Oleh: Ahmad Imam Abdullah (Dosen Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Tadulako)
Secara geografis, Teluk Palu merupakan perairan laut yang menjorok ke arah daratan Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Garis pantai Teluk Palu berada pada batas administrasi Kota Palu dan Kabupaten Donggala, dengan panjang keliling ± 67 km, lebar 6 – 9.5 km (orientasi barat – timur), dan panjang ± 30.5 km (orientasi utara – selatan), dan kedalaman teluk mencapai 600 – 850 m.
Kejadian tsunami di perairan Teluk Palu dan sekitarnya telah terjadi 6 kali (tanggal 14/05/1921; tanggal 12/01/1927; tanggal 20/05/1938; tanggal 14/08/1968; tanggal 01/01/1996) + 1 kali (tanggal 28/09/2018) dalam kurun waktu 1921 – 2018 atau 97 tahun (Abdullah, 2017; BMKG, 2018; Mikami, dkk., 2019). Spesifik di Teluk Palu 3 kali tsunami terjadi yaitu tanggal 12/01/1927, tanggal 20/05/1938, dan tanggal 28/09/2018. Hal ini menjadikan Teluk Palu sebagai perairan yang memiliki frekuensi kejadian tsunami tertinggi tidak hanya di Indonesia tetapi dunia.
Tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018 telah menarik perhatian dalam diskusi ilmiah internasional, terutama pembahasan mengenai kepastian sumber pembangkit tsunami. Beberapa waktu setelah gempa, banyak peneliti yang melakukan penelitian dengan cara survei langsung, mengamati rekaman video, memanfaatkan data digital topografi dan citra satelit, melakukan pemodelan numerik, hingga melakukan wawancara kepada saksi mata. Ada dua kemungkinan sumber pembangkit tsunami Teluk Palu, yaitu deformasi strike-slip dasar laut dan longsor, namun tsunami yang menghancurkan terkait dengan gempa bumi strike-slip bawah laut jarang terjadi. Biasanya, gempabumi menyebabkan perpindahan vertikal dasar laut yang menghasilkan tsunami dengan panjang gelombang yang lebih panjang dan periode yang lebih lama daripada yang dihasilkan oleh tanah longsor. Bukti sejauh ini tampaknya menunjuk longsor di wilayah pesisir ataupun dasar laut sebagai pemicu gelombang tsunami yang disaksikan.
Pada saat gempabumi besar terjadi, biasanya sering diikuti dengan ground motion yang berupa gerakan pengangkatan muka tanah (uplift) dan penurunan muka tanah (downlift). Pada kasus tsunami Teluk Palu pada 28 September 2018, istilah downlift dapat mewakili isitilah land subsidence, coastal landslide, dan cliff collapse (coastal collapse), di mana muka tanah turun hingga hilang ke bawah laut. Besar penurunan tanah sekitar 1 m, di dekat teluk area Kota Palu. Hal ini disertai dengan kenampakan bidang permukaan tanah yang hilang di sepanjang garis pantai Teluk Palu setelah gempabumi. Kejadian ini dapat dapat disebabkan oleh efek guncangan gempa, efek likuifaksi pinggir pantai yang disertai pengaruh gravitasi, atau dapat pula disebabkan oleh gelombang tsunami yang mendorong sambil mengangkat tanah ke arah darat atau menyapu mengambil tanah tersebut kembali ke arah laut.
Longsor yang disebabkan oleh guncangan gempabumi, mengakibatkan amblesan pantai di berbagai lokasi, sehingga menghasilkan muka gelombang dengan tinggi dengan karakter anomali yang tidak seperti biasanya. Gerakan downlift ini, dicurigai menjadi pembangkit tsunami-tsunami lokal setempatnya, akibat rangsangan dari massa material runtuhan atau penurunan ke massa air laut.
Faktor geometri Teluk Palu tampaknya juga berkontribusi pada kejadian longsoran di dalam laut atau pinggir pantai. Menurut Liu, dkk. (2020) kemiringan batimetri di sepanjang pantai timur dan barat begitu curam (masing-masing 1:2.5 dan 1:1.6). Saluran air yang lebih dalam muncul di sekitar garis tengah teluk dengan kedalaman yang semakin meningkat menuju pintu masuk teluk. Dengan karakter geometri Teluk Palu yang berlereng tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor gravitasi dan guncangan gempa dapat membuat kegagalan slope di Teluk Palu yaitu fenomena downlift dari berbagai macam jenisnya yang menghilangkan sejumlah permukaan bidang tanah di wilayah garis pantai Teluk Palu.
