Momentum Hari Pramuka dan Tantangan Generasi Z

Oleh: Aris Arianto

Sejak terbitnya Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025, Pramuka kembali ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib di seluruh satuan pendidikan. Kebijakan ini disambut beragam respons. Ada yang optimistis bahwa kembalinya Pramuka dapat menghidupkan kembali nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian, namun ada pula yang skeptis, mengingat tren menurunnya minat remaja terhadap kegiatan lapangan yang dianggap “tidak relevan” dengan gaya hidup digital saat ini.

Sejak kelahirannya tahun 1961, Gerakan Pramuka telah menjadi salah satu sarana paling efektif dalam membentuk karakter generasi muda. Organisasi ini melatih kemandirian, kepemimpinan, disiplin, kerja sama, dan cinta tanah air. Tak berlebihan jika banyak tokoh bangsa menyebut pramuka sebagai kawah candradimuka, tempat anak-anak muda ditempa mental, fisik, dan moralnya agar siap menghadapi tantangan hidup.

Namun, beberapa tahun terakhir, antusiasme siswa terhadap pramuka menurun. Survei internal Kwartir Nasional (2024) juga menemukan bahwa banyak siswa memandang kegiatan Pramuka “kurang relevan” dengan kehidupan mereka yang serba digital. Berkemah, hiking, upacara bendera, dan pionering, memang ikonik, tetapi bagi sebagian anak muda, aktivitas itu terasa kaku dan terjebak masa lalu.

Fakta lain di lapangan menunjukkan tantangan serius. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) mencatat bahwa 82,4% remaja usia 13–18 tahun menghabiskan lebih dari 4 jam sehari di depan gawai, dengan mayoritas aktivitas berupa media sosial dan hiburan daring. Sementara itu, survei Kementerian Pemuda dan Olahraga (2023) mengungkap hanya 27% siswa SMA yang secara rutin mengikuti kegiatan Pramuka di sekolah, dan sebagian besar mengaku melakukannya karena kewajiban, bukan pilihan.

Padahal, menurut World Scouting Organization (2022), keanggotaan aktif Pramuka berkorelasi positif dengan keterampilan kepemimpinan, empati sosial, dan resiliensi menghadapi tekanan. Ini menunjukkan bahwa tantangan bukan pada nilai atau manfaat Pramuka, melainkan pada format, metode, dan citra yang perlu diperbarui untuk menjawab kebutuhan generasi saat ini.

Mengapa Pramuka Perlu Diperbarui?

Generasi Z yang kini mendominasi bangku sekolah menengah, tumbuh dalam ekosistem serba digital, dengan akses cepat ke informasi dan jaringan global. Mereka terbiasa pada pola interaksi yang instan, personalisasi tinggi, dan aktivitas yang memadukan unsur hiburan dengan pembelajaran (edutainment). Format pramuka yang terlalu menekankan seremonial, drill baris-berbaris, atau hafalan kode sandi tanpa kontekstualisasi kerap dianggap monoton.

Penelitian Indonesian Youth Institute (2023) menunjukkan bahwa minat remaja terhadap organisasi akan meningkat jika kegiatan: (1) Memberikan pengalaman nyata dan menantang. (2) Memiliki koneksi langsung dengan isu-isu yang mereka pedulikan (lingkungan, teknologi, kesehatan mental), dan (3) Menggunakan media dan platform digital untuk dokumentasi dan publikasi kegiatan.

Pramuka sebenarnya punya potensi kuat di ketiga aspek tersebut. Kegiatan seperti penjelajahan alam, aksi sosial, dan pelatihan keterampilan darurat dapat dikaitkan dengan isu keberlanjutan, literasi digital, bahkan inovasi teknologi ramah lingkungan. Namun, jika formatnya tak diadaptasi, kegiatan ini akan terus dianggap outdated.

Momen Hari Pramuka

Peringatan Hari Pramuka setiap 14 Agustus kerap menjadi ajang seremonial, diisi upacara dan pidato yang mengulang jargon-jargon lama. Tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik pramuka sebagai kawah candradimuka. Alih-alih sekadar merayakan, momentum ini bisa dimanfaatkan untuk meluncurkan Grand Design Revitalisasi Pramuka Sekolah.

