Oleh: Temu Sutrisno
PENDAHULUAN
Dalam praktik pemberitaan dan wacana publik, sering dijumpai pengaitan perbuatan hukum seseorang dengan instansi, lembaga, atau tempat ia bekerja, meskipun perbuatan tersebut tidak berkaitan dengan jabatan maupun tugas kedinasannya.
Fenomena ini menimbulkan persoalan hukum dan etika, terutama terkait asas pertanggungjawaban pidana, perlindungan nama baik, serta prinsip-prinsip jurnalistik di Indonesia.
TINJAUAN HUKUM
Secara hukum, pertanggungjawaban pidana bersifat individual, yang berarti seseorang hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Ahli hukum pidana Moeljatno menyatakan bahwa, “pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan pidana dan mempunyai kesalahan.”
Dengan demikian, instansi pemerintah maupun swasta tidak serta-merta dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan pidana individu yang tidak berkaitan dengan tugas, jabatan, atau kewenangan yang diberikan kepadanya.
Mengaitkan pelanggaran hukum individu dengan instansi tempatnya bekerja, termasuk dalam pemberitaan, dapat menimbulkan kerugian reputasi bagi instansi tersebut.
Pihak yang merasa dirugikan, termasuk instansi, dapat menempuh jalur hukum jika pemberitaan tersebut dianggap mencemarkan nama baik dan mencoreng kredibilitas institusi.
1. Pencemaran Nama Baik (UU ITE)
Instansi pemerintah, korporasi, serta profesi dan jabatan tidak dapat mengadukan pencemaran nama baik berdasarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 27A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU Nomor 1 Tahun 2024. Hanya korban individu (person) yang boleh membuat laporan dugaan pencemaran nama baik.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXI/2024 tanggal 29 April 2025, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE hanya melindungi individu (person). Badan hukum, instansi pemerintah, profesi, atau jabatan tidak dapat mengajukan laporan pidana pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE.
Hal ini sejalan dengan pandangan Barda Nawawi Arief yang menegaskan bahwa hukum pidana harus diterapkan secara ketat dan tidak boleh diperluas secara analogis, khususnya dalam delik yang membatasi kebebasan berekspresi.
2. Gugatan Perdata
Instansi yang merasa dirugikan akibat pengaitan yang tidak relevan dapat menempuh gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, dengan dalil adanya perbuatan melawan hukum (PMH) yang merugikan nama baik atau citra institusi, dengan menuntut ganti rugi.
TINJAUAN ETIKA JURNALISTIK
Pers nasional dalam memberitakan suatu peristiwa wajib menaati UU Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan peraturan lainnya berkaitan dengan jurnalistik dan/atau pers.
Pers diatur secara etika maupun UU Pers untuk menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat. Selain itu, dalam pemberitaan yang mengangkat kasus dan/atau dugaan perbuatan pidana, KEJ mengatur ketentuan sebagai berikut:
1. Menghormati Kehidupan Pribadi
KEJ mewajibkan wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik yang kuat. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Jika pelanggaran hukum tidak berkaitan dengan kedudukan di tempat kerja, ada batasan etis mengekspos instansinya.
2. Asas Praduga Tak Bersalah
KEJ mewajibkan pers menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Artinya, seseorang yang berstatus terduga atau tersangka tidak boleh diberitakan seolah-olah telah terbukti bersalah, apalagi dengan menyeret institusi yang tidak relevan.
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, jurnalisme bertanggung jawab harus berpegang pada prinsip akurasi dan proporsionalitas, bukan sensasionalisme.
3. Hak Jawab dan Hak Koreksi
Pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan berhak menggunakan Hak Jawab atau Hak Koreksi. Pers wajib melayani hak ini secara proporsional.
4. Penilaian Dewan Pers
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers. Pihak instansi dapat membuat pengaduan ke Dewan Pers jika merasa media melanggar kode etik dalam pemberitaan tersebut.
KESIMPULAN
Secara yuridis, pertanggungjawaban pidana tetap melekat pada individu pelaku, bukan pada instansi yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan perbuatan tersebut. Pengaitan berlebihan antara pelanggaran hukum individu dengan instansi berpotensi melanggar etika pers, khususnya jika tidak relevan dengan kepentingan publik.
Instansi yang dirugikan memiliki jalur hukum perdata dan mekanisme pengaduan ke Dewan Pers, namun tidak dapat menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE. Oleh karena itu, keseimbangan antara kebebasan pers, perlindungan reputasi, dan asas keadilan harus terus dijaga dalam praktik pemberitaan di Indonesia. ***
Penulis adalah Wartawan Utama Mercusuar-Trimedia Grup







