Oleh: Maslahul Falah
Pada Senin, 14 Juli 2025, penulis berkesempatan ikut menyaksikan segenap pemangku kepentingan Sekolah Rakyat (SR) mangayubagya para siswa SR di SMK Negeri Maritim yang berlokasi di Brondong Lamongan Jawa Timur. Para siswa ini berasal dari desa desa di Kabupaten Lamongan. Kedatangan mereka ini diantar orang tua atau walinya dan para pendamping sosial Program Keluarga Harapan (PKH) serta pihak lain yang terkait dengan SR ini.
SR merupakan bagian dari implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Dalam laman resmi Kementerian Sosial yang dirilis pada 9 April 2025 Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyatakan bahwa SR merupakan salah satu program unggulan yang diatur dalam Inpres ini, yang dirancang untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendekatan pendidikan.
Puncak Everest
Lahirnya SR tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Presiden RI, Prabowo Subianto. Sejenak kita membuka lembaran kisah masa lalu yang positif. Secara singkat kisah pada Sabtu, 26 April 1997 yang diuraikan kembali oleh Rhenald Kasali (2016) memantik kembali optimisme dan menemukan relevansi dengan SR ini. Saat itu, Asmujiono berhasil mengibarkan Merah Putih dan menyanyikan lagu Padamu Negeri di puncak tertinggi dunia dan sekaligus menjadi orang Asia Tenggara pertama yang berhasil mencapai Puncak Everest.
Kisah Puncak Everest ini pada mulanya berbalut antara optimisme dan pesimisme. Pesimisme lahir dari Anatoli Boukreev. Sedangkan optimisme digelorakan oleh Danjen Kopassus saat itu, Prabowo Subianto. Optimisme yang “menang” dan sejarah Indonesia mencatat peristiwa ini. Dari kisah Puncak Everest ini, Rhenald Kasali (2026) menggoreskan tinta : “Betapa ambisi, visi, dan mimpi besar bisa memacu kita untuk merealisasikan hal yang hampir mustahil menjadi mungkin. Maka, penting bagi para pemimpin untuk bisa menggulirkan gairah dan semangat kepada anak buahnya.”
Sekolah Rakyat
Kini, SR menambah deretan lembaga pendidikan di Indonesia. Kritik pun dialamatkan ke SR. Pujian pun datang menghampiri SR. Memang ada perbedaan konteks antara kisah heroik Puncak Everest dengan SR ini. Namun, ada mata rantai pemikiran optimisme yang perlu dihidupsuburkan untuk kebaikan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia.
SR lahir dari idealisme dan optimisme untuk sumber daya manusia bangsa yang lebih berkualitas pada masanya. Murid murid SR memang berasal dari keluarga yang dikategorikan hidup dalam kemiskinan. Walau ada kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan sekolah di lembaga pendidikan pada umumnya, tapi SR memberikan peluang lebih besar sebagai wadah pendidikan bagi mereka ini.
Eksistensi SR hari ini untuk untuk masa depan keluarga yang lebih cerah. Yang juga menatap optimisme menjadi pemutus mata rantai kemiskinan dalam keluarga mereka ini. Dan yang lebih penting juga adalah dari rahim SR ini harapan akan dilahirkan anak bangsa yang berjiwa patriot untuk “bertarung” dalam kehidupan di masa yang akan datang.
Meminjam bahasa Djamaluddin Ancok (2003) yang dikutipnya dari Maynard dan Mehrtens bahwa kita ini menikmati hidup dalam gelombang keempat (fourth wave). Gelombang keempat ini merupakan era yang ditandai oleh semakin intensifnya pemanfaatan teknologi komputer, dan semakin canggihnya perangkat teknologi informasi. Bahkan hidup pada era ini tidak lagi hanya terfokus pada kelangsungan hidup manusia, tetapi juga kelangsungan hidup alam yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia.
Meskipun kemungkinan juga nanti akan lahir gelombang baru dengan model dan corak yang baru pula, penyiapan sumber daya manusia untuk hidup dan mengelola kehidupan di masanya menemukan relevansinya. Dalam konteks ini, lahirnya “jabang bayi” SR tidak menjadi beban bagi Pemerintah dan masyarakat.
Ungkapan Arab ini: syubbanul yaum rijalul ghad, pemuda hari ini adalah orang dewasa esok hari, memacu semangat para orang tua atau wali murid SR juga bagi pamangku kepentingan. Anak anak bangsa yang sekarang sedang berjibaku menempuh pendidikan di SR ini akan mengarungi hidup dan ikut memandu (paling tidak keluarga mereka) dalam rentetan gelombang keempat ini dan gelombang gelombang kehidupan yang akan timbul. Dan dari SR ini diasakan akan lahir pemimpin yang mumpuni bersama menbawa Indonesia menuju kejayaan, kesejahteraan.
Di tengah memajang berjuta harapan terhadap SR, dalam ranah kebijakan politik SR ini perlu dukungan sosial dan politik yang berkesinambungan dan secara tulus. Bahkan kalau rezim berganti sekalipun, SR tetaplah berdiri kokoh dan akan semakin matang dan lebih bagus dalam berbagai hal yang berkaitan dengannya. Bukankah keberadaan SR tidak semata berkaitan dengan kemiskinan? ***
Penulis adalah Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI bertugas di Kabupaten Lamongan Jawa Timur
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pendapat dan cerminan kependampingan PKH