Puasa dan Kesadaran Lingkungan

Oleh: Muhammad Patri Arifin (Dosen UIN Datokarama Palu, Pengasuh Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu)

Keberhasilan Kota Palu meraih Piala Adipura untuk pertama kalinya beberapa waktu lalu, menjadi sebuah pencapaian gemilang yang tidak hanya mencerminkan kemajuan dalam pembangunan infrastruktur dan layanan publik, tetapi juga menandai kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk pemulihan pasca-bencana alam, Kota Palu telah menunjukkan komitmen yang baik dalam membangun kembali dengan memperhatikan prinsip-prinsip kebersihan lingkungan. Kesuksesan ini tidak hanya menjadi prestasi bagi pemerintah daerah, tetapi juga melahirkan semangat bagi seluruh masyarakat untuk bersatu dalam menjaga keindahan dan keberlanjutan lingkungan tempat mereka tinggal.

Kemajuan ini membuat momentum puasa dalam konteks kesadaran lingkungan di Kota Palu menjadi lebih berarti. Sebab puasa bukan sekadar ibadah semata, melainkan juga sebuah proses refleksi mendalam tentang hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dalam konteks spiritual, puasa bukan sekadar menahan diri dari aspek fisik seperti makan dan minum. Lebih dari itu, puasa adalah perjalanan mendalam menuju takwa, yang tidak hanya terkait dengan ancaman siksaan akhirat, melainkan juga bersinggungan dengan realitas dunia yang kita tempati, mencakup tanggung jawab sosial dan kesadaran lingkungan.

Puasa dan Takwa: Pengendalian Diri Menuju Kesadaran Spritual

Definisi puasa secara bahasa dan konsep takwa memiliki hubungan yang sama pada makna dasar dari kedua kata tersebut, yaitu menahan atau mengendalikan diri. Dalam bahasa Arab, kata puasa berasal dari kata “sawm” (صَوْم), yang secara harfiah berarti “imsak” (امساك) atau menahan diri dari sesuatu, seperti makan dan minum selama periode tertentu. Di sisi lain, takwa berasal dari kata “wiqayah” (وقَايَة), yang memiliki akar makna perlindungan atau menjaga diri. 

Puasa, dengan makna dasarnya yang berarti menahan diri, sejalan dengan konsep takwa yang juga menekankan pada pengendalian diri. Jika puasa adalah upaya untuk menahan diri dari kebutuhan fisik seperti makan dan minum, maka takwa adalah perlindungan diri dari segala hal yang dapat menjauhkan manusia dari kebenaran dan ridha Allah. Ini menunjukkan bahwa kedua istilah ini, baik secara bahasa maupun konseptual, memiliki kesamaan dalam esensi pengendalian diri yang menjadi pangkal bagi kesadaran spiritual.

Dalam praktiknya, puasa mengajarkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu dan kebutuhan fisiknya. Ketika seseorang menahan diri dari makan dan minum selama puasa, ia juga sedang melatih dirinya untuk mengendalikan dorongan hawa nafsunya yang lain, seperti kemarahan, keserakahan, dan hawa nafsu lain yang dapat mengganggu keseimbangan spiritualnya. Ini sejalan dengan prinsip takwa, yang menuntut agar manusia senantiasa waspada terhadap pengaruh negatif di sekitarnya dan berusaha untuk menjauhinya.

Sebagai konsekuensinya, puasa dan takwa saling melengkapi dalam pembentukan karakter dan perilaku manusia. Puasa, dengan pengendalian dirinya yang berfokus pada aspek fisik, membantu membentuk disiplin dan kekuatan diri yang diperlukan dalam menjalankan perintah Allah dengan baik. Di sisi lain, takwa, dengan fokusnya pada perlindungan diri dari pengaruh negatif, membantu manusia untuk menjaga hati dan perilakunya agar selalu sejalan dengan kehendak Allah. Dengan demikian, kedua konsep ini berperan penting dalam membimbing manusia menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

Kesimpulannya, hubungan antara puasa dan takwa tidak hanya bersifat linguistik, melainkan juga konseptual. Keduanya memiliki akar yang sama dalam makna dasar pengendalian diri, yang kemudian mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang ketaatan dan kesadaran spiritual. Dengan memahami hubungan ini, manusia dapat lebih baik mengintegrasikan nilai-nilai puasa dan takwa dalam kehidupan sehari-hari, menuju perjalanan spiritual yang lebih bermakna dan berarti.

Dari Kesadaran Spritual Menuju Kesadaran Lingkungan

Puasa sebagai praktik menahan, menjadi bentuk konkret dari takwa. Menahan diri dari kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman adalah langkah awal menuju kendali diri yang lebih baik. Puasa memberikan kesempatan untuk merefleksikan kehidupan, memahami nilai-nilai spiritual, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Dalam perjalanan ini, takwa menjadi pusat dari setiap tindakan, mengajarkan bahwa ketaatan bukan hanya terbatas pada aspek ritual, melainkan meresap dalam setiap sisi kehidupan.

Mencermati makna dari istilah takwa, dalam praktiknya perintah atau istilah اتَّقِ الله “ittaqillah” (bertakwalah kepada Allah) yang masyhur kita dengar dalam Al-Qur’an, secara teks kebahasaan dapat dimaknai “hindari, jauhi, atau jagalah dirimu dari Allah”. Tentu saja makna ini tidak lurus atau keliru, karenanya ulama menyisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata “siksa” atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.   

Siksaan tersebut dapat termanifestasi dalam dua bentuk, yakni siksaan akhirat dan siksaan dunia. Siksaan akhirat terkait erat dengan perintah Tuhan yang bersifat ibadah ritual, sebuah kewajiban yang sifatnya mahdah (spesifik) dan menuntut ketaatan mutlak. Sedangkan siksaan dunia, sebagai akibat dari pelanggaran terhadap hukum alam dan norma sosial, merupakan dampak dari ketidaktaatan manusia terhadap kebijaksanaan Tuhan.

Siksaan dunia yang timbul dari pelanggaran terhadap hukum alam memberikan dimensi baru pada konsep takwa. Bodoh bukan hanya sebuah kebodohan intelektual, melainkan siksaan dari ketidakmauan belajar dan menggali pengetahuan. Banjir, yang seringkali menjadi bencana alam akibat membuang sampah sembarangan, adalah bukti dari siksaan dunia sebagai hasil dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya.

Siksaan dunia juga dapat terwujud dalam bentuk bencana alam seperti longsor, yang seringkali dipicu oleh penebangan pohon sembarangan atau mengeksploitasi sumber daya tanah secara tidak terkendali. Alam mengajarkan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan ketidakseimbangan ekosistem dapat membawa dampak serius bagi kehidupan manusia. Puasa, dalam konteks ini, mengajarkan bahwa takwa tidak hanya terbatas pada hubungan vertikal dengan Tuhan, melainkan juga horizontal dengan sesama makhluk ciptaan-Nya.

Dalam konteks puasa dan takwa, hubungan manusia dengan alam seolah menjadi cermin dari hubungan manusia dengan Tuhan. Menghormati dan menjaga lingkungan adalah ekspresi dari takwa yang tercermin dalam kepedulian terhadap ciptaan Tuhan. Puasa mengajarkan kita untuk menjadi makhluk yang bertanggung jawab, tidak hanya terhadap Tuhan, tetapi juga terhadap lingkungan sekitar. Kesadaran lingkungan bukanlah sekadar tren atau gerakan sosial, melainkan bagian integral dari perjalanan spiritual dan takwa.***

Pos terkait