Oleh: Edmond Leonardo Siahaan
Pascapenyerangan vila atau rumah singgah di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar) yang dijadikan tempat retret para remaja pada Jumat, 27 Juni 2025, 8 orang ditetapkan sebagai Tersangka (TSK). Awalnya 7 orang.
Anak-anak, remaja dan pendampingnya dalam kegiatan retret berjumlah sekitar 36 orang di vila yang dijaga oleh Maria Veronica Ninna (Nina). Akibat dari aksi penyerangan dan pengrusakan itu, anak-anak dan remaja saat ini dalam keadaan trauma. Bisa dibayangkan mereka diserang puluhan orang yang melakukan pengrusakan dan intimidasi.
Kegiatan retret ini dilaksanakan dalam mengisi liburan sekolah dengan program reflektif dan kegiatan yang dikemas melalui permainan. Hal yang sering dilakukan oleh anak-anak dan remaja gereja, bahkan untuk kalangan dewasa.
Namun puluhan warga datang dan membubarkan paksa acara retret tersebut, dengan alasan rumah singgah atau vila itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Ironisnya pembubaran itu disertai dengan aksi pengrusakan dan intimidasi kepada peserta retret.
Kegiatan apapun dalam agama Kristen, bukan hanya retret, selalu dimulai dengan ibadah singkat: berdoa dan menyanyikan beberapa lagu pujian atau rohani sebelum kegiatan dimulai. Pun demikian dengan kegiatan Ibadah Padang atau ibadah yang digelar ditempat terbuka.
Kegiatan ibadah singkat inilah yang disangka oleh Kepala Desa (Kades) Tangkil dan para pelaku pengrusakan sebagai ibadah layaknya dalam gereja.
Aksi pengrusakan yang mengakibatkan seisi rumah rusak dan intimidasi kepada anak-anak dan remaja ini sontak membuat geram publik, di tengah langkah pemerintah membentuk Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM).
Tak pandang publik yang awam hukum, ataupun pandai hukum, semua marah dan kecewa atas penyerangan itu, apalagi penetapan TSK yang diglorifikasi sebagai penegakan hukum—cuma memamerkan awalnya 7 orang saja dari sekian puluh orang yang nampak jelas dalam video yang beredar.
Beberapa saat sebelumnya, Gubernur Jawa Barat (Jabar) yang dikenal dengan panggilan Kang Dedi Mulyadi (KDM), menyambangi vila yang digeruduk itu. KDM memberi bantuan uang tunai sebesar 100 juta rupiah, sembari berdialog dengan pemilik rumah singgah atau vila dan warga sekitar untuk menunjukkan toleransi yang selama ini terbangun.
Pemilik vila atau rumah singgah pun melakukan hal yang sama, untuk menunjukkan toleransi yang terbangun selama ini, ia menyumbangkan uang hasil sumbangan KDM tersebut.
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sukabumi tak kalah gesit, mereka memproduksi video yang berisi pernyataan sikap yang dibaca bersama—yang pointnya soal toleransi yang “Terjaga baik”.
Di satu sisi, atraksi KDM ini pun sontak menuai pujian publik di Media Sosial (Medsos), ada pula yang tetap menginginkan penegakan hukum, ada pula yang menganggap biasa saja.
Kalau dibuat dalam angka-angka atau prosentase, tidak ada angka pasti yang tergambarkan, karena tidak ada lembaga survei atau media massa yang melalukan survei.
Bagi saya, atraksi populisme dalam menyelesaikan masalah seperti merusak kegiatan ibadah seperti ini, tidak menyelesaikan akar soal yang selama ini kerap terjadi di Jabar.
Sebagai hak dasar yang dijamin oleh negara lewat pemerintah yang berkuasa. Maka negara harus bertanggungjawab untuk pemenuhannya. Tidak ada tafsir lain soal hak dan kewajiban ini.
Karena perusakan kegiatan beribadah yang menimpa kaum minoritas di Jabar ini—telah terjadi berulang kali. Maka seharusnya negara lewat pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar, mendorong perlindungan yang lebih nyata lagi, lebih implementatif. Sehingga perlindungan atas hak menjalankan ibadah itu lebih nyata dan terasa.
Sayangnya, praktik yang dipertontonkan oleh negara justeru kebalikannya: sebagai penjamin atas 7 orang TSK pelaku pengrusakan villa. Saat ini TSK berjumlah 8 orang.
Banyak sekali diksi “Ilmiah” yang disampaikan Staf Khusus Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) dalam video yang beredar: keadilan, banyak jalan menuju keadilan, restorative justice, penjamin, penangguhan.
Bagi masyarakat awam hukum, istilah-istilah hukum itu terdengar keren dan ilmiah. Padahal bila dikupas satu-persatu, lebih mirip gado-gado yang diulek dalam satu ulekan.
Kementerian HAM membangun framing bahwa penangguhan penahanan atas para TSK—adalah jalan damai terbaik. Termasuk Restorative Justice (RJ) yang dianggap adil.
RJ bukanlah jalan mendapatkan keadilan, bagi para TSK mungkin itu adil, tapi bagi para korban remaja yang melaksanakan restret, ataukah pemilik vila ini sebuah keadilan, sekalipun telah ada ganti rugi dari Gubernur Jabar.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28E berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan san pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Jelas bahwa beribadat menurut agamanya adalah hak.
Selanjutnya, dalam Pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sedangkan dalam UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 berbunyi: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu. 2) Negara menjamin kemersekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing san untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Memeluk agama dan beribadat menurut agamanya adalah hak dasar yang diakui secara universal dan dilindungi oleh hukum internasional dan banyak negara, termasuk Indonesia yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifiksi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenan on Civil and Political Rights Pasal 18 ayat 1 sampai 4 juga menjamin kebebasan kegiatan ibadah dan beragama.
Langkah Kementerian HAM yang maju sebagai penjamin dan akan meminta RJ, dapat disimpulkan sebagai intervensi hukum. Bukan saja merusakan penegakan hukum, tapi juga merusak UUD 1945 dan kewajiban negara untuk pemenuhan HAM, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat 4: “Perlindungan, pengakuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.”
Kelakuan Staf Khusus Kementerian HAM justeru menggambarkan kedunguan atas pengetahuan HAM itu sendiri. Dengan kelakuan begini maka wajar bila Kementerian HAM sebaiknya dihapus saja dan diganti namanya menjadi Kementerian Intervensi Hukum.
Negara lewat perintah yang berkuasa gagal melindungi warga negaranya seperti yang berbunyi dalam UUD 1945 Pasal 28G: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Jawa Barat sebesar 35.714.901 pemilih, menjadikan Jabar sebagai peringkat pertama jauh melampaui jumlah DPT Jawa Timur 31.402.838, Jawa Tengah 28.289.413, Banten 842.646, DKI Jakarta 8.252.897, DI Yogyakarta 2.870.974. Tentu sangat menggoda untuk para politisi.
Jumlah DPT yang besar itu membuat para politisi untuk melakukan akrobat populisme, guna mendongkrak popularitas sebagai tabungan di Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2029 nanti.
Tentu saja akrobat-akrobat populisme itu tidak menyelesaikan akar masalah yang berkaitan dengan penyerangan dan intimidasi orang yang sedang beribadah.
Tindak pidana yang menghalangi warga negara menjalankan ibadatnya, adalah pelanggaran HAM. Bukan perkara yang bisa seenak perut bisa diselesaikan dengan cara mengintervensi penegakan hukum dengan judul Reatorative Justice dan keadilan. ***
Penulis adalah Advokat, mantan Koordinator KontraS dan Pendiri LBH Sulawesi Tengah