Oleh: Iin Octaviana Hutagaol (Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin)
Kehamilan remaja merupakan permasalahan kompleks yang memerlukan pendekatan komprehensif untuk mengatasi tantangan yang dihadapi ibu hamil berisiko. Secara global sekitar 14% remaja wanita mengalami kehamilan dan melahirkan sebelum usia 18 tahun (Unicef, 2022). Sekitar 5.000 wanita setiap hari atau lebih dari 1,5 juta remaja dan dewasa muda (Usia 10 sampai 24 tahun) meninggal dan 43 dari setiap 1000 bayi yang lahir di seluruh dunia setiap tahunnya adalah bayi yang dilahirkan dari remaja berusia antara 15 sampai 19 tahun. Setiap tahun, setidaknya 777.000 remaja wanita berusia di bawah 15 tahun dan sekitar 12 juta remaja wanita berusia diatas 15 sampai 19 tahun mengalami kehamilan dan melahirkan di negara berkembang (World Health Organization, 2023)
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, angka kelahiran spesifik usia untuk wanita usia 15-19 tahun mencapai 36 per 1000 wanita menikah (BPS, 2021), hal ini menjadi salah satu penyumbang kehamilan wanita pada usia remaja serta menyebabkan tingginya Total Fertility Rate (TFR) pada usia ini. Penyebab lain masih tingginya kehamilan yang terjadi pada usia remaja disebabkan karena pernikahan dini yang mengakibatkan kemungkinan hamil dan melahirkan dengan persentase terbesar kehamilan pertama sebesar 38,90% yang terjadi pada usia 17 tahun dan wanita yang menikah sebelum berusia 18 tahun sebesar 63,08% mengalami kehamilan (Kemen-PPPA, 2020).
Penelitian lain yang menjadi penyebab tingginya kehamilan remaja disebabkan beberapa faktor diantaranya melalui penelitian yang dilakukan di Etiopia kehamilan remaja berhubungan erat dengan wilayah tinggal di pedesaan dan penyebab kematian pada kehamilan remaja dominan terjadi saat hamil dan persalinan antara usia 15-19 tahun (Beyene et al., 2022). Penelitian lain yang dilakukan di Asia Selatan menunjukkan bahwa kejadian kehamilan usia remaja lebih sering terjadi di daerah yang menganut sistem budaya patrilineal, tingkat melek huruf yang rendah dan melakukan seksual dini berkaitan erat dengan kejadian kehamilan pada usia ini (Poudel et al., 2023).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), di antara perempuan usia 10-54 tahun yang sedang hamil, terdapat kehamilan dengan kategori usia yang sangat muda (<15 tahun), meskipun dengan proporsi yang sangat kecil (0,02%) khususnya di daerah perdesaan (0,03%). Sementara itu, proporsi kehamilan pada usia 15-19 tahun sebesar 1,97%, lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan. Persentase ibu yang melahirkan Anak Lahir Hidup (ALH) menurut kelompok umur < 20 tahun dan kehamilan pertama di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 45,47% persentase ini meningkat jika dibandingkan pada tahun 2021 sebesar 45,10%. Menurut Age Specific Fertility Rate (ASFR) tahun 2021 untuk wanita berusia 15 hingga 19 tahun, terdapat 20,49 kelahiran remaja untuk setiap 1.000 Wanita Usia Subur (WUS). Angka ASFR ini meningkat menjadi 26,64 per 1.000 wanita pada tahun 2022 (BKKBN, 2023). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 juga menyebut bahwa persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian dalam persalinan. Bahkan survei yang sama menyebut bahwa risiko kematian pada ibu di bawah usia 20 tahun jauh lebih tinggi dibanding pada ibu usia 20-39 tahun.
Tingginya resiko yang ditimbulkan dari kehamilan usia remaja menjadi masalah utama di sektor kesehatan ibu. Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam penanggulangan pernikahan dini untuk mencegah kehamilan yang mungkin terjadi salah satunya adalah menerbitkan Undang-Undang perkawinan Nomor 16 tahun 2019 dengan menaikan minimal usia menikah menjadi 19 tahun baik pada wanita maupun laki-laki. Namun hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kehamilan pada usia ini akan selalu ada, oleh karena itu dibutuhkan suatu strategi penanganan khusus untuk ibu hamil usia remaja yang mengalami kehamilan pada usia rentan ini untuk meningkatkan status kesehatannya selama hamil yakni dengan peningkatan perilaku perawatan diri yang optimal melalui pendampingan kader yang ada dimasyarakat.
Kehamilan pada usia ini dikaitkan dengan risiko komplikasi kesehatan baik untuk ibu maupun bayi. Kehamilan usia remaja dikaitkan dengan serangkaian dampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak, termasuk peningkatan risiko kelahiran prematur, Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan kematian ibu. Meskipun pemerintah Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan dan panduan terkait kesehatan ibu dan anak, peran dan partisipasi kader kesehatan dalam memberikan perawatan bagi ibu hamil berisiko, khususnya ibu hamil usia remaja masih kurang optimal. Rencana Aksi Nasional Kesehatan Ibu dan Anak (RAN KIA) serta Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan telah mengatur indikator terkait keterlibatan kader kesehatan. Namun, implementasinya di tingkat dasar masih memerlukan dukungan dan pemberdayaan yang lebih intensif.
