Membangun Kembali Harapan: Solusi Komprehensif Berbasis Sistem Kebumian Untuk Sulawesi Tengah

Oleh: ASRAFIL (Mahasiswa Program Doktoral Teknologi Kebumian dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin ; Dosen Program Studi S1 Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Tadulako)

Sulawesi Tengah, dengan kekayaan mineral yang melimpah, berada di persimpangan kritis antara kemajuan ekonomi dan destruktif lingkungan yang kian parah akibat aktivitas penambangan. Di satu sisi, industri penambangan menjanjikan devisa besar dan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, di sisi lain, laju eksploitasi yang masif dan sering kali abai terhadap prinsip-prinsip lingkungan telah meninggalkan luka mendalam.

Dampak destruktifnya nyata dan terasa: Deforestasi di hulu menyebabkan erosi tanah yang parah, mengubah hutan penyangga menjadi lahan gundul yang rentan. Tanah yang tererosi kemudian diangkut oleh hujan ke sungai, menyebabkan sedimentasi dan pencemaran yang merusak ekosistem perairan tawar hingga pesisir. Nelayan kehilangan tangkapan, petani kehilangan lahan subur, dan masyarakat lokal terancam oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor yang kian intensif.

Kondisi ini menciptakan “paradoks sumberdaya”: kekayaan alam justru menimbulkan kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kita tidak bisa lagi memandang masalah ini sebagai konflik sederhana antara “ekonomi vs. lingkungan”. Kerusakan lingkungan adalah ancaman nyata terhadap keberlangsungan ekonomi dan sosial masyarakat di masa depan. Oleh karena itu, solusi yang diperlukan adalah pendekatan komprehensif berbasis sistem kebumian. Pendekatan ini berarti mengakui bahwa segala sesuatu—tanah, air, hutan, manusia, dan ekonomi—adalah satu kesatuan yang saling terhubung. Solusi yang dirumuskan harus mengintegrasikan empat pilar utama: ekologi, sosial, ekonomi, dan tata kelola secara simultan, demi keberlanjutan generasi masa depan.

1. Pengelolaan Terpadu Berbasis Ekosistem: Memulihkan Jantung Alam

Inti solusi keberlanjutan adalah pengakuan bahwa bumi adalah sistem yang saling terhubung. Kerusakan di hulu akan fatal dampaknya di hilir. Oleh karena itu, langkah pertama berfokus pada Pengelolaan Terpadu Berbasis Ekosistem yang melampaui sekadar kepatuhan formal.

Reklamasi lahan pascatambang harus ilmiah dan berkelanjutan. Perusahaan wajib melakukan restorasi lapisan tanah atas (topsoil) yang krusial bagi kehidupan mikroorganisme. Di kasus tambang nikel, teknik fitoremediasi—penggunaan tanaman hiperakumulator—perlu diterapkan untuk memperbaiki sifat kimia tanah. Selanjutnya, rehabilitasi hutan di kawasan resapan air harus memprioritaskan penanaman spesies pohon endemik Sulawesi Tengah yang cepat beradaptasi dan berfungsi sebagai penyangga hidrologi untuk mencegah erosi masif. Terakhir, restorasi sistem perairan melibatkan mitigasi sedimen yang efektif di hulu melalui filter canggih dan restorasi ekosistem mangrove serta terumbu karang di pesisir, yang menjadi benteng alami dan sumber mata pencaharian nelayan.

2. Mitigasi dan Adaptasi Bencana: Kesiapsiagaan Berbasis Data

Kerusakan lingkungan memperburuk kerentanan Sulawesi Tengah terhadap bencana, seperti risiko tanah longsor dan banjir bandang.

