Morbus Hansen/Kusta

Oleh: Jihan Oktafiani, S.Ked (Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat Palu)

Morbus Hansen (MH) yang disebut lepra atau kusta adalah suatu penyakit menular karena bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit kusta mempengaruhi kulit dan saraf perifer dari individu yang terinfeksi. Penyakit kusta menyerang sistem saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit dan organ lainnya. Mengakibatkan neuropati serta konsekuensi jangka panjang. Penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan jika tidak segera ditatalaksana dan dapat menimbulkan masalah psikososial akibat stigma atau predikat buruk dalam pandangan masyarakat. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2023 dilaporkan jumlah kasus kusta di dunia sebanyak 182.815 kasus baru, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai negara dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India dan Brazil dengan jumlah kasus kusta sebanyak 14.376. Sejak tahun 2018 angka kesakitan Kusta di Sulawesi Tengah telah mencapai eliminasi Kusta tingkat nasional dengan target kurang dari 1/10.000 penduduk dengan pencapaian sebesar 0,97/10.000 penduduk, hal ini masih tetap berfluktuasi dari tahun ke tahun dan sampai di akhir tahun 2023 mencapai angka kesakitan Kusta yaitu sebesar 0,98/10.000 penduduk.

Penyebab dan Faktor Resiko

Kusta disebakan oleh bakteri Mycobacterium leprae. M. leprae adalah basil gram positif dan tahan asam dari kompleks Mycobacterium leprae, yang terdiri dari M. leprae dan M. lepromatosis. Yang pertama berkembang biak dengan lambat dibandingkan dengan yang terakhir, dengan perkiraan waktu generasi 12 hingga 13 hari. M. leprae tumbuh optimal pada suhu sekitar 27 hingga 33 C. Hal ini memperkuat teori awal bahwa M. leprae cenderung menyebar lebih efisien di bagian tubuh yang lebih dingin. Ini termasuk kulit, saraf yang dekat dengan permukaan kulit dan selaput di saluran pernapasan bagian atas. Cara penularan bakteri ini diduga melalui cairan dari hidung yang biasanya menyebar ke udara ketika penderita batuk atau bersin, dan dihirup oleh orang lain. Namun penyakit ini tidak mudah untuk ditularkan, perlu beberapa bulan kontak yang sering dengan penderita kusta, sehingga penyakit ini dapat ditularkan.

Ada beberapa faktor-faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang untuk menderita penyakit ini. Beberapa faktor risiko tersebut di antaranya adalah:

  • Kontak Dekat: Kontak langsung dengan pasien kusta sangat meningkatkan kemungkinan tertular penyakit ini dibandingkan dengan populasi lainnya.
  • Usia: Anggota masyarakat yang lebih tua lebih rentan terhadap risiko tertular penyakit kusta. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan bimodal dengan usia. Peningkatan risiko terjadi antara 5 hingga 15 dan risiko berlanjut setelah 30.
  • Pengaruh Genetik: Seperti disebutkan sebelumnya, genetika berperan dalam respons imunologis. Imunitas bawaan disebabkan oleh faktor genetik, khususnya melalui gen PARK2/PACRG. Sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 1000 pasien dengan diagnosis kusta baru-baru ini dikombinasikan dengan 21.000 kontak menunjukkan bahwa hubungan genetik sangatlah penting.
  • Imunosupresi: Setelah sistem kekebalan tubuh tertekan, ada kemungkinan lebih besar tertular infeksi ini. Perkembangan kusta biasanya terjadi setelah transplantasi organ padat, kemoterapi, infeksi HIV, atau setelah pemberian obat untuk gejala reumatologi.

Gejala Kusta

Gejala dan tanda kusta tidak nampak jelas dan berjalan sangat lambat. Profil klasifikasi lain dikembangkan untuk kasus-kasus di mana dukungan klinis atau laboratorium minimal tersedia. Sistem ini didasarkan pada jumlah lesi yang ada. Bila terdapat lima atau lebih sedikit lesi kulit tanpa adanya basil yang terlihat pada apusan kulit, maka hal ini dianggap sebagai kusta paucibacillary (PB). Dimana bila hanya terlihat satu lesi maka diberi label sebagai lesi tunggal PB. Enam atau lebih lesi dengan hasil tes olesan kulit positif dianggap sebagai kusta multibasiler (MB).. Beberapa gejala tersebut yaitu:

  • Bercak kulit kemerahan dengan hilangnya sensorik
  • Parestesia disertai mati rasa pada ekstremitas
  • Luka bakar yang tidak menimbulkan rasa sakit pada ekstremitas
  • Benjolan atau bengkak pada daun telinga
  • Pembesaran saraf perifer yang peka
  • Kelemahan pada jari cakar, kelumpuhan wajah, kurangnya alis dan bulu mata, atau septum hidung berlubang.