Bukti lainnya bahwa tsunami kemungkinan dibangkitkan karena downlift atau coastal landslide terekam di bagian barat Teluk Palu oleh pilot pesawat Batik Air saat detik-detik gempa 28 September 2018 yang menunjukkan gelombang air putih hasil dari downlift. Lokasi tersebut berada di wilayah Benteng-Buluri, Watusampu, Tamunggu, Loli Saluran, Loli dan Loli Pesua. Tampak ketika longsoran terjadi, air terpercik ke atas yang berwarna cokelat karena telah bercampur dengan tanah, kemudian di bagian depannya air melempem ke bawah dan membentuk muka gelombang yang akan merambat ke arah utara. Dengan analogi seperti itu tsunami di titik-titik lainnya juga dibangkitkan dengan mekanisme yang sama.
Berdasarkan hasil identifikasi yang penulis lakukan, ditemukan 28 area lokasi permukaan bidang tanah yang hilang, 9 lokasi di bagian timur, 6 lokasi di bagian selatan atau tengah, dan 13 lokasi di bagian barat, di mana luas daratan yang hilang yaitu kurang lebih 411,450 m2 = 41.15 Ha. Gambaran luas tanah hilang tersebut setara dengan gabungan luas lahan Fak. MIPA, Fak. Teknik, Pascasarjana, Fak. Kedokteran, Fak. Kesehatan Masyarakat, Fak. Peternakan dan Perikanan, Fak. Kehutanan, dan Fak. Pertanian di kampus Universitas Tadulako. Permukaan tanah yang hilang tersebut lebih dominan terjadi di area muara sebagai lokasi pengendapan akhir material sungai dan area penimbunan.
Permukaan tanah yang hilang merupakan lokasi coastal landslide yang bersesuaian dengan lokasi tsunami. Lokasi yang dimaksud berada di wilayah pantai Tanjung Karang, Donggala bagian kota, Taman Gonengganti Donggala, Nambo, Kabonga Besar, Panggang, Pariga, Loli Dondo, Loli Pesua, Loli, Loli Saluran, Tamunggu, Watusampu, Benteng-Buluri, Tipo, Silae, Ruko-Palu Grand Mall (PGM), Kampung Lere, Hotel Mercure, Stasion TVRI, Jembatan Kuning-Anjungan, Pusat Rekreasi Masyarakat (PRM) – Penggaraman Talise, Kampung Nelayan – Cafe Refans, Tondo, Citraland, Pergudangan, Mamboro, Taipa, Bamba, PLTU, Pantoloan, Panda, Tongge, Wani, Labuan, Lero, Bulu Kadia, Marana, Kavaya, Enu, Kaliburu, Alindau, Tondo-Sirenja, Tanjung Padang-Tompe, Lende, Mapaga dan sekitar Tambu yang menyebrangi pangkal pantai Balaesang Tanjung (lihat BMKG, 2018; Arikawa, dkk., 2018; Mikami, dkk., 2019; Omira, dkk., 2019, Widiyanto, dkk., 2019).
Jadi, pantai di sekitar Palu hingga bagian utara telah dilanda tsunami yang match dengan lokasi downlift/coastal landslide. Hasil tersebut mencerminkan adanya hubungan sebab akibat. Dimulai dari pergeseran sesar Palu-Koro yang tak lama kemudian menimbulkan gempabumi M = 7.5, dari gempa kemudian menghasilkan guncangan yang sangat kuat sehingga menggegerkan tebing-tebing lereng Teluk Palu dan sekitarnya sehingga terjadi luncuran massa, dari pengaruh massa tersebut kemudian merangsang massa air laut untuk merambat ke segala arah yang mengahasilkan muka gelombang laut baru diantaranya, terjadi refleksi dan superposisi antar gelombang dan saling menguatkan, sehingga gelombang laut tersebut datang silih berganti serta datang dengan ukuran yang tinggi, lalu kemudian tiba di garis pantai Teluk Palu dan sekitarnya, masuk ke daratan merobohkan pohon-pohon, menghancurkan segala infrastruktur atau bangunan apa yang ada di depannya, dan menghanyutkan manusia. Gelombang laut yang begitu mengerikan inilah sebagai catatan tsunami Teluk Palu yang menjadi sejarah paling memilukan bagi keluarga para korban, bagi penduduk Kota Palu, bagi Indonesia dan bahkan dunia yang telah terjadi pada tanggal 28 September 2018.
