu, pada setiap awal katanya, sudah ditulis dengan huruf K besar, P besar, dan U besar (yaitu, Komisi Pemilihan Umum). Ini apa artinya? Oleh Pembuat UU, ternyata telah memberikan nama dari salah satu lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia, yaitu: “Komisi Pemilihan Umum”. Dan penamaan ini, sekali lagi, mengikuti redaksi dari UUD 1945 (cuma redaksi dalam konstitusi itu, semuanya menggunakan huruf kecil).Soal “bank sentral”, sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945 (dan semuanya juga menggunakan huruf kecil), ini lain lagi ceritanya. Ternyata oleh penyusun UU, tidak mau mengikuti redaksi penulisan sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 tersebut. Pembuat UU lebih suka menggunakan nama lain, yaitu “Bank Indonesia”. Maka sekarang kita mengenal adanya UU tentang Bank Indonesia, bukan UU Bank Sentral (padahal di dalam konstitusi tertulis “bank sentral”, yang juga semuanya menggunakan huruf kecil).

Itulah selayang pandang atas beberapa keunikan dalam kajian hukum tatanegara. Keunikan tersebut mungkin masih banyak lagi. Dan dilain waktu kita akan mengupasnya.*

** Penulis adalah Pengajar Hukum Kelembagaan Negara pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.

Pos terkait