Umumnya, tingkat keparahan manifestasi bergantung pada tingkat perendaman saraf, jenis klasifikasi, dan respons imun aktif. Lesi kulit yang umum terlihat pada penyakit kusta dapat dikategorikan dalam subbagian berikut:

  • Tuberculoid leprosy (TT): Hal ini ditandai dengan lesi hipopigmentasi atau eritematosa yang besar dengan demarkasi yang jelas dan tepi yang menonjol. Presentasi plak terbukti bersisik.
  • Borderline tuberculoid (BT) : BT didefinisikan sebagai makula dengan gambaran “target” pada lesi. Pada penyakit spesifik ini, jumlah lesi lebih banyak dibandingkan TT dan biasanya terlihat pada satu sisi tubuh. Jika mengacu pada klasifikasi WHO yang disebutkan sebelumnya, jenis lesi ini dianggap “paucibacillary.”
  • Mid-borderline (BB) : Disebut sebagai “multibasiler”, penyakit ini paling mirip dengan penyakit kusta BT atau lepromatous border dengan tampilan lesi “punched out”. Perhatikan, area tengah sebagian besar dibius.
  • Borderline lepromatous leprosy (BL): Lesi dalam hal ini berupa makula eritematosa, nodul, atau papula yang tidak menunjukkan pola penampakan yang jelas pada tubuh. Meskipun bercak kulit normal dapat ditemukan, namun gambaran lesinya tidak jelas dan menyebar. Lesi berukuran lebih besar terbukti memiliki distribusi yang tidak proporsional.
  • Lepromatous leprosy (LL): Kasus yang mengalami kemajuan signifikan ditandai dengan kerontokan rambut di tubuh dan pembesaran nodular pada daun telinga. Invasi mukosa bisa menyerupai rasa tersumbat, mirip dengan flu biasa.
  • Indeterminate disease : Tampak sebagai makula hipopigmentasi atau eritematosa dengan sedikit atau tanpa sensasi. Basil biasanya tidak ditemukan pada biopsi ini. Jika lesi tidak berkembang sepenuhnya, maka lesi tersebut akan berkembang menjadi tipe lain dalam spektrum kusta.

Diagnosis Kusta

Perkembangan teknik laboratorium berkisar pada analisis histopatologi menggunakan biopsi kulit dan PCR.

  • Biopsi Kulit : Melihat tingkat keparahan lesi dan infiltrasi saraf, biopsi lengkap, termasuk jaringan subkutan, direkomendasikan untuk area lesi yang paling dinamis dan aktif.
  • Reaksi Berantai Polimerase : Teknik laboratorium PCR mudah digunakan untuk mendeteksi DNA M. leprae dan M. lepromatosis dalam jaringan. PCR lebih dapat diterapkan bila digunakan sebagai detektor dibandingkan sebagai pengidentifikasi. Dalam penelitian saat ini, PCR biopsi memiliki sensitivitas lebih dari 90 persen dan spesifisitas 100 persen.
  • Tes Serologis : Dalam studi serologi, M. leprae phenolic glikolipid-1 (PGL-1) yang disebutkan dirujuk tetapi tidak lazim dalam prosedur praktik klinis Amerika Serikat karena tidak terlalu sensitif karena tidak adanya bukti klinis dan histologis. Individu yang didiagnosis dengan penyakit lepromatosa cenderung mempunyai respon imun poliklonal yang meningkat terhadap M. leprae phenolic glikolipid-1 (PGL-1) dan banyak hasil positif palsu.

Pengobatan Kusta

Pengobatan umum kusta biasanya melibatkan terapi beberapa obat (MDT) untuk memastikan tidak adanya resistensi mikroba. Pengobatan MDT efektif melawan M. leprae dan dengan cepat membawa pasien ke kondisi tidak menular. Menggunakan MDT juga mengurangi kemungkinan resistensi obat. Obat-obatan yang digunakan antara lain dapson, rifampisin, dan untuk penyakit lepromatosa, klofazimin lebih disukai. Jika digabungkan, obat-obatan ini terbukti paling efisien. Terapi kusta tradisional bekerja dengan baik dalam melawan M. leprae dan M. Lepromatosis.