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya memberikan layanan kesehatan yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan ibu hamil pada kelompok usia ini. Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang dapat meningkatkan partisipasi dan kapasitas dalam mendukung perawatan ibu hamil berisiko. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah melalui pemberdayaan dan partisipasi kader kesehatan di masyarakat dalam membantu ibu mendapatkan perawatan kehamilan dan pemberian dukungan yang sesuai usia bagi ibu hamil pada kelompok ini. Pemberdayaan kader masyarakat dibidang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan upaya untuk membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam mengatasi situasi gawat darurat dari aspek non klinis terkait kehamilan dan persalinan. Meskipun upaya-upaya ini sudah ada dalam meningkatkan perawatan ibu hamil pada kelompok beresiko ini namun partisipasi kader dalam hal ini masih belum optimal. Kurangnya pengakuan eksistensi kader dan pelatihan bagi kader kesehatan masyarakat dapat menjadi hambatan utama dalam memberikan perawatan yang efektif bagi ibu hamil pada kelompok ini.
Pentingnya partisipasi kader ini dalam perawatan diri ibu hamil beresiko (konteks ibu hamil usia remaja) memiliki maksud untuk:
- Akses Terhadap Perawatan Kesehatan: Kader kesehatan dapat menjadi jembatan antara ibu hamil dan layanan kesehatan yang tersedia. Ibu hamil usia remaja mungkin kesulitan mengakses layanan dan dukungan terhadap penggunaan layanan kesehatan penting karena tantangan sosial dan ekonomi yang umumnya dihadapi oleh ibu hamil pada kelompok ini. Tanpa program penjangkauan masyarakat yang dipimpin oleh kader dan sistem dukungan terpadu, hambatan terhadap layanan kesehatan ini akan terus berlanjut, sehingga mengakibatkan pelayanan kehamilan dan pascanatal menjadi kurang optimal bagi populasi rentan ini. Kader dapat membantu dalam memberikan informasi tentang kesehatan kehamilan dan akses ke fasilitas kesehatan yang diperlukan dan membantu mereka untuk mengakses perawatan medis yang diperlukan serta memastikan mereka mendapatkan kunjungan prenatal yang memadai.
- Pendidikan dan Pelatihan: Melalui pelatihan yang tepat, kader kesehatan masyarakat dapat diberdayakan untuk memberikan informasi yang akurat dan mendidik kepada ibu hamil pada kelompok ini tentang perawatan diri, gizi, serta pentingnya kunjungan prenatal secara teratur serta penanganan masalah kesehatan yang mungkin muncul selama kehamilan pada masa ini.
- Pendampingan dan Dukungan Psikologis: Kehamilan pada usia ini sering kali dihadapkan dengan stigmatisasi dan tekanan sosial. Ibu hamil usia ini mungkin akan menghadapi tantangan kesehatan emosional dan mental, tanpa adanya pemberdayaan dan dukungan yang difasilitasi oleh kader terlatih yang dikhususkan pada ibu hamil pada kelompok usia ini maka akan tercipta ruang aman untuk berbagi pengalaman dan penerimaan dukungan emosional, sehingga berdampak pada kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Kader kesehatan yang ada di masyarakat dapat memberikan dukungan emosional dan psikologis kepada ibu hamil usia remaja untuk membantu meningkatkan kesejahteraan mental mereka.
Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah daerah
- Dukungan dan Pengakuan (Alokasi Sumber Daya)
Pemerintah dan masyarakat dapat memberikan dukungan moral dan pengakuan terhadap kontribusi kader kesehatan masyarakat dalam meningkatkan kesehatan ibu hamil pada kelompok ini, sehingga mendorong motivasi dan keterlibatan mereka. Advokasi kebijakan yang memprioritaskan perawatan mandiri kehamilan remaja dan mengalokasikan sumber daya secara khusus untuk intervensi yang dipimpin oleh kader. Hal ini dapat mencakup pendanaan untuk program pelatihan, kegiatan penjangkauan masyarakat, dan pembentukan jaringan dukungan untuk ibu hamil usia remaja.
2. Fasilitasi pendampingan 1 kader untuk 1 ibu hamil beresiko (konteks kehamilan yang terjadi pada usia remaja)
Memastikan pendampingan oleh kader untuk ibu hamil, khususnya bagi ibu hamil kelompok berisiko ini. Fasilitasi ini diharapkan dapat menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan kegiatan pendampingan secara menyeluruh di tingkat Puskesmas
Dinas Kesehatan
Monitoring dan evaluasi
Dinas kesehatan terkait dapat melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan kegiatan partisipasi kader kesehatan, dengan fokus khusus pada upaya peningkatan kesehatan ibu hamil pada kelompok beresiko ini. Evaluasi ini dapat mencakup aspek-aspek seperti:
- Sejauh mana kader kesehatan terlibat dalam pendampingan
- Kualitas dan efektivitas intervensi yang dilakukan oleh kader
- Kendala dan tantangan yang dihadapi kader dalam menjangkau ibu hamil
- Dukungan dan pengakuan yang diterima kader dari pemerintah dan masyarakat
Tingkat Puskesmas
- Penguatan Pelatihan Kader:
Pihak puskesmas dapat bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga terkait untuk mengalokasikan sumber daya yang memadai guna melaksanakan pelatihan intensif bagi kader kesehatan masyarakat. Pelatihan ini sebaiknya mencakup aspek-aspek khusus terkait perawatan ibu hamil usia remaja, seperti:
- Pemahaman tentang kebutuhan dan tantangan kesehatan ibu hamil remaja
- Keterampilan konseling dan pendampingan yang sesuai dengan karakteristik remaja
- Penanganan komplikasi dan risiko kehamilan pada usia remaja
- Penguatan kapasitas kader dalam melakukan penjangkauan dan mobilisasi masyarakat
2. Promosi Kesadaran Masyarakat:
Pihak puskesmas dapat melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran kader kesehatan dalam membantu ibu mendapatkan perawatan kehamilan dan dukungan bagi ibu hamil beresiko (Konteks kehamilan remaja).