Oleh: Muhammad Rivani
Perekonomian Indonesia pada triwulan II 2025 tumbuh sebesar 5,12 persen di Tengah ketidakpastian ekonomi global. Capaian ini terbilang fenomenal ditengah banyaknya PHK dan lesunya ekonomi akibat efisiensi.
Tiga lapangan usaha penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di dapat dari Industri pengolahan yang mempunyai share terhadap perekonomian sebesar 18,67% dan pertumbuhan 5,68%, kemudian disusul oleh pertanian dengan share sebesar 13,83% dan tumbuh 1,65%, serta sektor Perdagangan Besar dan Eceran yang berkontribusi sebesar 13,02% dan mencatatkan pertumbuhan 5,37%.
Berbicara mengenai ekonomi Indonesia, amatlah menarik karena dalam satu dekade terakhir mampu tumbuh rata-rata 5 persen, yang tumbuh minus hanya di tahun 2020 akibat covid-19, akan tetapi kembali tumbuh positif di tahun 2021.
Pertumbuhan ekonomi yang terjaga di Indonesia berdampak positif bagi perekonomian disatu sisi, akan tetapi disisi lain juga membebani negara, mengapa demikian? Karena pertumbuhan tersebut juga tidak terlepas dari hutang negara yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Pada akhir desember 2024 tercatat hutang negara sebesar Rp 8.801,09 Triliun kemudian bergerak naik menjadi Rp 8.909,14 triliun pada akhir januari 2025 atau naik sebesar 1,22 persen. Pertanyaan yang timbul saat ini, apakah ekonomi Indonesia bisa tumbuh tanpa hutang? Tentu jawaban normatifnya bisa ya bisa tidak, tergantung kondisi ekonomi global, hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri keuangan pak Purbaya yudhi sadewa yang mengatakan ingin mengerem utang negara yang bunga pinjamannya hampir mencapai 600 triliun di tahun 2026.
Salah satu cara mengerem utang dengan jalan menggenjot penerimaan negara dan meminimalisir kebocoran penerimaan keuangan negara yang salah satunya melalui pajak dan cukai. Harus ada cara jitu dalam meningkatkan pemerimaan dari sektor pajak, bukan hanya mengandalkan pajak dari pihak itu-itu saja tetapi menetapkan pajak baru bagi objek pajak yang baru khususnya di industri pengolahan yang banyak mengalami kebocoran pajak akibat lemahnya regulasi dan pengawasan di sektor ini, padahal sektor ini penyumbang pertumbuhan terbesar pada pertumbuhan ekonomi triwulan II Indonesia.
Tata Kelola perpajakan harus lebih di tata, begitupun dengan pengelolaan utang yang lebih prudent harus di dasarkan fleksibilitas pada kondisi ekonomi global sehingga lebih mudah untuk memutuskan stimulus ekonomi apa jika sewaktu-waktu terjadi krisis ekonomi global yang dampaknya bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Paling tidak terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membuat pertumbuhan ekonomi tanpa harus berutang. Pertama adalah dengan mengoptimalkan penerimaan pajak negara untuk memperluas ruang fiskal pemerintah, sehingga bisa mengurangi ketergantungan hutang. Kedua adalah dengan menciptakan iklim ekonomi yang kondusif sehingga ada kepastian berusaha bagi para investor dalam melakukan investasi dan aman akan investasinya.
Ketiga menjalin kemitraan strategis dengan berbagai pihak dalam membangun proyek pemerintah yang berpotensi mendapatkan keuntungan khususnya di sektor migas dan kontruksi. Memang agak sulit untuk menumbuhkan ekonomi tanpa utang, karena jika kita cermati lebih lanjut, APBN tahun 2026 masih saja minus antara pemasukan dan pengeluaran. Tahun 2026, APBN yang telah disahkan pemerintah dan banggar DPR RI sebesar Rp 3.842,7, sementara pendapatan negara yang disepakati hanya sebesar Rp 3.153,9 triliun.
Terdapat selisih sebesar Rp 688,8 triliun yang harus ditutupi oleh pemerintah, otomatis jika tidak ada trik khusus untuk mengurangi belanja maka jalan satu-satunya adalah dengan kembali berutang. Jika hal ini terjadi maka semakin memberatkan APBN kita saat ini dan masa yang akan datang karena beban bunga yang dibayar dari tahun ke tahun akan semakin meningkat.
Diperlukan Solusi jangka Panjang yang berbasis hitungan matang untuk mengurangi beban hutang dan ketergantungan dengan hutang sehingga negara ini dapat lebih bisa memanfaatkan ruang fiskal APBN untuk Pembangunan infratrsuktur dan program pemerintah yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Kapan itu bisa terjadi, kita tunggu saja Langkah Menteri keuangan yang baru.***
Penulis adalah pegawai BPS Kab Donggala dan Pemerhati masalah sosial dan ekonomi Sulawesi Tengah