Oleh: Nasrullah Muhammadong
Hari Sabtu, 23 November sudah kita lewati. Tanggal itu menandai berakhirnya seluruh kegiatan kampanye untuk pilkada tahun 2024. Dan sejak 24 sampai 26 November nanti, kita berada di masa tenang. Masa tenang di atas, tentu bukan suasana tenang bagi para penyelenggara pilkada. Karena di samping mengurus logistik pilkada, juga tetap berkoodinasi dengan petugas terkait, demi memulihkan kondisi lingkungan pasca kampanye.
Secara formal, kampanye kali ini tak jauh berbeda dengan kampanye-kampanye pilkada sebelumnya. Masih ada kampanye dengan model ceramah monolog, dan mobilisasi massa. Apalagi kampanye terbuka di lapangan. Dimulai dengan yel-yel para kandidat dan partai pengusung. Selanjutnya, orasi politik kemudian ditutup dengan acara joged. Acara kontrak politik, kayaknya masih langka, kelihatan.
Ada penulis pantau ketika berkampanye dengan menampilkan artis ibu kota. Di saat pidato politik dimulai, banyak yang menjauh dari arena untuk mencari tempat berteduh. Tapi ketika artisnya mulai bergoyang, semua kembali berkerumun.
Sekali lagi, kampanye pilkada 2024 telah berakhir. Sebagai rakyat indonesia yang cinta demokrasi, terutama masyarakat Sulteng, marilah kita hadapi dengan penuh antusias peristiwa penting pada
Rabu, 27 November 2024 nanti. Ingat, negara telah memberikan kebebasan hakiki yang dapat kita gunakan selama (kurang lebih) 3 menit di bilik TPS nanti. Itu pun yang diberikan oleh negara, hanya sekali dalam lima tahun. Olehnya, manfaatkan kebebasan langka ini.
Bagaimana kalau anda mau golput atau abstain dalam pilkada nanti? Itu adalah hak politik. Tidak dilarang oleh undang-undang, juga bukan perbuatan kriminal. Yang dilarang, bahkan termasuk kategori pidana, yaitu dengan sengaja menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih.
Sekali lagi, ber-golput adalah hak. Tapi ingatlah, suatu ketika, kita juga tidak bisa meminta pelayanan atau menuntut pertanggungjawaban dari penyelenggara daerah ini. Laksana sebuah perusahaan besar, hanya orang yang memberikan saham saja yang dapat menuntut pelayanan. Bahkan, bila perlu mereka dapat menuntut penggantian seorang pimpinan perusahaan.Bagi yang mau golput, simaklah apa yang ditulis oleh Franz Magnis-Suseno:
“Yang betul-betul buruk adalah, ada yang bersikap ”peduli amat” dengan siapa yang dipilih. Dia tak bersedia membuang waktu dengan repot-repot memilih. Yang dia pikirkan adalah kariernya sendiri. Nasib negara dia tak peduli”.
Lanjut beliau: “Itu sikap benalu atau parasit. Dia hidup atas usaha bersama masyarakat, tetapi tak mau menyumbang sesuatu. Kita dengan susah payah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia, tetapi anda ”tak peduli politik” (Harian Kompas, 2019).
Olehnya, tanpa bermaksud menggurui, kita tetap menyadari, sistem demokrasi itu memang tidak ada yang sempurna. Tetapi demokrasi itu sendiri, tetap esensial. Artinya, bersikap tidak golput, mencerminkan kepercayaan bahwa, meskipun demokrasi memiliki kekurangan, itu tetap merupakan cara terbaik untuk memilih seorang pemimpin.
Begitu pula, tidak golput bukan berarti menerima sistem begitu saja. Tetapi menunjukkan bahwa kita masih percaya, ada ruang untuk perubahan.
Dengan landasan berpikir seperti tadi, apakah kita masih mau melarikan diri dari berbagai bentuk partisipasi politik? Keluar dari partisipasi tersebut, sama saja memberikan kesempatan kepada para mafia politik lainnya untuk membajak demokrasi. Itulah barangkali, beberapa yang penulis maksud dari “Nalar Untuk Tidak Golput” dari judul di atas. ***
Penulis adalah Pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.