Oleh: Samin, S.Pd.I.,M.Pd.I
Allah bersumpah Demi waktu, sesungguhnya, manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran (Al-Ashr: 1-3)
Hidup kita di dunia ini berawal dan berakhir. Hidup kita berawal ketika Allah memasukkan ruh yang telah diciptakannya untuk kita ditiupkannya masuk ke dalam tubuh, setelah tubuh kita lengkap dan sempurna. Hidup kita akan berakhir pada saatnya nanti, ketika ruh dicabut kembali oleh Allah dari jasad kita.
Meskipun manusia mengalami hal yang sama tentang awal dan akhirnya hidup itu, tetapi setiap manusia berbeda tempo atau waktu untuk hidup. Ada yang pendek, ada yang panjang, dan ada pula yang sangat panjang.
Kehidupan yang diberikan Allah pada setiap manusia, bukan hal yang sia-sia, bukan pula sebuah permainan. Tetapi kehidupan itu adalah kehidupan yang sungguh-sungguh, yang serius, yang memiliki dampak dan pengaruh dalam kehidupan kekinian, dan kehidupan di alam akhirat. Kehidupan yang diberikan kepada manusia selama di dunia ini merupakan proses ujian bagi manusia. Bertambah sedikit umur seseorang, bertambah sedikit pula ujian yang dihadapinya. Bertambah panjang kehidupan manusia di dunia ini bertambah banyak pula ujian yang diberikan kepadanya. Orang yang paling panjang kehidupannya di dunia, adalah yang paling lama juga mendapat ujian.
Bagian penting dalam hidup dan kehidupan kita dalam berproses adalah waktu. Waktu itu sendiri menurut KBBI adalah seluruh rangkaian saat ketika berproses. Demikian pentingnya waktu sampai-sampai agama kita mengatur sedemikian rupa.
Tidak terasa, waktu berlanjut begitu cepat dalam satu bulan. Jika dalam 1 hari ada 24 jam, maka 30 hari berarti sama dengan 576 jam atau 34.560 menit akan kita lewati. Subhanallah. Selama masa waktu itu, hal positif apa yang sudah kita lakukan dan hal negatif apa saja yang sudah kita perbuat? Mari kita tanya pada diri kita masing-masing, dalam tempo 30 hari tersebut, manakah yang paling sering kita lakukan, kebaikankah? Atau justru keburukan?
Allah bersumpah Demi waktu, sesungguhnya, manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran (Al-Ashr: 1-3).
Sekali lagi kita tanya diri kita dan biarkan hati kita yang menjawabnya: benarkah dalam 30 hari yang lalu kita selalu ada dalam keimanan? Konsistenkah kita dalam melakukan keimanan yang sering kita sebut-sebut di mulut kita dan kita pamer-pamerkan pada orang lain itu selama 30 hari yang lalu? Biarkan hati kecil kita yang menjawabnya, berapa kali kita meninggalkan shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib ataupun Isya? Berapa kali dalam waktu 30 hari yang sudah kita lewati itu, kita melakukan shalat dengan rasa malas dan terpaksa? Berapa kali pula dalam waktu 30 hari itu, kita salah dalam membaca tajwid dalam shalat-shalat kita karena terburu-buru? Berapa kali dalam waktu 30 hari itu, kita membaca bacaan sholat dengan tartil, tenang dan dihayati?
Itu baru sedikit saja dari sekian banyak pertanyaan yang bisa digali pada kata iman dalam surah al-Ashr dalam rangka introspeksi diri untuk 30 hari. Belum lagi mengenai amal shalih, amal shalih apa yang sudah di perbuat selama 30 hari itu? Benarkah amal shalih atau cuma minta dianggap shaleh atau justru amal sayyi’ah alias amal buruk saja yang di perbuat sepanjang 30 hari tersebut?
Dan seterusnya dan sebagainya. Bagaimana dengan waktu yang sudah di habiskan 1 tahun sebelumnya? Apa saja yang di perbuat satu tahun yang lalu? Dalam 1 tahun ada 12 bulan, 52 minggu, 365 hari, 8.760 jam, 525.600 menit dan 31.536.000 detik. Ada berapa jamkah total kita berbuat baik selama kurun waktu tersebut?
Rata-rata umur manusia saat ini meninggal dunia antara 60 s/d 70 tahun, Jikapun ada yang lebih dari itu masih hidup maka merupakan suatu bonus umur dari Allah. Sekarang di samakan saja rata-rata manusia meninggal plus minus di usia 65 tahun. Di mulai baligh, yaitu awal dari seorang anak manusia mulai di perhitungkan amal baik atau buruknya selama hidup umumnya bagi laki-laki adalah 15 tahun dan wanita 12 tahun. Sekarang, mari kita mencari waktu yang ada atau tersisa bagi kita untuk beribadah pada Allah. Kita gunakan saja rumus sederhana : Umur rata-rata kematian – Awal Baligh.
Jika rata-rata umur seseorang meninggal pada usia 65 tahun dikurang 15 tahun saat awal ia baligh maka waktu yang tersisa adalah 50 tahun. Apa dan bagaimana perilaku kita selama 50 tahun masa hidup itu? Jika kita kalikan lagi angka 50 tahun dengan 365 hari/tahunnya maka diperoleh angka 18.250 hari. Nah angka 18.250 hari ini dikurang dengan waktu tidur kita selama 8 jam anggap saja. Maka 18.250 hari dikali dengan 8 jam = 146.000 jam atau sekitar 16 tahun lebih 7 bulan atau kita bulatkan menjadi 17 tahun.
