Partai Politik Harus Bergegas Berbenah

Oleh: Syafinuddin Al-Mandari

Ekspresi kekecewaan rakyat terhadap elite politik kini makin terasa. Pidato Presiden Prabowo pada Agustus lalu yang menekankan keberhasilan pembangunan ekonomi justru disambut sinis. Rakyat melihat fakta di lapangan tak seindah angka-angka yang dipaparkan. Pengangguran tetap tinggi, harga-harga makin berat, dan jurang antara kaya dan miskin semakin lebar.

Rakyat merasa diperbodoh. Terutama kaum terdidiknya yang selama ini memilih bersabar atas ujian dan bersyukur atas nikmat, kini mulai juga menampakkan kegerahan yang tak mungkin berhasil ditutupi.

Kekecewaan dan ketidakpuasan publik kian memuncak karena gaya hidup mewah para pejabat. Para pejabat dan elit partai tertentu tidak sabar untuk keluar dari garis perlintasan lomba pamer kemewahan. Bukan hanya kendaraan dinas maupun kendaraan pribadi sampai kaos kaki mereka pun harus berangka bandrol jutaan. Barang-barang pribadi yang harganya dapat membiayai pengobatan rakyat miskin atau menggaji guru honorer dan tenaga medis di pelosok desa turut masuk ke dalam etalase pameran. Jam tangan seorang anggota DPR bisa setara biaya kuliah doktoral puluhan mahasiswa. Sementara banyak anak muda bahkan sulit membayar uang kuliah sarjana. Kontras seperti ini melukai rasa keadilan.

Krisis Representasi

Sumber masalah utamanya ada di partai politik. Tak apalah digeneralisasi sedemikian rupa sebab fakta memperlihatkan bahwa harapan rakyat banyak kepada partai politik tidak sebagus cerita-cerita dalam teori demokrasi. Rakyat tak benar-benar diwakili kecuali untuk kegiatan yang menjadi pipa uang ke kantong para anggota. Semuanyakah? Mungkin tidak! Namun di kurva normal jawabannya, “ya”, hanya intensitas dan kekentalannya yang berbeda.

Seharusnya partai menjadi penghubung aspirasi rakyat dengan kekuasaan. Namun yang terjadi, setelah seseorang masuk ke parlemen, ia cepat berubah menjadi bagian dari elit yang berjarak dengan rakyat. Adakah kelas sosial yang membedakan alit dari elit itu benar-benar ril? Yakinlah ada. Partai politik menjadi sponsor utama lahirnya sturktur kelas sosial politik yang menempatkan rakyat di kerak piramida sementara elit partai politik menjadi “bangsawan” baru di puncak piramida.

Bukankah sudah lama para petinggi partai tampil memberi permakluman sehingga praktik conflict of interest dianggap wajar di negeri yang katanya menganut demokrasi ini. Ada perkecualian terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk urusan ini, namun dalam hal elitisnya, setali tiga uang meski terlihat malu-malu.

Proses rekrutmen politik di partai juga bermasalah. Mereka lebih mengutamakan modal finansial dan kedekatan dengan elit ketimbang kapasitas intelektual dan integritas. Akibatnya, demokrasi kita dikuasai patronase, politik uang, dan dinasti. Kajian Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) menyebut kondisi ini sebagai politik oligarki—di mana kekuasaan hanya berputar di lingkaran sempit penyandang dana dan keluarga elit.

Elitisme dan Kemarahan Publik

Kemewahan fasilitas anggota DPR semakin menegaskan kesenjangan ini. Masyarakat sulit menerima jika wakil rakyat menikmati gaji dan tunjangan besar, sementara banyak warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.

Tidak heran muncul seruan ekstrem seperti “bubarkan DPR”. Tentu yang perlu dibubarkan bukan lembaganya, melainkan budaya elitisme dan perilaku hedon para anggotanya. Seperti kata ilmuwan politik Jeffrey Winters (2011), di banyak negara berkembang, elit politik cenderung lebih sibuk melindungi privilese mereka sendiri ketimbang memperjuangkan kepentingan publik.

Apakah perlu pemilu dipercepat agar sirkulasi elit segera berganti dan kemudian menjadi segar? Di disinilah letak krusialnya! Elit partai politik takkan ada yang sudi menerima gagasan ini. Sikap inilah yang mangantar rakyat untuk terpaksa membentur karang besar dalam demokrasi yang sedang merangkak dan tertatih di negeri ini. Rakyat akan mencari jalannya sendiri, meminjam kata Satjipto Rahardjo, karena sumbatannya sudah sangat sulit dibenahi.

Saatnya Berbenah

Partai politik harus segera berbenah jika tidak ingin kehilangan legitimasi. Ada beberapa langkah mendesak: Pertama, Rekrutmen berbasis integritas dan kapasitas. Partai harus menominasikan kader terbaik, bukan hanya yang punya modal besar. Kedua, Hidup sederhana. Wakil rakyat harus memberi teladan moral, bukan pamer kemewahan. Ketiga, Dekat dengan rakyat. Anggota dewan jangan hanya datang saat kampanye. Aspirasi harus diserap secara rutin. Keempat, Transparansi. Penggunaan anggaran dan fasilitas wajib terbuka, agar publik bisa mengawasi.

Demokrasi hanya bisa bertahan jika rakyat merasa benar-benar diwakili. Bila partai tetap abai maka ketidakpuasan publik bisa berubah menjadi krisis politik yang lebih besar. Elit partai di pemerintahan tak akan dipedulikan lagi meski menyajikan data mengenai kemajuan pembangunan secara masif. Ukuran-ukuran pertumbuhan tidak ada gunanya di hadapan kerdilnya rasa keadilan.

Seperti diingatkan Amartya Sen (1999), pembangunan sejati bukan soal pertumbuhan angka ekonomi, melainkan soal keadilan dan kebebasan rakyat. Itu berarti elit politik Indonesia harus berani hidup sederhana dan bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kelompoknya sendiri. Kalau tidak demikian, gagasan tentang demokrasi tanpa partai politik mungkin akan muncul lagi, meski tetap utopis bagi Indonesia yang majemuk.

Partai politik laksana masuk senjakala. Redupnya sudah terlihat makin bertambah. Partai yang kian terpersonifikasi pada elit dari kalangan keluarga atau kelompok tertentu menambah muak massal. Rasa muak rakyat terhadap perilaku partai politik inilah yang mungkin turut menjadi pencetus rusuh. Ringkasnya, partai politik harus bergegas untuk berbenah. Wallahu a’lam.

Penulis adalah Pendiri Poros Pemikiran dan Partisipasi Publik Indonesia (P4I)

Pos terkait