Diperlukan pemetaan komprehensif dan integrasi data geospasial yang mendetail. Pemetaan ini harus bersifat dinamis, menggunakan data satelit resolusi tinggi dan citra udara dari Drone/LiDAR untuk memantau perubahan pada lahan bekas tambang yang rentan longsor dan kawasan resapan air yang terdegradasi. Data ini kemudian diolah dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk audit tata ruang yang efektif. Hasilnya menjadi dasar untuk pembangunan Sistem Peringatan Dini (EWS) yang efektif. EWS harus menerapkan sensor dan monitoring otomatis (inclinometer dan AWLR) yang mengirim data real-time ke pusat komando. Peringatan kemudian disebarluaskan melalui sistem multi-saluran (sirene, SMS blast, dan aplikasi), diikuti dengan edukasi dan simulasi rutin di tingkat komunitas. Informasi ini harus mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat di wilayah terdampak, menjadikan mereka sebagai subjek, bukan sekadar objek mitigasi bencana.

3. Intervensi Sosial-Ekonomi: Kesejahteraan dan Keadilan

Kerusakan lingkungan seringkali berbanding lurus dengan kemiskinan dan hilangnya mata pencaharian tradisional masyarakat. Solusi tidak akan langgeng tanpa keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang kehilangan mata pencaharian tradisional.

Para Pemangku kepentingan baik Pemerintah  maupun perusahaan wajib memfasilitasi alternatif mata pencaharian berkelanjutan, bukan sekadar kompensasi jangka pendek. Ini bisa berupa diversifikasi pertanian organik komoditas bernilai tinggi dan pengembangan ekowisata berbasis komunitas (CBT), di mana pendapatan utama jatuh ke tangan masyarakat lokal sebagai pengelola. Intervensi harus didukung oleh pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan vokasi dan keterampilan hijau, seperti teknisi reklamasi lahan atau pemandu ekowisata bersertifikat. Penting pula menyediakan skema pendanaan dan akses modal yang berkeadilan, melalui dana bergulir dan insentif investasi hijau, untuk menciptakan kemandirian ekonomi pascatambang.

4. Penguatan Tata Kelola RTRW: Disiplin Ruang dan Penegakan Hukum

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah instrumen kunci untuk menjaga keseimbangan. Sayangnya, tumpang tindih perizinan dan lemahnya penegakan hukum seringkali membuat RTRW hanya sebatas dokumen.

Penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif adalah keharusan. Semua pelanggar, dari perusahaan raksasa hingga Penambangan Tanpa Izin (PETI), harus dikenai sanksi tegas (pidana dan perdata) dengan prioritas pemulihan lingkungan sebagai fokus utama. Hukum juga harus digunakan untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih izin yang sering memicu konflik dan perusakan kawasan lindung. Lebih lanjut, diperlukan kerja sama multisektor yang efektif dan transparan. Pemerintah harus membentuk forum yang melibatkan Akademisi (untuk audit independen), Masyarakat Sipil (untuk pengawasan sosial), dan Sektor Swasta. Forum ini bertugas mengaudit kepatuhan perusahaan dan menjamin akuntabilitas anggaran PPM/CSR agar benar-benar diarahkan untuk program keberlanjutan, bukan hanya charity.

Penutup: Ajakan untuk Komitmen Jangka Panjang

Penerapan pendekatan komprehensif ini memerlukan lebih dari sekadar kebijakan di atas kertas; ia menuntut perubahan paradigma. Kita harus bergerak dari mentalitas ekstraksi sumber daya menuju budaya keberlanjutan, di mana alam dipandang sebagai modal masa depan, bukan hanya komoditas yang bisa dikorbankan.

Keberhasilan pemulihan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di Sulawesi Tengah adalah sebuah maraton, bukan sprint. Keberhasilan pemulihan memerlukan komitmen jangka panjang dari semua pihak: pemerintah dengan regulasi yang kuat dan pengawasan yang konsisten, masyarakat dengan partisipasi aktif dan pengawasan sosial, akademisi dengan inovasi dan kajian ilmiah, serta sektor swasta dengan investasi yang bertanggung jawab-memainkan perannya masing-masing bekerja sama membangun masa depan yang berkelanjutan bagi Sulawesi Tengah.

Mari kita pastikan bahwa kekayaan mineral Sulawesi Tengah tidak berakhir menjadi kutukan lingkungan, melainkan menjadi batu loncatan menuju keberlanjutan dan kemakmuran bagi Sulawesi Tengah.

Pos terkait