Jadi dalam rentang waktu kita mulai baligh di usia 15 tahun sampai usia kita meninggal di 65 tahun, ada waktu 17 tahun yang hanya digunakan untuk tidur saja. Angka ini belum ditambah dengan jumlah jam yang sering kita pakai pula untuk tidur siang misalnya. Subhanallah. Dalam 50 tahun waktu hidup kita pasca baligh yang habis dipakai aktivitas adalah 18.250 hari x 12 jam (yaitu waktu di mana siang hari biasanya kita kerja, sekolah, kuliah, berdagang, memasak dan sebagainya) maka diperoleh angka 219.000 Jam atau = 25 tahun. Belum lagi dikurangi dengan waktu kita yang biasanya digunakan untuk bersantai, istirahat sambil menonton televisi, bercanda sesama teman dan sejenisnya plus minus 4 jam. Maka total dalam 50 tahun waktu yang dipakai untuk rileksasi tadi adalah 18.250 hari x 4 jam= 73.000 Jam atau selama 8 tahun. Alhasil, jamaah Jumat sekalian, selama 50 tahun masa hidup kita pasca baligh, ada angka 17 tahun lamanya kita tidur + 25 tahun untuk beraktivitas di siang hari + 8 tahun untuk sekedar rileksasi dan mencari hiburan diperolehlah angka 50 tahun. Jadi umur kita 50 tahun setelah dipotong masa baligh impas saja. Lalu jika usia 50 tahun ini tidak diisi dengan banyak hal yang positif, hal-hal yang bersifat ibadah pada Allah, maka manusia benar-benar berada dalam kerugian seperti firman Allah di dalam surat Al-Ashr. Subhanallah, firman Allah bisa dibuktikan secara matematika. Sangat ilmiah sekali. Tidak salah sebenarnya ketika kita berargumen bahwa kita saat ini sedang sekolah dan mencari ilmu, bukankah itu juga ibadah? Tidak salah pula ketika ada yang berkata kita bekerja untuk menafkahi anak istri dan ini pun ibadah. Dan argumen-argumen lain sejenis itu.
Tapi sekarang, apakah benar niat kita ketika sekolah, bekerja, memasak, melahirkan, mengajar dan melakukan berbagai profesi lainnya itu sudah diniatkan untuk ibadah ? Bukankah kita sendiri sering berkata: saya sekolah agar pintar, dapat ijazah dengan angka yang bagus di sana, lalu saya bisa bekerja dan dapat posisi bagus pula di perusahaan tertentu, Nikah punya anak cucu. Bukankah niat seperti ini yang justru sering terlintas dalam pikiran kita? Mana niat ibadahnya? Makanya, tidak usah heran bila sekarang ini banyak terjadi korupsi di mana-mana, penggunaan narkoba oleh siapa saja serta hal-hal buruk lainnya. Niat kita sudah bukan pada titik ibadah lagi. Kita sekolah untuk dapat ijazah, kita bekerja untuk mencari harta, kita mempunyai jabatan untuk dipandang orang lain, kita memakai kendaraan agar dihormati oleh orang lain dan bahkan kita shalat, zakat serta berhaji pun agar dianggap orang hebat dan alim. Na’udzubillahi mindzalik.
Mari kita jujur pada diri kita sendiri, seberapa seringkah kita membaca bismillah saat hendak berangkat kerja ke kantor, berjalan menuju sekolah atau pasar? Jawabnya secara umum pasti kita pernah membaca basmalah di waktu-waktu tersebut, tapi sesekali, tidak setiap kali. Itulah fenomena diri kita sendiri yang selalu dipengaruhi oleh unsur fujuraha, yaitu sifat jahat yang sering mendominasi hidup kita sehari-hari. Sewaktu mendengar ceramah atau khutbah, air mata kita berlinang, tetapi ketika kaki kita melangkah keluar dari tempat ceramah itu, kita silau dengan gemerlap dunia. Maka jangan heran bila banjir besar melanda Jakarta, jangan heran bila peperangan di Timur Tengah seakan tidak pernah berhenti. Jangan heran banyak doa-doa kita yang tidak terkabulkan. Jangan heran bila semakin banyak para penyesat bermunculan. Ternyata kita sendiri ikut menjadi penyebabnya. Kita sering lalai dalam menggunakan waktu yang ada. Seringkali kita merasa cukup dengan hanya mengerjakan shalat 5 waktu, kita beranggapan dengan mengerjakan shalat-shalat tersebut maka pahala kita bertumpuk. Pernahkah kita berpikir bahwa shalat yang sudah kita kerjakan pasti diterima di sisi Allah? Pernahkah kita berpikir bagaimana bila shalat-shalat kita selama ini tidak satupun yang diterima-Nya?
Sekali lagi, sudah berapa kalikah kita shalat secara terburu-buru sehingga tidak jelas apa yang dibaca? Berapa seringkah kita shalat diakhir waktu? Berapa seringkah kita shalat dengan rasa malas, ujub ataupun terpaksa?
Marilah kita semua kembali kepada Allah, bertaubat kepada-Nya. Marilah kita sesali segala perbuatan buruk yang selama ini kita lakukan, dan kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Jangan sampai kita malah berbuat sebaliknya, yakni melakukan kesalahan demi kesalahan tanpa henti, seolah-olah tidak peka dengan peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. ***
Penulis adalah Guru Al-Qur’an Hadis pada MAN 1 Parigi