Oleh: Ibnu Mundzir (Birokrat Pemkot Palu)
Setiap Ramadhan datang, maka antusiasme serta semangat untuk mengisinya dengan berbagai list amalan, baik yang sifatnya mahdah maupun khairu makhdah, sedang berada pada titik kulminasi tertinggi, walupun masih dalam tataran niat. Ini bisa dikonfirmasi dari berbagai venue dan ragam laku kebaikan yang terdemonstarsikan secara massal, seperti masjid yang ramai jamaah dan riuh bacaan quran di rumah ataupun di masjid, dan sebagainya.
Kebaikan yang beragam tersebut, merupakan bagian dari syiar di bulan Ramadhan, ada beberapa hal yang bisa mendasari mengapa hal tersebut terjadi, diantaranya, karena keberkahan intrinsik dari bulan Ramadhan itu sendiri, serta fadhilah janji kebaikan yang memang dilipat gandakan hitungannya, seperti nilai pahala dilipat gandakan menjadi 70 kali dibanding amalan serupa pada bulan yang lain, amalan sunnah yang pahalanya sebanding dengan pahala wajib di bulan lainnya, dan lainnya.
Di antara nilai baik, yang akan dihasilkan oleh orang yang berpuasa secara benar yaitu sifat takwa. Sebagaimana outcome bagi orang yang berpuasa, sebagaimana yang tercantum dalam Surat Al Baqarah, ayat 183 “ hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
Sifat takwa itu sendiri merupakan sublimasi dari sifat sabar dan syukur yang merupakan sifat utama dari seorang mukmin. Ketidak pahaman terhadap kata intrinsic dari sifat syukur dan sabar ini, akan mengakibatkan seseorang salah dalam menentukan orientasi kehiduannya. Kata syukur selalu diidentikan dengan berbagai nikmat kebiakan yang mendatanginya, seperti rezki, jabatan dan kekayaan dan sebagainya, sedangkan kata sabar selau dilekatkan dengan musibah atau kekuarangan yang harus ditanggungnya dengan berlapang dada.
Padahal bagi orang yang telah memiliki sifat taqwa, maka apapun yang mengenai seorang, entah itu kejayaan atau kemalangan, maka semuanya adalah berasal dari Tuhannya, dan itu adalah pasti merupakan kebaikan.
Termaksud bersabar jika mendapatkan rezki kekayaan atau jabatan, karena toh semuanya adakah ujian juga pada dasarnya, apakah datangnya kebaikan atau nikmat tersebut malah membuat kita berbangga diri ? jika itu terjadi maka sesungguhnya itu adalah kemalangan. Seperti yang dicontohkan oleh Sabahat Abu Bakar as Syidiq RA, yang ketika menerima amanah sebagai khalkifah pasca kewafatan Baginda Nabi Muhammad SAW, maka kata yang dia ucapkan yaiu Inalillahi wainalillahi Rajiun.
Sesungguhnya puasa hadir mengajarkan pada kita semua, jika kita lapar dan dahaga karena ketaatan melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan, maka itu bukan musibah atau kejengkelan yang harus dikedepankan, namun kesyukuran atas nikmat kekurangan dan keletihan yang diperoleh saat melakukan amalan tersebut, sebab diujung itu semua dipastikan akan menjadi deposito kebaikan di akherat kelak.