Heridarzadeh, dkk. (2018) merangkum data level permukaan laut pada dua stasion yaitu Pantoloan yang terletak di dalam Teluk Palu dan Mamuju yang berada di luar Teluk Palu atau berada di Provinsi Sulawesi Barat. Pada 28 September 2018, tercatat gelombang yang tinggi tiba-tiba masing-masing 380 cm di Pantoloan dan 24 cm di Mamuju. Catatan di Pantoloan 16 kali lebih besar dari Mamuju, di mana waktu kedatangan masing-masing 5 menit dan 19 menit. Kemudian, periode gelombang dominan yaitu masing-masing 3-4 menit dan 10-12 menit, dan dari pemeriksaan bentuk sinyal gelombang tersebut menunjukkan periode dominan gelombang Pantoloan 3 kali lebih panjang dibanding dari Mamuju. Sedangkan catatan dari Pelabuhan Lahat Datu di Pulau Kalimantan – Malaysia, tidak menunjukkan adanya anomali yang signfikan. Rekaman data pasang air laut ini menjelaskan tentang adanya kenaikan muka air laut di Teluk Palu secara signifikan dan tiba-tiba, yang ternyata merupakan sinyal gelombang tsunami.
Terdapat banyak video yang merekam tsunami 28 September 2018, yang dapat diperoleh dari internet/youtube maupun kiriman-kiriman video via Whatsapp pada pasca kejadian. Salah satunya video rekaman tsunami di restoran Kampung Nelayan (KN) dan yang berada di permukiman dekat Pelabuhan Wani (PW). Video-video tersebut dipilih, karena dalam rekaman CCTV terdapat waktu yang menunjukkan saat-saat gempa dan tsunami yang paling jelas untuk ditandai. Jika kita snapshoot masing-masing video dari KN, diperoleh interval waktu kejadian setelah gempa kemudian terjadi tsunami yaitu 1:43 menit hingga 2:02 menit, sedangkan video dari PW yaitu diperoleh interval waktu kejadian setelah gempa kemudian tsunami yaitu 3:35 menit hingga 3:36 menit. Perbedaan waktu tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti mekanisme sumber dan lokasi longsoran yang berbeda di kedua lokasi, faktor penghalang seperti terdapat tanggul, perumahan, kapal, serta jarak antara KN dan PW dari garis pantai. Di sini, kita bisa mengambil hikmah yaitu tsunami tiba sangat cepat, hanya sekitar 1.5 – 3.5 menit setelah terjadi gempa.
Selain coastal landslide dan tsunami, juga terjadi banjir pantai di Teluk Palu, terdapat di wilayah Silae, Lere, Besusu Barat. Air laut menggenangi hingga Jl. Dipenogoro, menyebrangi Jl. Cumi-cumi samping Jembatan IV, dan tampak pula naik di sekitar ex-taman bermain anjungan Pantai Talise. Kemungkinan banjir pantai di wilayah ini disebabkan oleh daratan Cekungan Palu yang telah mengalami penurun, dan/atau terdapat sejumlah titik di tepi-tepi pantai yang mengalami downlift atau coastal landslide, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Fenomena-fenomena tersebut mengakibatkan muka tanah turun dan garis pantai mundur. Sehingga memungkinan air laut untuk naik atau menuju menggenangi daratan ketika terjadi pasang atau pada periode tertentu. Saat ini, pasangnya sudah tidak sesignfikan dulu pada saat awal-awal pasca gempa, namun jejak (histori) jangkauan genangannya (inundasi) merupakan data berharga sebagai peringatan bagi pembangunan ke depan. Bahkan efek banjir pantai ini masih dapat menghasilkan fenomena turunan lainnya baik perubahan roman morfologi pantai dikarenakan abrasi, maupun gangguan kualitas air tanah dikarenakan intrusi air laut, hingga permasalahan gangguan kesehatan masyarakat.
Demikian profil bencana alam yang ada di Teluk Palu, terdapat bahaya longsoran pinggir pantai, efek likuifaksi, tsunami, banjir pantai, dan turunan lainnya seperti abrasi dan intrusi air laut secara perlahan-lahan yang tergambarkan dari histori bencana Gempabumi Donggala Mw 7.5 pada 2018. Kita sadar akan banyaknya ancaman bahaya alam tersebut dibalik pesonanya Teluk Palu. Semestinya pemanfaatan ruang, terutama di wilayah pantai perlu menerapakan sistem mitigasi bencana khusus di kawasan pantai Teluk Palu, membangun bangunan pelindung pantai yang ideal, mengoptimalkan peringatan dini, membuat jalur evakuasi, menegakkan peraturan dan lain sebagainya yang “bukan kelas main-main”. Hal ini dapat terwujud jika implementasi rencana tersebut berangkat dari hasil penelitian ilmiah yang akurat terhadap kondisi oseanografi fisik, geoteknik, struktur bangunan, pola ruang, dan aspek sosial. ***