Oleh: Isnada Waris Tasrim
Ketimpangan gender masih terjadi dalam posisi kepemimpinan di berbagai sektor. Data global dan nasional menunjukkan partisipasi perempuan di posisi strategis masih rendah. Padahal, kepemimpinan perempuan terbukti membawa nilai tambah dalam hal Inklusivitas, yaitu prinsip yang merangkul keberagaman dan memastikan semua individu, tanpa memandang latar belakang mereka, merasa diterima, dihargai, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi; Manajemen risiko mencakup proses sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, mengendalikan, dan memantau risiko yang dapat berdampak negatif pada pencapaian tujuan. Tujuannya adalah untuk mengurangi atau meminimalkan dampak negatif risiko dan memaksimalkan peluang yang ada, serta memberikan keyakinan yang memadai untuk mencapai sasaran organisasi; dan Pengambilan keputusan yang berbasis empati dan kolaborasi.
Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan struktural, kultural, dan personal yang menghambat kepemimpinan perempuan dan menyampaikan strategi yang terbukti ilmiah dan praktis dalam membangun kepemimpinan perempuan, dengan fokus kajian pada apa tantangan utama yang dihadapi perempuan dalam mencapai posisi kepemimpinan organisasi dan strategi apa yang efektif untuk membangun dan memperkuat kepemimpinan perempuan.
Setidaknya ada tiga tantangan kepemimpinan perempuan, yaitu tantangan struktural, tantangan kultural dan tantangan pribadi, sebagaimana diuraikan berikut ini.
a. Tantangan Struktural
Minimnya representasi dalam pipeline kepemimpinan. Leadership pipeline adalah kerangka kerja strategis yang digunakan organisasi untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan membina talenta kepemimpinan secara sistematis di semua tingkatan organisasi, memastikan pasokan pemimpin yang berkelanjutan untuk kebutuhan bisnis masa kini dan mendatang.
Sistem promosi yang bias gender dimana pandangan atau perlakuan yang tidak adil atau tidak setara terhadap seseorang berdasarkan jenis kelamin atau gendernya.
Kurangnya dukungan kebijakan organisasi misalnya terkait dengan cuti melahirkan dan fleksibilitas kerja.
b. Tantangan Kultural
Adanya stereotip gender misalnya perempuan tidak tegas, emosional, lebih mementingkan perasaan dari pada logika dan semacamnya.
Norma sosial patriarkal, yaitu sistem norma dan nilai dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama, memiliki peran dominan, serta memegang kendali atas kekuasaan dan sumber daya, sementara perempuan sering kali diposisikan secara subordinat atau di ranah domestik
Kurangnya role model perempuan.
c. Tantangan Pribadi
Kurangnya kepercayaan diri atau imposter syndrome. Beban ganda antara tuntutan karier dan tanggung jawab domestik. Akses terbatas terhadap jaringan profesional atau networking.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, sejumlah strategi dalam membangun kepemimpinan perempuan dapat diterapkan melalui tiga pendekatan, yaitu
a. Pendekatan Organisasi
Hendaknya setiap organisasi professional dapat mengupayakan adanya Kebijakan inklusif: Rekrutmen, promosi, dan pelatihan berbasis kesetaraan gender; Mentoring dan sponsorship untuk perempuan berbakat; dan penilaian kinerja berbasis kompetensi, bukan stereotip.
b. Pendekatan Individual
Setiap individu perempuan perlu mengupayakan hal-hal berikut ini.
– Pengembangan soft skills: komunikasi, negosiasi, kepemimpinan.
– Manajemen karier dan self-branding yaitu adanya proses strategis untuk membentuk dan mengelola citra serta reputasi diri sendiri, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional, sehingga orang lain dapat mengenali keunikan, kelebihan, dan nilai yang Anda tawarkan. Ini melibatkan upaya konsisten untuk menonjolkan aspek terbaik dari diri Anda, seperti keahlian, nilai-nilai, dan pencapaian, untuk menciptakan persepsi yang positif dan membangun kepercayaan di mata publik atau target pasar.
– Bergabung dengan komunitas atau jaringan profesional perempuan.
c. Pendekatan Sosial dan Kebijakan Publik
– Adanya regulasi yang mendorong keterwakilan perempuan (kuota gender).
– Kampanye kesadaran publik dan edukasi gender sejak dini.
– Dukungan untuk work-life balance misalnya daycare, parental leave, dan semacamnya.
Berdasarkan tantangan dan strategi yang telah dipaparkan, sejumlah saran dapat direkomendasikan sebagai berikut.
– Organisasi perlu menanamkan budaya inklusif dan meritokrasi (Budaya meritokrasi adalah sistem yang menempatkan dan memberi penghargaan kepada individu berdasarkan prestasi, bakat, dan kemampuan, bukan berdasarkan status sosial, kekayaan, atau koneksi. Sistem ini menekankan kinerja dan usaha individu sebagai dasar kemajuan dan kesuksesan seseorang dalam suatu organisasi atau masyarakat)
– Pentingnya investasi dalam program pengembangan kepemimpinan perempuan.
– Perlu sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam mendorong kesetaraan gender.
Sebagai kesimpulan dari kajian singkat ini bahwa kepemimpinan perempuan bukan hanya isu keadilan, tetapi juga strategi peningkatan kinerja organisasi. Tantangan bersifat multidimensi, maka perlu strategi holistik dan kolaboratif. Oleh karena itu, saatnya membangun ekosistem yang mendukung, menguatkan, dan memberdayakan kepemimpinan perempuan. ***
Daftar Pustaka:
McKinsey & Company (2020). Diversity Wins: How Inclusion Matters.
Catalyst (2022). Why Diversity and Inclusion Matter: Quick Take.
World Economic Forum (2023). Global Gender Gap Report.
Eagly, A. H., & Carli, L. L. (2007). Through the Labyrinth: The Truth About How Women Become Leaders.
Penulis adalah Sekretaris Majelis LPPA PW ‘Aisyiyah Sulteng dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palu