Oleh: Andika
Maudy Ayunda itu gambaran priyayi moderen yang cerdas memanfaatkan fasilitas. Tidak banyak orang Indonesia seperti dia. Pada usia 26 tahun mampu meraih gelar dua akademik di Stanford University Paman Sam. Bisa jadi, ada anak yang punya banyak kemewahan seperti dia tetapi justru berakhir di lembah tanpa tujuan hidup.
Tetapi kebanyakan dari kita, tidak mungkin membayangkan kuliah di Stanford apalagi Harvard, di tengah orang tua jungkir balik di kebun Kakao.
Melekatkan garis sukses usia 26 tahun menyandang gelar bukanlah cermin pendidikan yang pantas bagi bangsa kita. Membenahi pendidikan bukan dengan ukuran sukses menabung 500 juta di usia 26 tahun atau menyandang dua gelar akademik luar negeri pada usia yang sama.
Lebih dari itu, ia berkaitan erat dengan pembangunan karakter bangsa yang diharapkan. Pendidikan yang mampu menyesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh negara.
Sebagaimana Visi kebangsaan kita, mewujudkan Indonesia Maju, Bersatu, Adil dan Makmur. Tanpa menimbang hal ini sebagai kunci, maka sampai kapan pun tujuan pendidikan nasional tidak ada mampu melahirkan Indeks Pendidikan yang berdaya saing.
RESTORASI PENDIDIKAN
Pendidikan yang kita butuhkan adalah yang membangun National Character Building. Singkatnya, pendidikan yang menanamkan kembali nasionalisme pasca kolonial.
Untuk apa? Melahirkan generasi yang optimis, cerdas, dan punya semangat gotong royong.
Jalannya gampang sekali. Hapuskan pendidikan mewah dan mahal. Biarkan rakyat punya akses yang sama dan setara terhadap pendidikan.
Seperti kata Mandela, Pendidikan adalah senjata paling ampuh perubahan. Jika mencontoh Jepang, pasca kalah perang lawan NATO, mereka mengumpulkan guru dan memulai babak baru Jepang seperti yang kita saksikan 70 tahun terakhir.
Pemimpin boleh berganti dan datang yang baru dengan Visi Kemajuan seabrek. Tanpa menekankan pendidikan sebagai basis National Character Bulding, maka jembatan, jalan layang dan ratusan cerobong pabrik hanya akan menjadi menara kecemburuan sosial.
Anak bangsa tetap mengais Rejeki dipinggir pagar. Dan berita kota akan selalu dihiasi skandal tenaga kerja asing. Maka Indonesia Maju itu dimulai dari Pendidikan yang Gotong Royong, bukan jualan silabus dan pula harga selangit.
PENDIDIKAN GOTONG-ROYONG
Apa yang belum selesai dengan bangsa kita? Apalagi kalau bukan Pembangunan karakter nasional. Pembangunan karakter nasional bukan sekedar kluster kebijakan kebudayaan semata, tetapi ia melingkupi segenap arah pembangunan bangsa.
Episentrumnya tentu saja adalah dunia pendidikan. Dengan pendidikan lah, masa depan bangsa bisa kita bayangkan.
Pasca reformasi, karakter kebangsaan kita semakin terjerembab pada budaya “bebek”. Ketika Doraemon datang, kita jadi Doraemon,” begitulah masalah karakter kebangsaan kita.
Visi kebangsaan kita, yang berisi sebuah cita-cita ideal, semakin sulit menemukan bentuk yang pas, diterima oleh semua golongan sebagai karakter bangsa. Inilah sesungguhnya episentrum masalah pendidikan kita.
Formulasi yang ada merupakan cuplikan dari tiruan dan hasil-hasil belajar dari pertemuan global. Menjadikan anak-anak bangsa sasaran kebudayaan populer yang hibrid lewat perkembangan tekhnologi informasi.
Singkatnya, adalah di antara kita masih ingat apa itu gotong royong?***
*Penulis adalah aktivis-pegiat sosial, berdomisili di Palu, Sulawesi Tengah