Memilih Regimen

  • Tuberculoid disease : dapson (100 mg setiap hari) dengan rifampisin (600 mg setiap hari) selama 12 bulan
  • Lepromatous disease: dapson, rifampisin, dan klofazimin (50 mg setiap hari) selama 24 bulan

Menggunakan pengobatan MDT yang seragam mengurangi kemungkinan kurang mendapat pengobatan pada individu dengan penyakit multibasiler yang salah diklasifikasikan sebagai paucibacillary.

Pencegahan dan Edukasi Kusta

Penatalaksanaan kontak pada kusta sangat penting dalam upaya pengendalian dan mencakup pengelolaan pasien penyakit aktif serta pengendalian kontak. Kontak serumah dari pasien yang sakit harus menjalani evaluasi tahunan selama minimal 5 tahun dan harus diminta untuk segera mencari perawatan jika ada tanda-tanda kusta yang mencurigakan seperti perubahan kulit atau neurologis yang terjadi.

Vaksinasi BCG terbukti memberikan perlindungan sebagian terhadap kusta, dengan dosis tunggal memberikan perlindungan 50% dan dosis ganda memberikan perlindungan lebih.

Pedoman WHO 2108 untuk profilaksis di daerah endemis mencakup rifampisin dosis tunggal untuk anak di atas 2 tahun dan orang dewasa. Penelitian sedang dilakukan untuk membuktikan manfaat dari praktik ini.

Pasien harus dididik tentang diagnosis, pengobatan, prognosis, dan komplikasi yang berkaitan dengan penyakit kusta, dan upaya harus dilakukan untuk meringankan stigma budaya terkait penyakit ini.

Sumber:

  1. Idris F, Mellaratna WP. Morbus Hansen (Kusta). GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh. 2023;2(6):11. doi:10.29103/jkkmm.v2i6.11582
  2. Amaliah H.R R, Lisa Yuniati, Roem NR, Sri Vitayani, Solecha Setiawati. Karakteristik penderita Lepra (Kusta) yang menjalani pengobatan rawat jalan di Puskesmas Tamalate Makassar periode 2018–2021. Fakumi Medical Journal: Jurnal Mahasiswa Kedokteran [Internet]. 2023 Jul 16;3(5):357–65. Available from: https://fmj.fk.umi.ac.id/index.php/fmj/article/view/231doi:10.33096/fmj.v3i5.231
  3. WHO. Leprosy (Hansen disease). 2023; Available from: https://www.who.int/data/gho/data/themes/topics/leprosy-hansens-disease
  4. Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah. Profil kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah 2023. 2023; Available from: https://dinkes.sultengprov.go.id/wp-content/uploads/2024/06/profil-kesehatan-2023.pdf
  5. Bhandari J, Awais M, Robbins BA, Gupta V. Leprosy [Internet]. StatPearls. 2025. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25831531
  6. Gilmore A, Roller J, Dyer JA. Leprosy (Hansen’s disease): An Update and Review. Missouri medicine [Internet]. 2023;120(1):39–44. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/36860602
  7. Lasry-Levy E, Hietaharju A, Pai V, Ganapati R, Rice ASC, Haanpää M, et al. Neuropathic Pain and Psychological Morbidity in Patients with Treated Leprosy: A Cross-Sectional Prevalence Study in Mumbai. Small PLC, editor. PLoS Neglected Tropical Diseases [Internet]. 2011 Mar 8;5(3):e981. Available from: https://dx.plos.org/10.1371/journal.pntd.0000981doi:10.1371/journal.pntd.0000981
  8. Sotiriou MC, Stryjewska BM, Hill C. Two Cases of Leprosy in Siblings Caused by Mycobacterium lepromatosis and Review of the Literature. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene [Internet]. 2016 Sep 7;95(3):522–7. Available from: https://www.ajtmh.org/view/journals/tpmd/95/3/article-p522.xmldoi:10.4269/ajtmh.16-0076
  9. Scollard DM. Infection with Mycobacterium lepromatosis. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene [Internet]. 2016 Sep 7;95(3):500–1. Available from: https://www.ajtmh.org/view/journals/tpmd/95/3/article-p500.xmldoi:10.4269/ajtmh.16-0473
  10. Salamung N, Elmiyanti NK, Putra AGRA. Pengetahuan dan Stigma Masyarakat tentang Penyakit Kusta di Desa Ambesia Barat Kecamatan Tomini Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal Pustaka Katulistiwa. 2023;4:16–22.
  11. Dianita R. Perbandingan Determinan Kejadian Kusta pada Masyarakat Daerah Perkotaan dan Pedesaan. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development. 2020;4(Special 3):692–704.

Pos terkait