Oleh: Arief Azizy
Kesehatan mental menjadi topik yang semakin sering dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, stigma yang melekat pada masalah kesehatan mental masih sangat kuat. Bahkan di kalangan masyarakat yang sudah cukup berkembang pemahaman tentang pentingnya kesejahteraan psikologis.
Seiring dengan berkembangnya pemahaman bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, kita masih dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menghapus stigma yang membelenggu mereka yang mengalami gangguan mental?
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 1 dari 4 orang di dunia akan mengalami masalah kesehatan mental dalam hidup mereka. Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional di masyarakat mencapai 20%.
Hal ini menunjukkan betapa besar tantangan yang harus dihadapi untuk menciptakan masyarakat yang lebih peduli terhadap kesehatan mental. Meski demikian, stigma negatif terhadap orang yang mengalami gangguan mental masih menyelimuti banyak masyarakat kita, yang justru memperburuk keadaan mereka.
Di Indonesia, orang yang menderita masalah kesehatan mental sering kali dianggap lemah atau bahkan disalahkan atas kondisi mereka. Depresi, kecemasan, dan gangguan psikologis lainnya sering dianggap sebagai masalah pribadi yang memalukan, bukan kondisi medis yang membutuhkan perhatian profesional.
Mereka yang mengalami masalah ini sering kali dipandang sebelah mata, bahkan dianggap sebagai orang yang tidak cukup kuat untuk menghadapinya. Akibatnya, banyak orang yang merasa takut untuk mencari bantuan, karena khawatir akan dipandang negatif oleh masyarakat.
Stigma yang Menghancurkan
The Noonday Demon: An Atlas of Depression karya Andrew Solomon memberikan pemahaman mendalam tentang betapa menghancurkannya stigma terhadap kesehatan mental. Solomon, yang juga mengalami depresi berat, menulis dengan sangat personal dan mendalam tentang perjalanannya menghadapi penyakit ini. Ia menekankan bahwa stigma adalah musuh utama dalam perjuangan melawan gangguan mental.
Dalam bukunya ia menjelaskan “depresi bukan hanya soal merasa buruk; depresi adalah suatu pengasingan, suatu pengucilan, yang memberi kesan bahwa kita tidak berharga dan tidak pantas menerima perhatian atau kasih sayang dari orang lain.”
Kenyataan ini menunjukkan betapa beratnya beban yang harus ditanggung oleh mereka yang sudah menghadapi tantangan psikologis. Selain mengatasi masalah mental, mereka juga harus berjuang melawan penilaian negatif dari lingkungan sosial. Padahal, gangguan mental tidak memilih siapa yang akan menyerangnya. Setiap orang, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau status sosial, berpotensi mengalami masalah ini.
Salah satu alasan mengapa stigma kesehatan mental begitu kuat adalah kurangnya pemahaman tentang hal ini. Banyak orang yang tidak tahu bahwa gangguan mental bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keturunan, trauma, dan bahkan ketidakseimbangan kimiawi di otak. Mereka juga tidak memahami bahwa gangguan mental bisa disembuhkan atau dikelola dengan bantuan profesional. Sebaliknya, mereka cenderung menganggap orang yang mengalami gangguan mental sebagai orang yang lemah atau tidak cukup berusaha untuk memperbaiki diri.
Hal ini juga tercermin dalam cara kita memandang penyakit mental di dunia kerja. Banyak perusahaan atau organisasi yang masih menganggap bahwa pekerja yang mengalami masalah kesehatan mental tidak dapat diandalkan. Mereka yang mengambil cuti sakit karena gangguan mental sering kali dipandang sebelah mata, bahkan dianggap tidak tangguh.
Padahal, jika kita memperlakukan gangguan mental dengan cara yang lebih manusiawi dan tidak diskriminatif, kita bisa membantu mereka kembali bangkit dan lebih produktif.
Perlu Perubahan Cara Pandang
Melawan stigma kesehatan mental memerlukan perubahan besar dalam cara pandang kita terhadap kesehatan. Pendidikan tentang kesehatan mental harus dimulai dari tingkat dasar dan dilanjutkan hingga ke tingkat yang lebih tinggi.
Masyarakat harus diajarkan melihat masalah kesehatan mental sebagai hal yang wajar dan dapat diatasi, bukan sebagai suatu hal yang memalukan. Pemerintah dan lembaga terkait harus memberikan dukungan lebih banyak untuk memfasilitasi akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas.
Selain itu, penting bagi kita semua untuk belajar lebih banyak tentang kesehatan mental dan berbicara lebih terbuka tentangnya. Ketika kita mulai berbicara secara terbuka tentang gangguan mental, kita bisa membantu orang lain merasa tidak sendirian dan lebih terbuka untuk mencari bantuan. Ini adalah langkah pertama dalam memerangi stigma.
Kita juga harus mendukung mereka yang sedang berjuang dengan masalah mental, baik secara emosional maupun praktis. Dukungan sosial yang kuat adalah faktor penting dalam proses penyembuhan.
Salah satu langkah konkret yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah cara kita berbicara tentang kesehatan mental. Menggunakan bahasa yang lebih empatik dan menghindari kata-kata yang merendahkan atau mempermalukan orang yang mengalami gangguan mental adalah bagian dari usaha mengurangi stigma. Ketika kita merangkul orang yang mengalami masalah mental, kita juga memberi mereka kesempatan untuk sembuh dan berkembang.
Pada akhirnya, menjaga kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat. Menghapus stigma dan memberikan dukungan yang diperlukan bisa menjadi langkah besar dalam menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan lebih bahagia. Hanya dengan memahami dan merangkul orang yang menghadapi masalah kesehatan mental, kita bisa menciptakan dunia yang lebih penuh kasih sayang, empati, dan kesetaraan.
Penulis adalah peneliti ASAis (Associate Social Affair Islamic Studies) GusDURian Corner Kediri