Misalnya, konsep Smart Scouting, di mana kegiatan lapangan didukung dengan teknologi, seperti peta digital untuk jelajah, aplikasi first aid interaktif, dokumentasi kegiatan via vlog yang dibagikan di kanal resmi sekolah, atau integrasi gamification pada pelatihan keterampilan. Dengan begitu, nilai-nilai tradisional Pramuka seperti disiplin, gotong royong, kemandirian, dihidupkan dalam format yang selaras dengan budaya digital remaja.

Selain itu, keterlibatan lintas sektor perlu diperkuat. Pemerintah daerah dapat menggandeng komunitas pecinta alam, tim SAR, atau lembaga lingkungan untuk membuat program kolaboratif. Kegiatan bakti sosial, penanaman pohon, atau simulasi bencana bisa sekaligus menjadi ajang edukasi publik.

Pramuka sebagai Medium Intervensi

Pramuka juga dapat menjadi solusi parsial untuk persoalan kesehatan remaja. Laporan Kementerian Kesehatan RI (2024) menyebutkan fenomena triple burden of malnutrition (stunting, anemia, dan obesitas) semakin nyata di kalangan pelajar. Ditambah lagi, data Global School-based Student Health Survey (GSHS, 2022) menunjukkan 37% remaja Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik, dan 24% mengalami gangguan kesehatan mental ringan hingga sedang.

Kegiatan pramuka, jika dirancang dengan baik, dapat menjadi medium intervensi yang efektif. Dengan kata lain, revitalisasi pramuka tidak hanya menyasar dimensi karakter dan kebangsaan, tetapi juga kesehatan publik. Hal ini dapat dilihat pada konten kegiatan pramuka: (1) Aktivitas fisik terstruktur seperti jelajah alam, permainan regu, atau camping membantu mencegah obesitas dan meningkatkan kebugaran. (2) Pelatihan keterampilan hidup seperti memasak sehat, mengelola stres, dan pertolongan pertama dapat membentuk perilaku hidup sehat. (3) Interaksi sosial positif di dalam barung/regu/sangga mengurangi risiko isolasi sosial dan memperkuat kesehatan mental.

Strategi Menghidupkan Minat Remaja

Ada beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh agar pramuka kembali diminati: Pertama, rebranding citra. Gunakan media sosial sekolah untuk mempublikasikan momen-momen seru kegiatan Pramuka, bukan hanya dokumentasi formal. Kedua, kurikulumnya dibuat lebih fleksibel. Beri ruang pada siswa untuk merancang sebagian agenda kegiatan, sehingga mereka merasa memiliki. Ketiga, mengintegrasikan kegiatan pramuka dengan isu terkini. Mengaitkan materi pramuka dengan isu lingkungan, inovasi teknologi, dan kesiapsiagaan bencana.

Keempat, kolaborasi eksternal. Libatkan pihak luar seperti komunitas relawan, profesional, atau alumni untuk mengisi sesi inspiratif. Kelima, Sertifikasi Keterampilan. Kegiatan yang menghasilkan sertifikat resmi (misalnya pelatihan lifeguard atau first aid) akan memberi nilai tambah pada portofolio siswa.

Kesimpulan

Kembali wajibnya Pramuka di sekolah melalui Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 adalah peluang emas, bukan beban. Namun, tanpa inovasi format dan pendekatan, kebijakan ini berisiko hanya menjadi formalitas. Momentum Hari Pramuka 14 Agustus 2025 seharusnya dimanfaatkan untuk memulai transformasi besar. Yaitu membawa pramuka keluar dari bayang-bayang nostalgia masa lalu menuju relevansi masa kini.

Generasi Z tidak menolak nilai pramuka. Mereka hanya mencari cara baru untuk mengalaminya. Jika pramuka mampu menjadi ruang yang menggabungkan petualangan, keterampilan hidup, literasi digital, dan kepedulian sosial, ia tidak hanya akan bertahan, tapi kembali menjadi kebanggaan remaja Indonesia. Pada titik itulah, pramuka bukan lagi sekadar ekskul wajib, melainkan kebutuhan nyata bagi pembentukan karakter generasi masa depan. ***

Penulis adalah pengajar di SMAN Model Terpadu Madani Palu, pembina pramuka penegak, dan pemerhati pendidikan anak

Pos terkait