Oleh: Tati Fitriana (Mahasiswa Program Doktoral Teknologi Kebumian dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin; Dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Tadulako)
Pada 28 September 2018, Palu mengalami perubahan dramatis dalam sekejap mata. Tujuh tahun kemudian, kehidupan di Palu, Sigi, dan Donggala telah pulih—aktivitas pendidikan berjalan, pusat perdagangan kembali sibuk, dan keceriaan anak-anak terdengar lagi. Namun, pertanyaan mendasar masih menggantung: sudahkah kita benar-benar mengambil hikmah dari kejadian tersebut?
Dari sudut pandang seorang geolog, saya melihat tragedi Palu bukan sebagai murka alam semata, tetapi sebagai hasil interaksi antara fenomena geologis alamiah dan cara kita mengatur wilayah serta infrastruktur. Tiga ancaman muncul hampir simultan: getaran seismik yang hebat, gelombang tsunami lokal yang datang sangat cepat, dan fenomena likuefaksi akibat tanah yang jenuh air. Kondisi geologis lembah dengan sesar aktif, bentuk teluk yang sempit, dan sedimen muda menjelaskan mengapa kombinasi bencana ini dapat terjadi. Kesimpulannya sederhana: bahaya tidak lenyap hanya karena kita mengabaikannya.
Tujuh Pembelajaran Kunci
1) Pahami karakteristik ancaman lokal dan sesuaikan respons
Tsunami lokal memiliki waktu tiba yang sangat singkat. Oleh karena itu, pengetahuan teoritis saja tidak memadai; kemampuan evakuasi otomatis harus dilatih secara rutin: ketika getaran sangat kuat atau air laut tiba-tiba surut drastis, segera menuju tempat tinggi tanpa menunggu perintah resmi. Ini bukan mengabaikan sistem peringatan, melainkan menyesuaikan dengan kondisi geografis yang memerlukan respons cepat. Program pendidikan kebencanaan harus membangun kemampuan inisiatif di tingkat keluarga, institusi pendidikan, dan tempat bekerja.
2) Konstruksi bangunan: dari teori ke praktik
Meskipun standar konstruksi tahan gempa sudah ada, keselamatan sesungguhnya ditentukan oleh implementasi lapangan: kemampuan pekerja konstruksi, kualitas bahan bangunan, supervisi yang ketat, dan konsistensi dalam pelaksanaan. Kita harus beralih dari “sempurna di atas kertas” ke “terlaksana di lapangan.” Solusinya mencakup: program sertifikasi bertingkat untuk pekerja konstruksi di zona rawan, verifikasi kualitas material berdasarkan standar nasional, inspeksi mendadak untuk proyek-proyek, dan publikasi hasil penilaian kepatuhan agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Ini tentang penegakan aturan demi keselamatan kolektif, bukan penghukuman.
3) Perencanaan tata ruang yang tegas
Area di sekitar sesar aktif dan zona rawan likuefaksi tidak seharusnya dijadikan lokasi pemukiman tetap. Peta risiko bencana bukan sekadar dokumen pelengkap, melainkan panduan pengambilan keputusan yang harus mengikat izin pembangunan. Pemerintah lokal harus konsisten: izin konstruksi di zona terlarang tidak boleh dikeluarkan, sedangkan bangunan yang sudah ada diprioritaskan untuk dipindahkan secara bertahap dengan pendekatan yang humanis. Keputusan ini mungkin tidak populer, tetapi menghindari lokasi berisiko tinggi adalah bentuk tanggung jawab terhadap warga dan generasi mendatang.
4) Relokasi yang menyeluruh: lebih dari sekadar perpindahan fisik
Program relokasi akan gagal jika di lokasi baru warga kehilangan mata pencaharian, hubungan sosial, atau akses ke layanan publik. Relokasi harus berupa paket komprehensif: tanah yang memadai, infrastruktur esensial, peluang ekonomi, akses pendidikan dan kesehatan, serta dukungan sosial berkelanjutan. Keberhasilan diukur bukan dari jumlah unit rumah yang diserahkan, tetapi dari tingkat hunian dan kualitas hidup penghuni setelah tiga hingga lima tahun. Pendekatan ini menempatkan kesejahteraan warga sebagai prioritas utama.
