Oleh: Nasrullah Muhammadong
Mahasiswa tentu bukan bagian dari masyarakat politik apalagi ekonomi. Mereka masuk dalam lingkaran masyarakat sipil. Namun mengkategorikan mereka dalam kelompok yang disebut terakhir tadi, juga perlu kehati-hatian. Soalnya, mahasiswa adalah kelompok masyarakat sipil yang memiliki keunikan tersendiri.
Keunikan mahasiswa tak lain adalah berpikiran kritis dan idealis. Dalam bersikap pun cenderung independen. Ini dikarenakan mereka belum diwarnai oleh kepentingan golongan, ormas, parpol, dan sebagainya. Berbagai istilah keren pun banyak diberikan. Seperti, guardian value (penjaga nilai), iron stock (cadangan besi), agen of change (pembawa perubahan), dan seterusnya.
Bahkan, dengan sedikit guyon, mahasiswa dituntut bersikap “RAKUS”. R= rasional dalam berargumentasi; A= analisis dalam membedah persoalan; K= kritis dalam melihat penyimpangan di masyarakat; U= ulet dalam menimba ilmu; dan S= sistematis dalam menyusun gagasan.
Model Mahasiswa
Apa yang diungkapkan di atas, tentu dalam tataran ideal. Namun faktanya dilapangan, tentu tidak sepenuhnya demikian. Mahasiswa yang apatis, pragmatis dan hedonis, tetap saja ada.
Beberapa istilah pun bermunculan, seperti, KPK, singkatan dari “Kuliah Pulang Keluyuran”. Ada “kupu-kupu”, yaitu “kuliah pulang-kuliah pulang”. Ada juga yang dicap “kunang-kunang, artinya “kuliah nangkring-kuliah nangkring”.
Adapun yang sering rapat, diberi nama “kura-kura” yaitu “kuliah rapat-kuliah rapat”. Juga yang sering kehabisan stok, biasa dipanggil si “capung” artinya “cari pinjaman utang”, dan seterusnya. Tapi ini sekadar istilah (humoris) saja. Tapi, untuk lebih sedikit akademik, kita dapat membagi mahasiswa itu ke dalam tiga model, yaitu:
Pertama, golongan study oriented. Kelompok ini lebih fokus pada perkuliahan, ketimbang berorganisasi. Apalagi peka terhadap persolan sosial, mereka tenang-tenang saja.
Kedua, kaum hedonis. Ini umumnya adalah anak-anak bangsawan yang masuk kampus. Di kampus, pamer status sosial. Dan di luar, mereka lebih banyak berhura-hura.
Dan ketiga, kelompok aktivis tulen. Mereka ini lebih mementingkan berorganisasi. Selalu kritis, bahkan langsung bereaksi bila terjadi penyimpangan sosial di lingkungannya.
Tentu kelompok yang kedua dan ketiga di atas tadi, pada umumnya lebih lama kuliah, ketimbang yang pertama. Dari ketiga kelompok mahasiswa tadi, di manakah Anda memosisikan diri (jika sebagai mahasiswa)? Tidak perlu kita mendiskusikan jawabannya. Namun melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengetengahkan (sedikit) gambaran kehidupan dari salah seorang founding father yang bernama Bung Karno.
Spirit dari Bung Karno
Seperti diketahui, Bung Karno ketika melanjutkan kuliahnya, ia masuk ke Technische Hoogeschool (THS) jurusan teknik sipil. THS adalah lembaga perguruan tinggi yang kelak berubah menjadi Institut Teknologi Bandung atau ITB. Ia lulus pada 25 Mei 1926 dengan gelar Insinyur. Mari kita cermati kehidupan Bung Karno ketika menyandang status sebagai mahasiswa tersebut.
Pertama, sebagai mahasiswa, Bung Karno serius dalam menempuh studi formalnya. Kuliahnya di ITB dijalani dengan tekun hingga selesai pada waktunya dan menggondol gelar insinyur sesuai bidangnya. Keahlian dan intuisinya sebagai seorang arsitek terus menjiwainya.
Kedua, selain studi formal, Bung Karno juga giat membaca buku-buku di luar bidang kuliahnya. Ia membaca literatur sejarah , filsafat, politik, dan lain-lain, yang merupakan hasil karya pemikir besar, seperti Jefferson, Russeau, Marx, Engels, dan voltaire. Termasuk ia pelajari kitab suci berbagai agama.
Ketiga, Bung Karno suka bertemu langsung dengan masyarakat, khususnya masyarakat bawah. Dalam kaitan ini, misalnya, ia menjumpai petani, seperti petani Marhaein yang kelak mendasari teorinya tentang Marhaenisme. Ia sadar, apa yang ia pelajari dalam studinya kelak bukan dimaksudkan untuk menumpuk harta bagi diri sendiri, tatapi turut untuk memperbaiki perikehidupan masyarakatnya.
Dan keempat, ia berorganisasi. Di tengah kesibukan intelektual maupun pergaulannya dengan masyarakat bawah, Bung Karno berlatih, berorganisasi. Di bandung ia membentuk kelompok studi untuk bertukar pikiran sekaligus menggalang semangat nasionalisme di antara kaum muda. Kelak pada usia 26 tahun ia akan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai wadah perjuangan politik bersama.
Iron Stock dan Agent of Change
Nah, sekarang, kita ulas dulu sebuah istilah keren, yaitu, “iron stock”. Para pemuda, khususnya mahasiswa, sering dilekatkan dengan istilah iron stock, atau cadangan besi. Mengapa demikian?
Hal ini dapat dilihat dari keberadaan besi itu sendiri. Yang namanya besi, suatu saat akan berkarat, rapuh dan hancur. Ini merupakan perumpaan buat manusia yang tadinya muda akhirnya menjadi tua. Dan terakhir meninggal dunia.
Mahasiswa adalah besi yang masih kuat. Laksana Gatot Kaca yang berotot kawat, dan dimandikan di kawah candradimuka (yang bernama perguruan tinggi), mereka kelak diharapkan dapat menjadi pemimpin. Mahasiswa adalah aset, cadangan, dan harapan buat perjalanan bangsa ke depan.
Dan untuk menjadi iron stock, seorang mahasiswa, tentu tidak hanya membekali diri dengan ilmu pengetahuan semata, atau menjadikan otaknya sebagai gudang perpustakaan. Namun, wajib pula menempa sifat kepemimpinan, mengembangkan kecerdasan emosional, termasuk kreatif dan berkarya.
Dari manusia yang bermental besi nan kokoh itulah, ke depan, diharapkan lagi lahirnya para pemuda yang berintelektual dan kritis untuk melakukan perubahan (agent of change).
Dan pemuda yang memiliki predikat agent of change tersebut, ini juga merupakan harapan dari Bung Karno, sebagaimana dikatakannya: “Berikan kepadaku seribu orang tua, akan aku cabut Semeru dari uratnya. Dan berikan aku satu orang pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. ***
Penulis adalah Pengajar Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi di Lingkungan Universitas Tadulako, Palu