Oleh: Sigit Wibowo AM, S.H.
MULAI 1 Januari 2026, Indonesia akan hidup di bawah rezim pemidanaan baru. KUHP hasil pembaharuan 2023, yang diberi jeda tiga tahun masa transisi, akan mulai berlaku penuh. Pemerintah sengaja memberi ruang panjang agar aparat penegak hukum, institusi negara, dan masyarakat beradaptasi dengan struktur baru hukum pidana yang membawa semangat dekolonisasi. Namun transisi itu juga menjadi ujian apakah hukum baru ini akan benar-benar dipahami, atau sekadar diperlakukan seperti sekumpulan pasal yang disosialisasikan tetapi tidak sungguh-sungguh dibaca?
Salah satu pasal yang tampak sederhana, tetapi sesungguhnya menyentuh fondasi peradaban hukum modern, adalah Pasal 257 yang melarang siapapun memaksa masuk atau tetap berada di rumah dan pekarangan orang lain tanpa izin serta tidak segera pergi setelah diminta. Ketentuan ini menggantikan Pasal 167 KUHP lama, pasal yang selama puluhan tahun menjadi rujukan perlindungan ruang privat, namun kerap tumpul dalam implementasi. Pasal baru ini tidak hanya mengulang substansi lama, melainkan mengirim sinyal penting, negara kini memutakhirkan pemahamannya tentang ruang privat sebagai hak asasi, bukan sekadar ranah sopan santun.
Dalam kultur sosial Indonesia, pelanggaran batas rumah sering terjadi tanpa dianggap sebagai pelanggaran. Tradisi bertamu tanpa pemberitahuan, masuk pekarangan tetangga karena dianggap kerabat dekat, atau hadir secara tiba-tiba dengan dalih hubungan personal, seolah selalu memperoleh pembenaran budaya. Namun dinamika masyarakat modern dengan tingkat mobilitas tinggi, urbanisasi padat, dan intensitas konflik sosial yang meningkat tidak lagi dapat ditopang oleh norma sosial yang kabur. Pasal 257 memaksa kita untuk menerima bahwa keramahan bukan alasan untuk meniadakan batas, dan bahwa pintu rumah bukan hanya sekat fisik tetapi garis tegas yang menentukan keamanan, martabat, dan kebebasan seseorang.
Lebih jauh, pasal ini juga mengisi kekosongan hukum yang selama ini menguntungkan pihak kuat dan merugikan pihak rentan. Fakta bahwa intimidasi rumah-tangga, teror penagihan utang, hingga tindakan koersif oleh pihak yang merasa memiliki botoritas sosial sering kali tidak dapat diproses hukum secara pasti, menunjukkan betapa lemah perlindungan terhadap ruang privat. Pasal 257 hadir sebagai koreksi bahwa siapa pun yang melanggar batas rumah seseorang apa pun motifnya berada dalam ranah tindak pidana. Kekuatan sosial, ekonomi, atau bahkan institusional tidak lagi dapat menjadi dalih untuk meniadakan izin pemilik rumah.
Namun ketajaman pasal ini juga membawa risiko. Tanpa pedoman implementasi yang presisi dan seragam, Pasal 257 dapat berubah menjadi pasal elastis, yang dalam praktiknya bisa digunakan untuk membatasi aktivitas sah seperti kerja jurnalistik, pendataan pemerintah, atau aktivitas sosial yang membawa kepentingan publik. Frasa “tidak segera pergi” misalnya, membuka ruang interpretasi subjektif yang dapat memicu kriminalisasi berlebihan bila tidak dijaga secara ketat oleh logika hukum yang sehat. Inilah titik kritis di mana penegakan hukum dituntut untuk benar-benar bekerja: aparat tidak cukup membaca pasal, mereka harus memahami logika sosial tempat pasal itu berlaku.
Dalam tiga tahun masa transisi ini, negara berkewajiban memastikan bahwa KUHP baru tidak hanya disosialisasikan, tetapi dipahami hingga ke lapisan masyarakat paling bawah. Tanpa edukasi yang memadai, Pasal 257 berpotensi menjadi aturan yang menakutkan karena ketidaktahuan atau diabaikan karena ketidakjelasan. Sosialisasi hukum dalam konteks KUHP baru tidak bisa berhenti di ruang seminar dan layar presentasi, ia harus masuk ke ruang publik, ke perbincangan keluarga, ke percakapan antarwarga, bahkan ke instruksi kerja aparat desa. Tanpa itu, pembaruan hukum hanya akan menjadi proyek administratif, bukan transformasi peradaban hukum.
Pada akhirnya, Pasal 257 adalah cermin. Ia memperlihatkan sejauh mana negara menghormati ruang privat warga sekaligus menguji kedewasaan masyarakat dalam memahami batas-batas sosial yang semakin berubah. Dengan diberlakukannya pasal ini mulai 1 Januari 2026, negara menegaskan bahwa hak untuk menutup pintu bukan lagi perkara etika, melainkan hak hukum yang harus dihormati tanpa kompromi. Sebuah hak yang tampak sederhana, tetapi justru menjadi garis pertama yang menjaga martabat, kebebasan, dan keamanan manusia. Dan dari garis batas rumah itulah, ukuran keberperadaban kita diuji. ***
Penulis adalah Staf Satpol PP Provinsi Sulawesi Tengah