5) Sistem peringatan boleh rusak; pelatihan tidak boleh terhenti
Respons yang efektif lahir dari pembiasaan. Kota membutuhkan jadwal latihan evakuasi regular contohnya setiap tiga bulan untuk sekolah dan kantor, setiap enam bulan untuk tingkat kelurahan. Jalur evakuasi harus dipasang, diuji dalam simulasi, dan diperbaiki berdasarkan evaluasi. Tidak ada latihan yang berlebihan menghadapi ancaman yang dapat berulang.
6) Integrasi pengetahuan ilmiah dalam kebijakan
Informasi tentang Sesar Palu-Koro, karakteristik teluk, dan kerentanan likuefaksi tidak boleh hanya tersimpan dalam publikasi ilmiah. Institusi penelitian dan universitas lokal perlu memiliki posisi permanen dalam forum perencanaan tata ruang, komite standar bangunan, dan penyusunan rencana darurat. Istilah teknis harus ditransformasikan menjadi rekomendasi aplikatif: sebagai contoh, di area tertentu, rumah panggung kayu dengan pondasi tiang bor lebih aman dibanding dinding bata tanpa struktur pengikat beton. Pengetahuan ilmiah menjadi kompas kebijakan, bukan sekadar referensi tambahan.
7) Transparansi data untuk akuntabilitas
Keterbukaan informasi dapat menyelamatkan nyawa. Peta zona terlarang harus tersedia dalam format yang mudah diakses publik. Publikasikan papan data tingkat hunian relokasi, hasil audit bangunan publik, catatan inspeksi, dan jadwal latihan. Ketika data terbuka, pelanggaran berkurang dan akuntabilitas meningkat. Masyarakat menjadi mitra aktif, bukan hanya pengamat pasif.
Tiga Kesalahan yang Harus Ditinggalkan
Menyalahkan fenomena alam. Gempa bumi adalah proses alamiah yang akan terus terjadi; bencana terjadi ketika kita menempatkan diri dalam posisi yang rentan. Ketergantungan berlebihan pada teknologi. Meskipun sistem peringatan dini penting pada teluk Palu dengan waktu respons singkat, keputusan cepat warga seringkali lebih menentukan keselamatan.
Mengaburkan kecepatan dengan kesempurnaan. Infrastruktur fisik dapat diperbaiki dengan cepat; ketangguhan masyarakat terbentuk melalui waktu melalui pelatihan berkelanjutan, edukasi, dan konsistensi dalam penerapan kebijakan.
Tiga Prinsip untuk Masa Depan
Hindari yang tidak dapat diperkuat; perkuat yang tidak dapat dihindari. Area sesar aktif harus dihindari untuk pemukiman; bangunan di zona guncangan harus diperkuat strukturnya. Latih respons hingga menjadi otomatis. Pengetahuan tanpa latihan praktis hanya akan menjadi wacana kosong. Partisipasi masyarakat sejak perencanaan. Pemerintah, industri konstruksi, akademisi, media, dan komunitas harus berkolaborasi secara terpadu.
Penutup
Palu saat ini adalah narasi tentang ketahanan, namun ketahanan saja tidak mencukupi. Ketahanan perlu disertai dengan keberanian menghadapi risiko secara realistis dan disiplin dalam menjalankan solusi. Bencana mungkin akan terulang; namun korban massal tidak harus terjadi lagi. Jika pembelajaran benar-benar diterapkan, Palu tidak hanya pulih, tetapi menjadi model pendidikan kebencanaan: di mana ilmu pengetahuan, perencanaan tata ruang, dan budaya keselamatan bersinergi untuk melindungi kehidupan.







