Oleh: Isnada Waris Tasrim
DI TENGAH kompleksitas tantangan global—mulai dari krisis iklim, kesenjangan sosial, hingga revolusi digital—peran institusi pendidikan tinggi tidak lagi cukup sebagai menara gading yang hanya memproduksi pengetahuan. Kampus hari ini dituntut menjadi agen perubahan: berdampak bagi masyarakat, dan inklusif bagi seluruh lapisan.
Namun pertanyaannya, siapa yang memegang peranan kunci dalam menggerakkan transformasi tersebut? Jawabannya adalah kepemimpinan. Kepemimpinan yang adaptif, visioner, dan kolaboratif menjadi fondasi utama dalam mewujudkan kampus yang tidak hanya unggul secara akademik. Tetapi juga berdaya secara sosial.
Kepemimpinan sejati bukan tentang kekuasaan atau banyaknya pengikut, tetapi tentang kemampuan untuk melayani dan membentuk pemimpin-pemimpin baru. Prinsip servant leadership menjadi fondasi penting dalam membangun kampus yang berdampak dan inklusif—kampus yang tidak hanya menghasilkan lulusan berkualitas, tetapi juga menjadi ruang aman, terbuka, dan adaptif terhadap keberagaman.
Transformasi menuju kampus berdampak dan inklusif harus dimulai dari proses perencanaan yang matang. Pada tahap ini, perumusan visi, misi, arah, tujuan dan strategi menjadi hal yang paling krusial. Visi bukan sekadar pernyataan simbolik, melainkan kompas yang akan menentukan ke mana institusi bergerak. Oleh karena itu, penyusunannya harus dilakukan secara serius, partisipatif, dan kontekstual. Karena dari visi inilah seluruh program, kebijakan, dan budaya kampus dibangun dan dijalankan.
Dalam konteks ini, dua kata kunci—impacted dan inclusive—harus menjadi penuntun. Keduanya menandai arah baru kampus dalam menghadirkan kepemimpinan yang melayani, dan dalam membangun budaya institusional yang menghargai keberagaman serta berkontribusi nyata bagi masyarakat.
Kepemimpinan Transformasional: Menyalakan Dampak Sosial
Kampus berdampak mensyaratkan adanya visi yang melampaui ruang kelas. Pemimpin di lingkungan perguruan tinggi harus mampu membangun koneksi antara ilmu pengetahuan dan kebutuhan nyata masyarakat. Dalam konteks ini, gaya kepemimpinan transformasional menjadi sangat relevan.
Bass dan Riggio (2006) menyatakan bahwa pemimpin transformasional mendorong inovasi, membangun motivasi kolektif, dan menumbuhkan komitmen jangka panjang terhadap perubahan. Dalam ekosistem kampus, gaya kepemimpinan ini berperan penting dalam memperkuat sinergi antara penelitian, pengabdian masyarakat, dan pendidikan.
Kita telah melihat bagaimana beberapa perguruan tinggi menjalin kemitraan dengan komunitas lokal, memberdayakan desa binaan, atau mengembangkan teknologi tepat guna untuk petani dan UMKM. Semua itu hanya mungkin terjadi jika ada kepemimpinan yang berpihak pada dampak sosial, bukan hanya pencapaian administratif.
Kepemimpinan Inklusif: Merangkul Perbedaan sebagai Kekuatan
Dampak tanpa inklusivitas akan timpang. Di sinilah pentingnya kepemimpinan yang mampu melihat keberagaman sebagai aset, bukan hambatan. Bourke dan Dillon (2016) menegaskan bahwa pemimpin inklusif adalah mereka yang sadar akan bias, mendengarkan dengan rasa ingin tahu, dan menciptakan ruang yang aman untuk semua identitas.
Masih banyak kampus yang belum sepenuhnya ramah terhadap mahasiswa dari latar belakang minoritas, termasuk mereka yang berasal dari daerah tertinggal, difabel, atau identitas gender yang beragam. Jika kampus ingin disebut inklusif, maka pemimpinnya harus berani membuat kebijakan afirmatif, memperkuat fasilitas yang aksesibel, dan memastikan representasi yang adil dalam kepemimpinan mahasiswa dan staf pengajar.
Mengelola Kampus Masa Depan: Kepemimpinan sebagai Perekat Visi
Kepemimpinan di kampus bukanlah monopoli rektorat atau dekanat. Ia bersifat kolektif dan melibatkan seluruh elemen: dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, hingga alumni. Tugas pemimpin adalah merumuskan visi yang menyatukan dan memfasilitasi partisipasi semua pihak.
Kezar (2014) dalam kajiannya menekankan bahwa perubahan institusional di perguruan tinggi lebih efektif jika didorong oleh kepemimpinan kolaboratif yang mendengarkan akar rumput dan menghargai dinamika kultural lokal kampus.
Di era kampus merdeka dan otonomi perguruan tinggi, kemampuan seorang pemimpin untuk menciptakan kultur inklusif dan berdampak menjadi penentu apakah kampusnya akan relevan atau justru tertinggal.
Penutup: Kampus Masa Depan Dimulai dari Gaya Kepemimpinan Hari Ini
Mewujudkan kampus berdampak dan inklusif bukan sekadar soal kebijakan atau program. Ia adalah hasil dari kepemimpinan yang membumi, berpandangan jauh, dan berani memimpin dengan nilai. Kampus yang hanya mengejar akreditasi tanpa keadilan sosial, hanya akan menjadi institusi tanpa jiwa.
Pemimpin kampus hari ini harus menjadi fasilitator keberagaman dan motor penggerak perubahan sosial. Karena hanya dengan itu, perguruan tinggi bisa benar-benar menjadi kekuatan moral dan intelektual bangsa. ***
Referensi
Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational Leadership (2nd ed.). Psychology Press.Bourke, J., & Dillon, B. (2016). The six signature traits of inclusive leadership: Thriving in a diverse new world. Deloitte University Press.
Kezar, A. (2014). How Colleges Change: Understanding, Leading, and Enacting Change. Routledge.
Astin, A. W., & Astin, H. S. (2000). Leadership Reconsidered: Engaging Higher Education in Social Change. W\.K. Kellogg Foundation.
(Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palu)