Oleh: Nasrullah Muhammadong
Pada 22 Juni 1945, sebuah panitia kecil, bernama Panitia Sembilan, secara bulat menerima rumusan Pancasila dari Bung Karno. Namun, ada penambahan kalimat di sila pertamanya. Awalnya, “Ketuhanan”. Lalu ditambah dengan tujuh anak kalimat, sehingga berbunyi: “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya”.
Konon, salah seorang anggota Panitia Sembilan, bernama, AA.Maramis (non-muslim), ketika mendengar saran yang diajukan oleh kelompok Islam tersebut, langsung menjawab, “setuju 200 persen”.
Kesepakatan atas sila-sila pancasila dimaksud, selanjutnya, dituangkan ke dalam salah satu alinea Piagam Jakarta. Isi piagam inilah yang nantinya dijadikan pembukaan atau mukaddimah dari UUD yang akan disusun.
Informasi Laskar Jepang
Singkat cerita, dua bulan kemudian, di pagi hari, 18 Agustus 1945. Dibekas gedung Volksraad, Pejambon Jakarta (kini Gedung Pancasila), terjadi sebuah anti klimaks.
Moh. Hatta dari kelompok nasionalis, berdialog dengan tokoh-tokoh Islam. Ia menyampaikan, terbetik informasi yang disampaikan oleh seorang opsir Angkatan Laut Jepang, bahwa orang-orang kristen di Indonesia Timur, menolak bergabung dengan republik, jika apa yang menjadi poin-poin yang selama ini diperjuangkan oleh umat Islam, menjadi bagian dari konstitusi yang akan ditetapkan.
Atas informasi tersebut, Moh. Hatta memohon agar wakil Islam, dapat mencabut apa yang selama ini menjadi tuntutan mereka. Ini demi menjaga keutuhan persatuan. Jika tidak, sia-sialah perjuangan kemerdekaan kita selama ini.
Apakah terjadi perdebatan ketika itu? Tidak. Demi persatuan dari sebuah kemerdekaan yang baru saja diprolamirkan, tokoh-tokoh islam dengan penuh keikhlasan, rela mencabut “tujuh kata atau tujuh anak kalimat”, sebagaimana yang tertera dalam Piagam Jakarta dimaksud.
Pencabutan tujuh kata itu, diganti dengan frasa, “Yang Maha Esa” (setelah kata “Ketuhanan”). Jadi, redaksi yang disepakati adalah, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Figur Hatta
Dalam peristiwa 18 Agustus tersebut, kelihatannya figur Hatta sangat memainkan peran penting. Dengan piawai ia berhasil mendekati para tokoh islam.
Adnan Buyung Nasution, dalam disertasinya (yang telah dibukukan), berjudul, “Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia” (1995), menulis: sehari sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, dalam sidang PPKI, Hatta sekali lagi campur tangan dengan mengajukan usul untuk mengeluarkan ketujuh kata yang berkaitan dengan kewajiban penganut agama Islam untuk menjalankan syariat Islam.
Selanjutnya dikatakan, melalui kerjasama dengan para pemimpin islam yang diajak berunding sebelum sidang dimulai, ia berhasil mengubah sila terkait Ketuhanan, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu pula persyaratan pemeluk agama Islam bagi masyarakat Indonesia, juga dihapus dari rancangan Pasal 29 UUD 1945.
Memang, dalam hal lobi politik terhadap perwakilan Islam ketika itu, tokoh Hatta, maju selangkah dibandingkan dengan Bung Karno. Ketika Bung Karno menjadi penengah dan mencoba mendekati kalangan muslim untuk mencabut tuntutan mereka dari bunyi kalimat: “menjalankan syariat islam” dan “presiden harus orang Islam”, bujukan itu tidak berhasil.
Juga, ketika BPUPKI bersidang pada 16 Juli 1945. Bung Karno kala itu, justru balik membujuk kaum nasionalis untuk berkorban dan menerima tuntutan pihak Islam, dengan berkata, “Er Is grootheit in offer”. Kebesaran itu, berada dalam pengorbanan.
Berbagai Tanggapan
Namun, tetap saja ada yang mengkritik tindakan Moh. Hatta tersebut. Misalnya Ki Bagus Hadikusumo. Ia sangat kecewa dengan tindakan PPKI dan kelompok nasionalis-sekuler.
Juga ada yang memandang peristiwa itu sebagai kejanggalan sejarah. Benarkah informasi yang didapatkan Bung Hatta itu? Apakah masyarakat indonesia bagian timur (khususnya yang beragama kristen) memang benar berkeinginan demikian? Prawoto Mangkusasmito, misalnya, berkata, ini adalah history chevraag, atau pertanyaan sejarah.
Namun, empat dasawarsa kemudian, Alamsyah Ratu Prawiranegara, (menteri agama ketika itu), memberikan penilaian tersendiri. Ia berkata, Peristiwa 18 Agustus 1945 tersebut, adalah hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan Indonesia.
Ahmad Syafii Maarif dalam “Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (disertasi yang dibukukan: 1987), menyatakan, pernyataan Alamsyah tersebut, jika dibaca dalam konteks politik kontemporer Indonesia, barangkali dapat diartikan sebagai usaha untuk meyakinkan paham-paham tertentu, bahwa loyalitas umat Islam tidak perlu dipertanyakan lagi. Bukankah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, juga diilhami sepenuhnya oleh konsep Tauhid. ***
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara, pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu